Poros Trio-Parang: Dari Mitos ke Pengharapan
(Ini tulisan untuk 'genep-genep', daripada gak ada hehehe, untuk buklet Festival Segara Kidul 2006 yang berlangsung di pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, Minggu 31 Desember 2006)
Menyebut ikon wisata pantai di Yogyakarta, dengan serta merta ingatan kolektif kita, tak pelak, akan mengerucut pada nama Parangtritis dan Parangkusumo. Ini tentu tak bertendensi mengesampingkan kawasan pantai lain. Dua nama pantai ini bagai pasangan ‘kembar identik’ karena kebetulan berada dalam satu wilayah yang hanya terentang oleh jarak sekitar 2,5 km. Di antara keduanya, meski belum sangat populer, ada pantai atau dusun Parangbolong yang kini juga terus berbenah merapikan diri. Kelak, siapa tahu, bakal menjadi ‘kembar tiga’ sebagai trio pantai (Parangtritis-Parangbolong-Parangkusumo) yang terintegrasi untuk saling berjajar dan saling bermutualisma sebagai mata rantai wisata bahari di kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta.
Kawasan trio pantai ini juga gampang ditempuh dari kota Yogyakarta yang berjarak kira-kira 27 km ke arah selatan. Apalagi jalan penghubung menuju pantai segara kidul (laut selatan) tersebut relatif telah mulus. Kalau lancar, dari Yogyakarta hingga segara kidul bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor kurang dari satu jam. Oleh pemerintah daerah yang juga sepenuhnya didukung oleh warga, kawasan trio pantai ini diekspektasikan memiliki cakupan target sebagai ‘tri-tunggal wisata’, yakni wisata spiritual, wisata kultural, dan wisata natural. Ekspektasi (harapan) ini tentu tak berlebihan karena latar belakang sejarah, modal kultural, dan kondisi alam telah memberi bekal atas asumsi dan harapan tersebut.
***
Misalnya saja dari nama Parangtritis yang berasal dari kata parang dan tumaritis, yakni air yang menetes (tumaritis) dari atas batu (parang). Ini adalah bagian dari kisah legenda dan mitos yang masih menebar di celah lidah warga Yogyakarta, khususnya warga setempat. Konon, dulu ada seorang pelarian dari kerajaan Majapahit bernama Dipokusumo yang menyepi dan bersamadi dalam gua di punggung bukit yang terletak di sehadap pantai. Di sekitar tempat bersamadi itu ada tetes-tetes air di atas bebatuan yang kelak menjadi asal-usul nama kawasan tersebut. Oleh para pengikut Dipokusumo beserta keturunannya, tempat itu dikeramatkan. Dan tak heran, mitos pun kemudian lahir mengikuti Sang Kala yang menggenapkannya sebagai bagian penting dari kearifan lokal.
Di kawasan itu juga banyak ditemui petilasan-petilasan yang ramai dikunjungi orang untuk ngalap berkah pada hari-hari tertentu, misalnya Gua Langse. Gua Langse ini berada di kaki tebing Parangtritis merupakan tempat tetirah yang terkenal, di samping banyak kawasan serupa, seperti Gua Tapan, Sendang Beji, maupun Gua Siluman. Sejarawan Dr. H.J. de Graaf menyebut Gua Langse sebagai Gua Kanjeng Ratu Kidul. Oleh sebab itu, gua ini merupakan tempat yang sering dikunjungi oleh reraja Mataram. Di gua ini konon pernah bersemedi pula Syekh Siti Jenar maupun Sunan Kalijaga. Banyak orang yang menyambangi gua ini, terutama pada malam Selasa atau Jumat Kliwon dan bulan Sura. Bahkan bila memasuki bulan Sura pengunjungnya bisa ratusan orang tiap hari. Dari pantai Parangtritis untuk menuju Gua Langse masih harus berjalan sekitar 3 km ke arah timur. Jika malas berjalan ada ojek yang siap mengantarkan. Namun ojek ini tidak sampai di pinggir tebing sehingga masih harus berjalan kaki sekitar 750 m menyusuri jalan setapak di antara rerimbunan ladang.
Situs lain yang menjadi titik identifikasi atas kawasan itu adalah petilasan Parangkusumo, makam Syekh Bela-Belu, Syekh Maulana Maghribi, dan Kyai Selohening. Mulai dari muara Kali (sungai) Opak sampai Gua Langse terdapat tempat-tempat petilasan yang hingga kini masih dikeramatkan oleh penduduk. Kali Opak memang seperti "jalur tol" untuk menuju lokasi ini. Sedangkan wisata kultural berupa berbagai upacara yang diselenggarakan rutin tiap tahun, seperti labuhan atau malam 1 Sura. Sementara wisata natural ditunjukkan dengan keberadaan obyek-obyek wisata pantai Parangtritis, Parangendog, serta sumber air panas Parangwedang.
Di situs penting Parangkusumo sendiri terdapat dua buah batu terpisah yang diasumsikan sebagai tempat bagi Panembahan Senapati untuk bersembahyang atau berkomunikasi dengan Kanjeng Ratu Kidul, sesembahan segara kidul yang bermukim di pantai Parangkusumo dan juga "istri" spiritual para raja Mataram. Dua batu itu berada tak jauh dari lapangan Parangkusumo. Konon, di sinilah dulu Panembahan Senopati, sang pendiri kerajaan Mataram ini, sering bersembahyang maupun memanggil penguasa Laut Selatan. Kini, kedua batu yang dikeramatkan tersebut dipagari, dan untuk masuk kawasan itu harus minta izin pada sesepuh setempat. Pada titik kawasan inilah muara garis imajiner yang diyakni warga Mataram ini berujung, setelah berpangkal dari titik utara di gunung Merapi, tugu Golong-Gilig, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kandang Menjangan Krapyak, dan akhirnya di Segara Kidul. Garis imajiner ini seperti mengimajinasikan wilayah kekuasaan fisik, kultural, dan spiritual bagi pemimpin kerajaan Mataram.
***
Selain narasi-narasi mitos yang bertebaran itu, ada juga fakta natural di Parangkusumo yang tak bisa diabaikan dari perhatian. Di lokasi ini terdapat hamparan padang gurun berbukit-bukit, yang disebut dengan gumuk atau bukit pasir (sand dunes). Fenomena gumuk ini terjadi karena alam Parangtritis-Parangkusumo yang sangat mendukung, serta seperti seringnya gunung Merapi mengeluarkan lava. Lava ini, melalui sungai Opak dan Progo, diendapkan di gisik Parangtritis. Angin laut, yang diperkuat oleh dinding terjal di sebelah timur, menerbangkan pasir yang telah terdampar di gisik ke daratan dan membentuk bukit-bukit pasir yang berubah-ubah bentuk maupun lokasinya. Kecenderungan ini terbentuk melewati proses alamiah yang berlangsung selama ribuan tahun. Di Parangkusumo ada beberapa tipe bentuk gumuk langka, yaitu barchan dune (berbentuk sabit), parabolic dune (berbentuk parabola), comb dune (berbentuk sisir), serta longitudinal dune (bukit yang memanjang). Saat ini tipe-tipe tersebut sudah tak lengkap lagi. Yang sering muncul hanyalah barchan dan longitidunal.
Gumuk di kawasan ini, dalam tinjauan geomorfologis, merupakan hal yang langka terjadi untuk daerah tropis basah. Bahkan untuk regional Asia Tenggara, diperkirakan gumuk hanya terdapat di kawasan ini. Lainnya, gumuk dapat ditemui di Arab Saudi dan Gurun Gobi, Cina.
***
Akhirnya, memang paparan semua fakta singkat atas kekayaan yang ada di wilayah Yogyakarta, khususnya Bantul ini bisa dikuak dan dibaca ulang untuk dikayakan kembali dengan banyak perspektif. Eksplorasi (awas, jangan dikelirukan dengan eksploitasi!) atas kawasan ini tentu menjadi keniscayaan untuk dilakukan demi memajukan turisme di sini. Hal penting yang bisa digarisbawahi untuk kepentingan itu adalah agar kita tidak selalu mengedepankan paradigma fisikal sebagai satu-satunya cara dan alat ukur dalam menilai perkembangan. Pemerintah daerah tidak harus mengucurkan sekian milyar dana hanya untuk kepentingan pembangunan material atau fisik semata yang belum tentu sesuai dan dimaui oleh warga setempat.
Namun hal yang paling urgen adalah membangun dan mematangkan sistem dan cara berpikir, juga mengayakan perspektif pandang masyarakat dalam melihat industri pariwisata dengan muatan semangat lokal dan kultural ini – tentu tetap dengan cara kerja global profesional. Banyak kearifan lokal yang tak bisa dengan serta-merta ditinggalkan untuk memaksa diri mengadopsi sesuatu yang datang bukan dari dirinya. Tentu menarik, misalnya, kalau di kita melihat warung-warung di pantai segara kidul ini berdiri kukuh dengan mengedepankan arsitektur lokal (yang inovatif). Alangkah menyegarkan kalau kita bisa mendapatkan minuman jahe atau serai botolan produksi lokal di samping coca cola dan sprite yang membanjir.
Yah, marilah kita berbuat untuk kawasan ini dengan cara berpikir baru.
(kuss indarto)
Menyebut ikon wisata pantai di Yogyakarta, dengan serta merta ingatan kolektif kita, tak pelak, akan mengerucut pada nama Parangtritis dan Parangkusumo. Ini tentu tak bertendensi mengesampingkan kawasan pantai lain. Dua nama pantai ini bagai pasangan ‘kembar identik’ karena kebetulan berada dalam satu wilayah yang hanya terentang oleh jarak sekitar 2,5 km. Di antara keduanya, meski belum sangat populer, ada pantai atau dusun Parangbolong yang kini juga terus berbenah merapikan diri. Kelak, siapa tahu, bakal menjadi ‘kembar tiga’ sebagai trio pantai (Parangtritis-Parangbolong-Parangkusumo) yang terintegrasi untuk saling berjajar dan saling bermutualisma sebagai mata rantai wisata bahari di kabupaten Bantul, D.I Yogyakarta.
Kawasan trio pantai ini juga gampang ditempuh dari kota Yogyakarta yang berjarak kira-kira 27 km ke arah selatan. Apalagi jalan penghubung menuju pantai segara kidul (laut selatan) tersebut relatif telah mulus. Kalau lancar, dari Yogyakarta hingga segara kidul bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor kurang dari satu jam. Oleh pemerintah daerah yang juga sepenuhnya didukung oleh warga, kawasan trio pantai ini diekspektasikan memiliki cakupan target sebagai ‘tri-tunggal wisata’, yakni wisata spiritual, wisata kultural, dan wisata natural. Ekspektasi (harapan) ini tentu tak berlebihan karena latar belakang sejarah, modal kultural, dan kondisi alam telah memberi bekal atas asumsi dan harapan tersebut.
***
Misalnya saja dari nama Parangtritis yang berasal dari kata parang dan tumaritis, yakni air yang menetes (tumaritis) dari atas batu (parang). Ini adalah bagian dari kisah legenda dan mitos yang masih menebar di celah lidah warga Yogyakarta, khususnya warga setempat. Konon, dulu ada seorang pelarian dari kerajaan Majapahit bernama Dipokusumo yang menyepi dan bersamadi dalam gua di punggung bukit yang terletak di sehadap pantai. Di sekitar tempat bersamadi itu ada tetes-tetes air di atas bebatuan yang kelak menjadi asal-usul nama kawasan tersebut. Oleh para pengikut Dipokusumo beserta keturunannya, tempat itu dikeramatkan. Dan tak heran, mitos pun kemudian lahir mengikuti Sang Kala yang menggenapkannya sebagai bagian penting dari kearifan lokal.
Di kawasan itu juga banyak ditemui petilasan-petilasan yang ramai dikunjungi orang untuk ngalap berkah pada hari-hari tertentu, misalnya Gua Langse. Gua Langse ini berada di kaki tebing Parangtritis merupakan tempat tetirah yang terkenal, di samping banyak kawasan serupa, seperti Gua Tapan, Sendang Beji, maupun Gua Siluman. Sejarawan Dr. H.J. de Graaf menyebut Gua Langse sebagai Gua Kanjeng Ratu Kidul. Oleh sebab itu, gua ini merupakan tempat yang sering dikunjungi oleh reraja Mataram. Di gua ini konon pernah bersemedi pula Syekh Siti Jenar maupun Sunan Kalijaga. Banyak orang yang menyambangi gua ini, terutama pada malam Selasa atau Jumat Kliwon dan bulan Sura. Bahkan bila memasuki bulan Sura pengunjungnya bisa ratusan orang tiap hari. Dari pantai Parangtritis untuk menuju Gua Langse masih harus berjalan sekitar 3 km ke arah timur. Jika malas berjalan ada ojek yang siap mengantarkan. Namun ojek ini tidak sampai di pinggir tebing sehingga masih harus berjalan kaki sekitar 750 m menyusuri jalan setapak di antara rerimbunan ladang.
Situs lain yang menjadi titik identifikasi atas kawasan itu adalah petilasan Parangkusumo, makam Syekh Bela-Belu, Syekh Maulana Maghribi, dan Kyai Selohening. Mulai dari muara Kali (sungai) Opak sampai Gua Langse terdapat tempat-tempat petilasan yang hingga kini masih dikeramatkan oleh penduduk. Kali Opak memang seperti "jalur tol" untuk menuju lokasi ini. Sedangkan wisata kultural berupa berbagai upacara yang diselenggarakan rutin tiap tahun, seperti labuhan atau malam 1 Sura. Sementara wisata natural ditunjukkan dengan keberadaan obyek-obyek wisata pantai Parangtritis, Parangendog, serta sumber air panas Parangwedang.
Di situs penting Parangkusumo sendiri terdapat dua buah batu terpisah yang diasumsikan sebagai tempat bagi Panembahan Senapati untuk bersembahyang atau berkomunikasi dengan Kanjeng Ratu Kidul, sesembahan segara kidul yang bermukim di pantai Parangkusumo dan juga "istri" spiritual para raja Mataram. Dua batu itu berada tak jauh dari lapangan Parangkusumo. Konon, di sinilah dulu Panembahan Senopati, sang pendiri kerajaan Mataram ini, sering bersembahyang maupun memanggil penguasa Laut Selatan. Kini, kedua batu yang dikeramatkan tersebut dipagari, dan untuk masuk kawasan itu harus minta izin pada sesepuh setempat. Pada titik kawasan inilah muara garis imajiner yang diyakni warga Mataram ini berujung, setelah berpangkal dari titik utara di gunung Merapi, tugu Golong-Gilig, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kandang Menjangan Krapyak, dan akhirnya di Segara Kidul. Garis imajiner ini seperti mengimajinasikan wilayah kekuasaan fisik, kultural, dan spiritual bagi pemimpin kerajaan Mataram.
***
Selain narasi-narasi mitos yang bertebaran itu, ada juga fakta natural di Parangkusumo yang tak bisa diabaikan dari perhatian. Di lokasi ini terdapat hamparan padang gurun berbukit-bukit, yang disebut dengan gumuk atau bukit pasir (sand dunes). Fenomena gumuk ini terjadi karena alam Parangtritis-Parangkusumo yang sangat mendukung, serta seperti seringnya gunung Merapi mengeluarkan lava. Lava ini, melalui sungai Opak dan Progo, diendapkan di gisik Parangtritis. Angin laut, yang diperkuat oleh dinding terjal di sebelah timur, menerbangkan pasir yang telah terdampar di gisik ke daratan dan membentuk bukit-bukit pasir yang berubah-ubah bentuk maupun lokasinya. Kecenderungan ini terbentuk melewati proses alamiah yang berlangsung selama ribuan tahun. Di Parangkusumo ada beberapa tipe bentuk gumuk langka, yaitu barchan dune (berbentuk sabit), parabolic dune (berbentuk parabola), comb dune (berbentuk sisir), serta longitudinal dune (bukit yang memanjang). Saat ini tipe-tipe tersebut sudah tak lengkap lagi. Yang sering muncul hanyalah barchan dan longitidunal.
Gumuk di kawasan ini, dalam tinjauan geomorfologis, merupakan hal yang langka terjadi untuk daerah tropis basah. Bahkan untuk regional Asia Tenggara, diperkirakan gumuk hanya terdapat di kawasan ini. Lainnya, gumuk dapat ditemui di Arab Saudi dan Gurun Gobi, Cina.
***
Akhirnya, memang paparan semua fakta singkat atas kekayaan yang ada di wilayah Yogyakarta, khususnya Bantul ini bisa dikuak dan dibaca ulang untuk dikayakan kembali dengan banyak perspektif. Eksplorasi (awas, jangan dikelirukan dengan eksploitasi!) atas kawasan ini tentu menjadi keniscayaan untuk dilakukan demi memajukan turisme di sini. Hal penting yang bisa digarisbawahi untuk kepentingan itu adalah agar kita tidak selalu mengedepankan paradigma fisikal sebagai satu-satunya cara dan alat ukur dalam menilai perkembangan. Pemerintah daerah tidak harus mengucurkan sekian milyar dana hanya untuk kepentingan pembangunan material atau fisik semata yang belum tentu sesuai dan dimaui oleh warga setempat.
Namun hal yang paling urgen adalah membangun dan mematangkan sistem dan cara berpikir, juga mengayakan perspektif pandang masyarakat dalam melihat industri pariwisata dengan muatan semangat lokal dan kultural ini – tentu tetap dengan cara kerja global profesional. Banyak kearifan lokal yang tak bisa dengan serta-merta ditinggalkan untuk memaksa diri mengadopsi sesuatu yang datang bukan dari dirinya. Tentu menarik, misalnya, kalau di kita melihat warung-warung di pantai segara kidul ini berdiri kukuh dengan mengedepankan arsitektur lokal (yang inovatif). Alangkah menyegarkan kalau kita bisa mendapatkan minuman jahe atau serai botolan produksi lokal di samping coca cola dan sprite yang membanjir.
Yah, marilah kita berbuat untuk kawasan ini dengan cara berpikir baru.
(kuss indarto)
Comments