Mencatat yang (Acap) tak Tercatat
(Tulisan ini dimuat dalam katalog pameran seni rupa "MEMO" di Galeri Mondecor, 21 Februari - 2 Maret 2008. Gambar di atas berturut-turut (dari atas) karya Agus Triyanto B.R., Robi Fathoni, Riduan, dan Slamet "Suneo" Santoso)
Oleh Kuss Indarto
Setiap orang pasti memiliki “harta” bernama ingatan. Begitupun, sebuah masyarakat nyaris senantiasa memiliki “warisan” berupa ingatan kolektif. Ingatan, menurut Haryatmoko (2004), bukan keseluruhan dari masa lampau, melainkan keping-keping masa lampau yang terus hidup dalam diri orang atau kelompok masyarakat dan tunduk kepada representasi serta kerangka pandang masa kini. Maka, praktik mengingat pada lazimnya melibatkan upaya untuk memberi makna, upaya memberi verifikasi atas beragam hipotesa pengingat untuk membangun kembali makna. Pandangan retrospektif atas masa lalu tak hanya merupakan pengalaman yang memberi makna, tetapi juga hasrat untuk mengupayakan proyek yang bermakna. Ini teramat penting karena – dalam bahasa yang lebih “heroik” – seseorang yang nihil tanpa ingatan adalah seseorang tanpa visi untuk melangkah maju melampaui masa lalunya. Demikian juga, sebuah negara tanpa ingatan kolektif bisa berarti juga negara tanpa masa depan.
Pada lingkar spektrum pemikiran seperti inilah, saya kira, karya seni rupa seperti lukisan, mampu dihasratkan untuk mengimplementasikan gagasan tentang pentingnya menghadirkan ingatan. Tentu termasuk pengayaan ingatan personal sebagai bagian penting dari munculnya ingatan kolektif (atau sebaliknya, ingatan kolektif yang menyumbang atas munculnya ingatan personal) yang berkerumun dalam setiap pribadi dan sebuah komunitas atau masyarakat. Dan karya seni menjadi salah satu perangkat penting untuk membuat artifak dari (atau tentang) ingatan seseorang.
Seperti halnya empat perupa muda penuh talenta yang menggelar pameran kali ini. Mereka bagai tengah menggali kemampuan dalam mengulik kilasan ingatan yang banyak berkelebat dari masa lalu, dan dikerangkai dengan konteks pemikiran masa kini. Robi Fathoni, Riduan, Agus Triyanto B.R., dan Slamet “Suneo” Santoso, tengah menjadi sutradara bagi kelahiran karya-karyanya yang sebagian mereka ungkit dari ingatan kurun waktu sebelumnya, yang kemudian dikerangkai dengan perspektif paling aktual versi mereka. Ingatan sebagai teks, dan karya seni itu menjadi artifak teks yang dibumbui dengan konteks. Sehingga karya-karya ini menjadi jalinan penting atas jagat ingatan personal mereka yang diberi muatan makna dari cara berpikir dan bersikap mereka kini.
Tajuk kuratorial Memo sendiri, kiranya bisa dipahami sebagai ungkapan pendek dari kata “memory” (ingatan, kenangan), “memorable” (sesuatu yang patut dan dapat diingat), “memorial” (sesuatu yang diandaikan sebagai tanda peringatan), ataupun “memorandum” (catatan untuk diingat). Dalam budaya sehari-hari yang populer di sekitar kita, terminologi “memo” dikenal sebagai catatan singkat untuk memberi peringatan atau pengingat untuk seseorang bagi agenda tertentu. Bisa beragam bentuknya, mulai lembar kertas kecil yang ditempel di depan pintu kamar, di atas arloji meja, atau di depan layar monitor komputer.
Sketsa-sketsa Ingatan
Memo juga bisa berupa benda ungkap lainnya yang representatif. Ada contoh kecil yang bisa dijadikan sebagai titik berangkat untuk menjelujuri ihwal ingatan ini dalam konteks seni rupa yang erat pertautannya dengan problem sosial politik. Ingatan itu berupa artifak yang mewujud sebagai karya sketsa sebanyak ratusan halaman karya Adrianus Gumelar Demokrasno. Dia seorang tahanan politik (tapol) yang dipenjarakan oleh pemerintah Orde Baru selama kurang lebih 8 tahun di pulau Buru. Alumnus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta (sekarang Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta) ini tak tahu kesalahannya, dan itu tak pernah dibuktikan secara hukum di lembaga peradilan jaman Soeharto.
Buku sketsa yang diterbitkan PUSdEP (Pusat Sejarah dan Etika Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) awal tahun 2006 itu bertajuk Dari Kalong Sampai Pulau Buru. Isinya merupakan rentetan kilas balik ingatannya terhadap peristiwa yang dialaminya tatkala menjadi penghuni hotel prodeo di pulau tapol itu. Karya-karya itu dibuatnya setelah dia pulang ke Jawa dari pengasingan. Pulau Buru menjadi “pulau hantu” yang nyaris tak memungkinkan baginya untuk berkarya seni. Ingatannya atas penderitaan lahir batin membuatnya begitu antusias untuk memvisualkan secara detil segala aspek yang menjadikannya mengalami tahun-tahun penuh teror. Misalnya, ada narasi visual tentang kisah seorang teman yang tewas di tangan sipir militer gara-gara dia membeli gorengan yang dibungkus dengan sesobek koran. Sobekan koran yang hanya secuil itu, ketika dibaca, telah dianggap sebagai tindakan subversif, dan lalu dianggap layak untuk dianiaya hingga tewas.
Gumelar yang tetap menerima hukuman sosial selepas dari penjara, berupa stigmatisasi komunis oleh pemerintah Orde Baru, dalam karya-karya lain bisa dengan fasih dan rinci mengeksposisikan ingatannya tentang gereja, surau, bukit dengan kawat berduri, ladang sayuran, dan lainnya.
Ini sebuah contoh ekstrem betapa kemudian Gumelar mampu menarik kembali ingatan itu untuk dikenang sebagai memori sosial dan kolektif yang tak bisa dihilangkan selamanya. Dalam konteks perbincangan seni rupa, betapa garis-garis sederhana dalam karya sketsa mampu menjadi “sistem” representasi baru yang penting untuk mengulik kembali sepotong peristiwa pada cuilan masa lampau.
Subject Matter(s)
Dalam gradasi, konteks perbincangan, dan spirit yang berbeda meski dalam ritme yang kurang lebih sama, empat seniman ini mencoba membongkar-bongkar kembali koper ingatan mereka tentang segala hal yang paling mengental dalam ingatan dan ketertarikan mereka. Memo tentang kurun-kurun waktu yang mengambang itu seperti ditarik dan digiring oleh para seniman untuk dikerucutkan kembali dalam subject matter (pokok soal) yang mereka inginkan.
Maka lahirlah karya-karya menarik yang merujuk dari ingatan masa lalu. Ingatan itu dijumput, lalu dijemput dengan pergeseran cara memandang atas pokok soal itu. Inilah hal yang menghasilkan sintesa persoalan menjadi relatif lebih kompleks.
Taruh misalnya pada karya-karya Riduan. Lukisan yang terpampang itu menggambarkan citra tentang hamparan lanskap tanah dengan warna tunggal dengan pengembangannya lewat gradasi. Di tengah itu semua, sebagai identitas visual yang cukup melekat pada semua karya Riduan dalam kurun kurang lebih 3-4 tahun terakhir, adalah larik-larik citra kain yang merenggang. Larik-larik itu menjadi baris-baris yang menjadi “dasar utama” pada karya Riduan. Di sana, ada impresi keteraturan visual yang disubversi secara kecil-kecilan dengan ketidakteraturan pada banyak karyanya.
Kali ini tema tentang tanah menjadi perkara cukup menarik bagi Riduan. Pada karyanya berjudul Titik Persoalan, menjadi contoh karya paling representatif untuk menggambarkan ingatan Riduan tentang kasus-kasus tanah, tanah warisan misalnya, yang akhirnya telah membuyarkan ikatan kekeluargaan. Tanah menjadi sumber konflik ketika akan dipetak-petak dalam jatah-jatah yang ditentukan.
Sementara Robi Fathoni mencoba mengangkat ihwal praktik konsumsi, khususnya yang terjadi pada kaum perempuan, sebagai basis persoalan utama atas karya-karyanya. Di sini, ada dua lapis persoalan yang berkait dengan ihwal ingatan. Pertama, bagaimana bapak muda dengan satu jabang bayi ini diberi “memo” tentang kompleksitas kebutuhan untuk dikonsumsi oleh perempuan. Ini mungkin menjadi kesadaran personalnya. Kedua, bagaimana praktik konsumsi pada perempuan tersebut banyak dipersuasi, dan malah diberondong oleh gencarnya iklan di semua media sebagai bentuk teror ingatan. Pada poin kedua ini kita bisa berbuncah-buncah membincangkan ihwal iklan ini dari perspektif budaya populer yang kian dikerumuni peminat kajian budaya akhir-akhir ini. Iklan yang pada dasarnya berkodrat seducing (menggoda), telah menjadi ujung tombak di garis depan dalam praktik “ideologi” libidonomics (Yasraf A. Piliang, 1998) atau “ideologi” yang mendistribusikan (nemein) energi atau hawa nafsu (libido). Lima karya Robi, secara tersirat mendedahkan hasil dari kuatnya ingatan yang didistribusikan oleh iklan.
Dua seniman lain, Agus Triyanto B.R. dan Slamet “Suneo” Santoso memberi gambaran ke apresian tentang ingatan mereka terhadap hal yang cukup personal. Agus menyoal tentang dirinya sendiri, mengeksplorasi potret wajahnya dengan segala mimik dan gerak tangan yang impresif dan dinamis di seputar wajah hingga mencitrakan tentang bunga lotus. Sementara Slamet Suneo begitu detil mengulas jagad alam, terutama bebatuan dan satwa, sebagai basis perbincangan. Kiranya ada hal utama yang diingatnya ketika membincangkan tentang nilai hakiki kehidupan adalah mengelola keselarasan dan keseimbangan dengan menjaga hubungan dengan alam.
Lalu, apa yang bisa dimaknai lebih lanjut dari puluhan bentang kanvas, sebagai artifak ingatan, yang tertata rapi dalam ruang pajang ini? Pertama, saya kira jika ini dipahami sebagai sebuah bentuk mengelola ingatan, maka dimungkinkan sebagai upaya penyangkalan (sekecil apapun itu) terhadap gejala amnesia pada banyak aspek. Dalam gradasi yang lebih akut, amnesia mampu memotong sejarah. Kedua, kalau proses mengingat kembali dimaknai dalam koridor istilah Yunani anamnesis (mimneskein: mengingat; dan ana: kembali), maka kenangan atau ingatan merupakan basis pengetahuan akan forma atau ide sebagai pengetahuan yang sempurna yang dimiliki jiwa secara genetik (bawaan) sebelumnya (Loren Bagus, 2002). Ini kalau kita mengacu pada doktrin Plato tentang mimesis (kenangan, tiruan).
Ingatan memang tak bisa diabaikan untuk mengonstruksi sistem pengetahuan seseorang atau sebuah komunitas. Ia layak untuk dijumput dan dicatat.
Comments