Barak yang Menolak Buruk
(Ini adalah teks untuk katalog pameran Kelompok Barak: The Beginning, yang berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta, 10-19 Maret 2008. Sedang foto di atasadalah karya Denny 'Snod' Susanto. Maaf, Denny, juga teman2 Kelompok Barak. Visual dan teks di bawah ini tidak ada relevansinya hehe...)
Oleh Kuss Indarto
TUJUH perupa asal Bali “bersekongkol”. Dalam penanda waktu yang cool, setidaknya gampang diingat — yakni tanggal 7 bulan 7 tahun 2007 — “persekongkolan” ini bermula. Mereka yang berproses dan sebagian telah memutuskan menetap di Yogyakarta itu melanggengkan “persekongkolan” dengan menggenggam sebuah tengara baru: Kelompok Barak. Ya, sebuah art group.
Di dalamnya berderet nama-nama yang telah tergenang dalam pasang-surut di permukaan peta seni rupa (di) Indonesia kini: Gusti Alit Cakra, Made “Dalbo” Suarimbawa, Made Sukadana, Made Toris Mahendra, Nyoman Darya, Nyoman Sukari, Nyoman “Jangkrik” Triarta A.P. Mereka nyaris tidak dipertautkan oleh sentimen angkatan dalam administratis akademis di kampus, misalnya, namun lebih oleh hasrat dan spirit komunalitas dengan mendasarkan pada basis etnisitas. Ya, sebuah praduga yang berisiko karena di bawah landasan itu, bisa jadi, banyak spirit dan dalih lain yang berserak namun belum terkuak.
Untuk bisa “berkerumun” (kembali) — sesuatu yang kini tak gampang dilakukan oleh banyak seniman yang berketetapan hendak berkelompok — tentu membutuhkan persenyawaan psikologis sebagai bekal yang mesti terlebih dulu dikantungi para personal dalam Kelompok Barak. Ini juga tidak serta-merta melempangkan jalan untuk langsung berpameran, karena di antara sekat-sekat psikologis yang telah selesai sebagai beban persoalan, adakah perkara substansial yang akan mereka gotong dalam perhelatan kali ini? Adakah titik beda yang kuat dan signifikan antara karya mereka yang sekarang dengan ketika mereka berproses dan tampil dalam identitas personal sebelumnya? Dengan asumsi demikian, lalu, bisakah lewat pameran kali ini dilacak laju progresivitas, kreativitas, ataupun pencapaian baru dari para perupa ini?
Sebagai sesama perupa kelahiran Pulau Dewata yang kemudian menimba dan mendalami pengetahuan seni di Fakultas Seni Rupa (dan Disain), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, bisa dimungkinkan membuat mereka memiliki alur pemikiran estetis-kreatif yang relatif “setara”. Artinya, sistem pengetahuan yang coba dikonstruksikan dalam dunia pendidikan di ISI ataupun pemahaman tentang strategi kreatif dalam komunalitas (seniman-intelektual) di Yogyakarta sedikit banyak telah menggeser sistem dan cara pandang mereka dalam berproses kreatif atau berkesenian. Ada jagat lain, ihwal rasionalitas dan relasi interdisipliner misalnya, yang menggiring mereka merangsek dalam perspektif lain yang mengayakan kesadaran jagat kreatif. Visualitas dalam kanvaspun, akhirnya, merambat dalam perkembangan.
Dan ini tentu berbeda dengan apa yang telah mereka lihat semasa tinggal di Bali saat menyaksikan seniman-seniman otodidak — yang mendasari nilai-nilai spiritualisme dalam berkesenian — yang mengitari kehidupan keseharian mereka sebelum bertolak ke Yogyakarta. Seperti lazim diketahui, pengaruh budaya dan ritual agama Hindu Bali menjadi muasal terbentuknya apa yang disebut Sanento Yuliman (Seni Lukis Indonesia Baru dalam Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan, Kalam, 2001) sebagai seni lukis Bali lama. Seni lukis Bali lama mendasarkan dirinya pada sebuah ritus bernama yadnya, persembahan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Masa Esa dalam bentuk perlengkapan upacara yang bergambar tokoh cerita pewayangan Ramayana atau Mahabharata yang disakralkan. Banyak karya-karya seni lukis berhubungan dengan teologi dan filsafat agama Hindu. Hampir semua karya memiliki fungsi religius, dan agama turut menentukan baik tempat, wujud, maupun penggunaan karya yang bersangkutan. Semua proses pembuatan karya seni itu disertai dengan ritual pasupati, ritual mensakralan karya itu, untuk persembahan kepada para dewa.
Titik penting di atas, yakni jagat akademis dan spirit komunalitas di Yogyakarta inilah yang kemudian memberi kontribusi penting bagi semua perupa dalam Komunitas Barak dengan segala pencapaiannya setelah mereka berproses di Kota Gudeg hingga kurun waktu terakhir ini. Meski demikian, dalam dimensi yang lain, perlu juga disadari bahwa — meminjam penuturan Laura Nader (dalam Naked Science: Anthropological Inquiry into Boundaries, Power, and Knowledge, Routledge, 1996) — pada jagat akademispun menempatkan ilmu pengetahuan sebagai cara mengetahui dan memahami dunia yang seringkali disarati oleh muatan ideologi, dan berakibat pada peminggiran besar-besaran terhadap model-model sains lainnya, khususnya sains etnis (local sciences).
***
NAMUN fakta bahwa jagat akademis dan rasionalitas memberi perubahan juga didukung oleh “realitas baru” yang ditemui. Misalnya — seperti yang telah menjadi kecenderungan para senior, rekan sebaya, hingga yunior mereka semisal Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Gusti Nurata, Nyoman Erawan, Made Budiana, hingga Made Sumadiyasa, Made Wiradhana serta Putu Sutawijaya dan sebagainya — yakni menggotong progresivitas estetik dengan tetap melambari akar kultural ke-Bali-an sebagai titik pijak kreatifnya.
Atau yang lebih ekstrem, para seniman asal Bali di Yogyakarta tidak sedikit yang telah melakukan proses “penyangkalan” terhadap kultur Bali sebagai basis kreatifnya. Pola ini menghinggapi karya-karya Nyoman Masriadi, misalnya, yang kemudian justru melahirkan kecenderungan “anomali” kreatif karena betul-betul menerabas pola umum dari “kreativitas paguyuban” ala Sanggar Dewata Indonesia (SDI), sebuah perkumpulan seniman Bali yang berproses di Yogyakarta—yang didirikan oleh Nyoman Gunarsa, Made Wianta dan lain-lain pada 15 Desember tahun 1970. Anomali tersebut memberi arus subversif-kreatif terhadap kecenderungan utama (mainstream) seniman SDI yang nyaris selalu digantungi oleh kuatnya kultur patronase yang seperti “didoktrinkan” oleh seniman senior terhadap para yuniornya. Dalam ingatan penulis, dalam paruh akhir dasawarsa 1990-an, Nyoman Masriadi menawarkan penyangkalan kreatif lewat karyanya yang cenderung sangat figuratif, dengan tema mengolok-olok (mockery) diri sendiri dan lingkungannya yang hegemonik. Ini jauh dari arus besar seniman Bali lainnya yang terhanyut dalam “air bah” abstrak ekspresionisme.
Lalu, apakah tujuh perupa Barak ini juga hendak menawarkan sebuah bibit “gerakan kreatif” yang gelagatnya nyaris hanya berpendar dan samar-samar dalam diri SDI kini? Ataukah Kelompok Barak ini tengah memberi otokritik terhadap SDI yang sepertinya terlelap sebagai sebuah paguyuban anak Bali di Yogya yang menggunakan spirit religiusitas dan mistis Bali melalui simbol-simbol kultural dan agama yang ada? Entahlah. Barangkali problem tersebut terlalu rumit dan kompleks untuk dirumuskan dalam konteks perbincangan ini.
Kita, barangkali, terlampau berat digayuti oleh beban sejarah yang seolah diharap akan kembali mampir untuk mengatasi sebuah persoalan. Misalnya, kita merawat ekspektasi seperti yang dulu di tahun 1950-an muncul kelompok Cobra (Copenhagen, Brussels, Amsterdam) dengan membawa 8 isu penting, di antaranya — seperti yang ditulis oleh Jean-Michel Atlan di Cobra, April 1950 — bahwa seni lukis kontemporer dunia waktu itu terancam oleh dua bentuk/corak dominan yang harus dioposisi, yakni realisme banal yang mengimitasi secara vulgar realitas, dan seni abstrak ortodoks. Hm, sebuah isu kuno yang sebenarnya layak diagendakan sebagai sebuah kemungkinan (di ranah) aksi untuk konteks seni rupa (di) Indonesia hari ini.
***
KALAU pameran ini dibaca sebagai sebuah “gerakan” kiranya memang sebuah pengharapan yang begitu berlebihan. Namun demikian tidak bisa dengan serta-merta kita mengesampingkan tawaran kreatif yang dibawa oleh ketujuh perupa ini lewat karya-karya visualnya.
Hal kuat yang pertama kali akan menyedot perhatian dalam pameran ini, bisa diduga, adalah ihwal format karya yang mayoritas tidak bisa dibilang kecil. Semua cenderung ingin bertarung, pertama-tama, dalam aspek ukuran/besarnya karya. Ini sebuah isyarat yang dimungkinkan memberi tengara di permukaan: ada banyak gejolak, power, dan spirit yang luar biasa besar pada masing-masing diri perupa. Di seberang itu, muncul juga praduga: menjemput tren dan, apa boleh buat, sentimen market.
Hal berikutnya yang mengemuka adalah keragaman karya masing-masing seniman yang seolah hendak saling menyergap. Apresian akan disuguhi oleh karya-karya Gusti Alit yang masih bersetia dengan gaya abstrak. Karyanya tak menghentak namun tenang dan cenderung enigmatik. Dengan cara ungkap yang spesifik, karya Made Sukadana dan Suarimbawa “Dalbo” juga bergerak di alur serupa. Mereka tak lagi merunut garis serta pola abstraksime yang pernah menjadi gaya mainstream pada perupa Bali di Yogyakarta sekitar satu dasawarsa lalu. Bentuk-bentuk yang mereka ciptakan berpotensi untuk memberi jalan tengah gaya abstrak yang alur pikirnya “mencari kemurnian bentuk”, seperti abstrak dengan konsep suprematisme yang gawangi dedengkotnya Kashimir Malevich yang "memurnikan" dunia dengan gagasan pikiran dan perasaan manusia berupa bentuk-bentuk dasar yang esensial.Atau ala Vasily Kadinsky yang mempersoalkan sisi spiritual dalam bentuk, ruang dan teknik sebuah ekspresi karya yang membebaskan bentuk dari rujukannya di alam.
Sementara Nyoman Darya, Nyoman Sukari dan Nyoman Triarta “Jangkrik” cenderung sangat figuratif. Cara ungkap ini memberi kemudahan bagi mereka berdua untuk membincangkan perkara ekstra-estetika, yakni ihwal tema perbincangan yang berkait dengan soal sosial kemasyarakatan — meski tidak sangat cerewet dan merembet masuk dalam titik jebakan yang sloganistik dan penuh jargon. Sedangkan karya Toris Mahendra yang semi-figuratif, dengan warna dominan merah yang menyedot perhatian, seperti asyik mempertontonkan dunia dalamnya yang direpresentasikan dengan gejolak tubuh-tubuh separuh manusia-binatang.
***
MODUS dan pola kreatif ketujuh perupa ini dalam menyiasati pameran ini relatif begitu asyik dan suntuk dengan dunianya sendiri-sendiri. Masing-masing memiliki cara pandang atau perspektif yang bersifat personal untuk mengimplementasikannya dalam kanvas. Dan di luar persoalan personal, cara pandang itu juga kiranya didukung oleh pengalaman kreatif yang telah mengasah kreativitas dan kepekaan dalam melihat persoalan. Dari sinilah sebenarnya pertanyaan kemudian dapat diperluas untuk memberi masukan bagi perkembangan kreatif kelompok ini ke depan.
Tetapi apakah pergeseran bentuk-bentuk visual itu bisa dengan serta-merta disebut sebagai kemajuan? Apakah mereka telah menjemput capaian tertentu seiring dengan intensitas dalam berkarya? Bisa jadi belum. Karena yang intensitas berkarya jangan-jangan hanya melahirkan pergeseran atau capaian artistik semata (secara visual), tetapi belum tentu menemui capaian kerangka berpikir kreatif yang bisa menuntun seorang perupa untuk melahirkan karya yang cerdas dunia bentuk dan dunia gagasannya. Di sinilah sebenarnya seorang perupa dituntut tidak sekadar memainkan intuisinya dalam berkarya, melainkan juga memainkan rasionalitasnya, kecerdasannya, untuk mendedahkan tiap senti kubik cat yang akan digoreskan di permukaan bentang kanvas.
Bukankah seniman kini tidak lagi termangu menunggu ilham, melainkan “meriset” gagasan yang selalu berkelebat dalam otaknya? Dan, bagi Kelompok Barak, apakah forum ini sekadar kelompok untuk ajang berpameran bersama atau sebagai ajang untuk mempertarungkan gagasan yang kemudian mampu membuat sebuah “gerakan” — sekecil apapun itu? Apakah Barak bisa menempatkan diri dan dimaknai sebagai titik simpul gairah, semangat bagi penghuni di dalamnya — sebagaimana makna kata “barak” yang dalam bahasa Bali berarti “merah”, dan menunjukkan sebuah tempat berteduh kalau merujuk pada bahasa Indonesia?
Ah, semoga Barak masih berkehendak untuk berarak-bergerak menggenggam spirit, dan lari dari stagnasi. Barak yang menolak buruk rupa, buruk konsep. Kita tunggu seri berikutnya!
Comments