Survey: Melacak Peta Baru
(Tulisan ini telah dimuat di katalog pameran Survey di Edwin Gallery, yang berlangsung mulai 15 Maret hingga 6 April 2008. Pameran ini dikuratori 2 orang, aku dan Rifky "Goro" Effendi. Foto di atas adalah karya Kusmanto, bertajuk Kate (140x140 cm) yang juga dipajang dalam pameran Survey)
Oleh Kuss Indarto
/Satu/
Ada kecenderungan menarik dalam praktik kreatif para perupa muda di Indonesia kurun waktu terakhir ini. Mereka nyaris selalu menjadi agen penting yang terus bergerak mendinaminasi jagat seni rupa. Kecenderungan tersebut – kalau boleh saya disederhanakan – tampak menggejala dalam beberapa dugaan.
Pertama, merebaknya upaya pencarian parameter atau alat ukur estetik baru oleh para seniman muda, sekaligus sebagai pengingkaran terhadap “mitos-mitos estetik” yang telah melekat sebelum ini di lingkungan terdekatnya. Dugaan ini dapat ditengarai dengan bergeraknya para seniman muda ini untuk tidak lagi memitoskan atau setidaknya mengacu secara artistik dan estetik – dengan segala maaf – pada karya-karya seniman senior dan established yang telah diasumsikan menjadi panutan sebelumnya.
Heri Dono, Eddie Hara, atau Ivan Sagito tidak lagi utuh menjadi patron kreatif bagi seniman muda di Yogyakarta, seperti kurun waktu sebelumnya. Demikian juga hal serupa terjadi dengan Tisna Sanjaya atau Sunaryo di Bandung, Dolorosa Sinaga di Jakarta, Ivan Haryanto dan Asri Nugroho di Surabaya, Koeboe Sarawan di Malang, Kok Poo, Inanta, dan Agus Sudarto di Semarang, Made Wianta, Nyoman Erawan, dan Made Budiana di Bali, Idran Wakidi dan Herismen Tojes di Padang, Bonyong Munni Ardhi dan I Gusti Nengah Nurata di Solo, dan lainnya. Mereka, beberapa dari para senior itu, dianggap telah masuk dalam situasi pergerakan “kreatif” yang involutif, yakni keadaan yang “seolah-olah” melakukan pergulatan namun tetap berkelindan dan berputar-putar di tempat tanpa banyak memproduksi perkembangan serta pencapaian artistik-estetik baru. Bukan gerak evolutif atau apalagi revolutif yang bisa diharapkan produk progresivitasnya.
Kedua, berkait erat dengan dua hal di atas, terjadi peningkatan dan penyebaran aesthetic literacy (pencerdasan estetik) pada banyak perupa muda yang menjadi konsekuensi linier atas perkembangan seni rupa yang terjadi di luar lingkungannnya. Ini juga koheren dengan cara pandang seniman dewasa ini yang mampu menghargai setiap informasi (well informed) sebagai bagian penting untuk melibatkan diri dalam arus pewacanaan seni rupa yang mutakhir, aktual atau tengah berlangsung. Oleh karenanya, cara pandang berkesenian pun, untuk sebagian perupa di beberapa kawasan yang saya kenal, mulai bergeser tidak lagi menganggap (proses kreatif) sebagai sesuatu yang “adiluhung”, yang given karena “menunggu ilham jatuh dari langit”, “meniru alam” atau mimesis, dan semacamnya, melainkan juga menjadi sistem representasi intelektualitas, sistem penanda habitus, respons kreatif sebagai homo socius (makhluk sosial), dan sebagainya. Dari sini tentu mulai terlihat titik beda keluaran kreatifnya.
Ketiga, kian menguatnya persentuhan seniman muda dengan segala perkara yang berkait dengan teknologi. Pada titik inilah banyak ditengarai adanya kecenderungan sebagian seniman memanfaatkan kelebihan teknologi sebagai alat bantu produksi kreatif hingga memungkinkan munculnya kecenderungan “ideologi” kreatif baru, temuan-temuan “baru”, modus kreatif “baru” berikut alat ukur estetika “baru”. Dalam kurun yang sama, di seberang itu, kemampuan teknologi tanpa sadar ditempatkan sebagai adiksi baru yang membuat sebagian seniman kecanduan (addicted) hingga memposisikan perangkat teknologi sebagai “berhala kreatif” baru. Kini, komputer (PC, laptop), kamera digital, proyektor, internet, dan semacamnya, telah menjadi perangkat yang inheren dalam konsep dan praktik kreatif banyak perupa.
Keempat, melihat jejaring kerja (networking) sebagai sebuah sistem komunikasi yang penting antar-personal dan antar-komunitas. Dugaan akan pentingnya networking ini memungkinkan, antara lain, mudahnya transfer pengetahuan (transfer of knowledge) hingga memunculkan sistem pengetahuan yang lebih baru bagi sebuah komunitas atau personal yang terlibat dan memanfaatkan networking ini. Kalau dicermati lebih lanjut, kita dapat mengendus bahwa pembentukan networking ini telah dilakukan secara intensif oleh para perupa (muda) di Padang, Semarang, Solo, Malang, Surabaya. Apalagi bagi mereka yang berproses di wilayah yang dianggap sebagai pemegang “garda depan” seni rupa di Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung dan Bali. Mereka membentuk jaring-jaring komunikasi antar sesama (komunitas) perupa di Indonesia, dan juga – tentu saja – mulai melintas melampaui batas-batas disiplin (interdisipliner) dan geografi sosial-politik (inter-geografis) di luar Indonesia.
Beberapa poin dugaan di atas memberi ilustrasi dasar bahwa pergerakan para seniman muda kini telah menerabas batasan-batasan hierarkhis yang membelenggu seperti yang terjadi sebelumnya. Sekarang nyaris tak ada lagi hierarkhi yang berlandaskan senioritas untuk masuk dalam forum-forum dan perhelatan seni rupa yang penting di tanah air ataupun di mancanegara. Mereka, anak muda itu, mampu merangsek masuk karena pencapaian, prestasi, dan kebaruan estetik yang telah melampaui batas-batas yang dilampaui seniornya.
/Dua/
Kalau kemudian puluhan perupa muda dari berbagai kota ini disandingkan dalam sebuah perhelatan bertajuk kuratorial Survey, deretan pertanyaan klasik bisa mengemuka: Pola representasi macam apakah yang bisa dibaca dari pameran ini? Apakah yang bisa mereka bawa dalam presentasi karya ini bila para perupa muda diasumsikan menjadi pengisi garda depan seni rupa di Indonesia kelak? Ekspektasi apa yang bisa ditangguk dari perhelatan semacam ini?
Perhelatan seni rupa kali ini menjumput peserta para seniman muda, dengan mendasarkan kata “muda” pada pembatasan usia, yakni maksimal 35 tahun. Risiko yang relatif langsung mengemuka adalah minimalnya keterlibatan para perupa dengan reputasi yang melampaui wilayah geografis lokal masing-masing. Sebagai amsal, Kokoh dan Oktar Abrianto masih baru dikenal di kawasan Semarang. Demikian juga, Romi Armon baru sebatas dikenal di Padang. Tetapi itu bukan menjadi perkara paling penting karena justru risiko itu harus ditempuh dengan tendensi yang lebih jelas bagi keberadaan event semacam pameran Survey ini.
Maka, pameran semacam ini dapat ditendensikan untuk beberapa kepentingan. Pertama, memungkinkan perhelatan ini difungsikan sebagai kerangka dasar dalam melakukan pemetaan atas progres kreatif para (calon) seniman (muda) di beberapa kawasan di Indonesia. Poin pertama ini, tak pelak, kemudian bisa pula diresepsi bahwa pameran Survey, dalam gradasi tertentu, bisa menjadi forum untuk membaca kemungkinan terbukanya “kaderisasi”, “regenerasi”, atau apapun istilah yang telah usang dan “modernis” itu. Dalam kalimat dan perspektif yang lebih menukik, saya kira, Survey bisa diasumsikan sebagai talent scouting event (perhelatan untuk pemanduan bakat). Sebuah kalimat yang semoga tidak dipahami secara keliru dan reduktif sebagai pengingkaran terhadap beberapa seniman yang relatif telah menjadi “bintang” yang sudah mulai berkemilau dan terlibat dalam pameran ini. Model pameran seperti ini telah saya lakukan pada pameran Kotakatikotakita dan Shout Out! di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tahun 2005 dan 2007. Ditinjau dari animo seniman dan resepsi publik, pameran tersebut direspons begitu antusias.
Tendensi kedua, perhelatan Survey juga berlaku untuk melakukan pelacakan atas progres lembaga pendidikan seni dalam memberi kontribusi terhadap praktik kreatif dan kognitif di masing-masing wilayah dimana seniman ini berasal atau berproses. Ini realitas yang tak dapat ditampik karena dewasa ini penghuni kanvas seni rupa Indonesia nyaris selalu didominasi oleh perupa yang berasal dari dunia akademik. Namun, uniknya, peta diskursus ihwal seni rupa justru tidak senantiasa – bahkan jarang – muncul dari kampus.
Kita bisa lihat, misalnya, di Yogyakarta ada Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di satu sisi, dan di seberang itu ada Cemeti Art House, Kelompok Jendela, Bentara Budaya, Sanggar Dewata Indonesia (SDI), Apotik Komik (alm.), Sakato, dan lainnya yang memberi kontribusi untuk mendinamisasi geliat perkembangan seni rupa. Ini juga terjadi dengan Bandung yang memiliki FSRD ITB, di samping juga ada Selasar Sunaryo, Commonroom, dan komunitas lain yang berpengaruh. Di Jakarta ada IKJ dan UNJ yang “berdampingan” dengan komunitas Ruangrupa, Tembok Bomber, dan lainnya. Di Sumatra Barat ada Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang dan STSI Padang Panjang, namun ternyata “perlu” ada komunitas seni Belanak sebagai partner. Pun di Semarang ada Universitas Negeri Semarang (Unes) dan perlu mitra semacam K-2-K (Kos to Kos), Komunitas Kayangan, Galeri Semarang, Rumah Seni Yaitu, dan lainnya. Di Bali ada ISI Bali dan IKIP Singaraja, di samping sempat lahir kelompok Taksu, dan komunitas lainnya.
Hal menarik pula, sebagai poin ketiga, bahwa ajang ini kiranya mampu dijadikan sebagai “perangkat” untuk memeriksa kembali kontinuitas gairah kreatif yang bersinggungan dengan gairah akan kesadaran sosial dalam kanvas seorang seniman (muda). Saya kira ini akan bersangkut-paut dengan dua hal penting: sensibilitas seniman dalam bersikap terhadap persoalan kemasyarakatan di seputarnya, dan intelektualias seniman dalam membaca tiap geliat dinamika dunia pemikiran di sekelilingnya. Ini menyangkut dunia gagasan yang diterakan seniman dalam kanvasnya sebagai bagian dari artifak pemikiran. Terus terang, poin ini masih lebih sebagai ekspektasi, karena kalau menyimak pada realitas karya, banyak seniman yang masih lebih banyak mengedepankan dunia bentuk dengan segala kompleksitas teknis dan eksplorasinya – ketimbang dunia gagasannya.
/Tiga/
Dalam pameran Survey ini kita dapat menyaksikan salah satu penampang kecil dari perkembangan seni rupa di Indonesia yang dibawa oleh anak-anak muda kini. Memang tidak cukup kompleks dan komplet, karena “hanya” menjumput karya-karya dengan medium yang terbatas, yakni lukisan dan beberapa karya tri-matra, seperti patung dan keramik. Dan tidak pula menampilkan banyak nama dengan reputasi yang mulai dipetakan dalam lanskap seni rupa dewasa ini.
Namun dari sini kita bisa menjemput beragam karya dengan pola kecenderungan yang cukup beragam. Dari aspek tematik, ada trend yang dialami oleh banyak perupa untuk tidak lagi menyentuh secara dalam dan intensif pada tema-tema sosial politik, misalnya. Kalau toh mengemuka pada satu-dua karya atau seniman, mereka menampilkannya dalam pola (re)presentasi yang berbeda: lebih sublim, dingin, sekaligus lebih mengedepankan aspek main-main (playful). Tidak begitu kentara untuk berkomentar bahkan berteriak lantang seperti yang dapat ditengarai dengan tegas pada kurun waktu sepuluh tahun lampau, saat eforia politik begitu riuh pada masa transisi kepemimpinan 1998. Kala itu, hingga tahun-tahun berikutnya, tak sedikit seniman yang tiba-tiba “genit” menjadi komentator politik.
Kini, mereka seperti tersedot ketertarikannya pada, misalnya, ihwal identitas yang abu-abu, eksplorasi pada potret diri atau tubuh beserta segenap aspek personalitasnya, soal lanskap, hingga menyoal tentang subyek yang gampang ditemui dalam keseharian dan lalu ditransformasikan sebagai gagasan utuh. Di dalamnya, juga kian dalam anak-anak muda ini menekankan aspek teknis sebagai bagian penting dalam hasrat mereka membincangkan dunia gagasannya.
Ada cermin kecil yang terpantul dari Survey ini, bahwa para perupa muda sekarang (antara lain) tak lagi cukup cerewet dan heroik membincangkan serta menggagas dunia di luar dirinya, kecuali kehendak untuk menampilkan problem eksotika (rupa). Dunia dalam sang perupa, menjadi semesta yang riuh-rendah di atas kanvas kini.
Comments