Tak Ada Lagikah yang Sakral?
(Di bawah ini tulisan bagus dari Salman Rusdhie tentang aktivitas membaca dan kompleksitasnya. Sastrawan asal India yang menetap di Inggris ini sempat menggegerkan dunia sastra sejagad karena karyanya, Satanic Verses (Ayat2 Setan), dianggap merendahkan Islam. Tulisan di bawah ini diterjemahkan dengan bagus oleh seorang sahabat, Ari Wijaya. Foto di atas adalah momen-momen terakhir kebersamaan Salman dan istri ketiganya, Padma Lhaksmi, yang akhirnya juga bercerai)
Oleh Salman Rusdhie
SAYA diasuh dibesarkan dengan menciumi buku dan roti.
Di rumah keluarga kami, barang siapa menjatuhkan buku atau roti chapati alias “irisan” – ini istilah kami untuk menyebut sepotong segitiga roti yang telah diolesi mentega – bukan cuma wajib mengambil kembali apa yang jatuh tadi melainkan juga harus mencium, sebagai tanda permintaan maaf telah berlaku ceroboh dan tidak menghargai kedua obyek itu. Saya sama ceroboh dan doyan mencolek mentega seperti anak-anak lain, sebab itu, di masa kanak-kanak saya, bukan main banyak “irisan” dan buku di rumah kami telah saya cium.
Di rumah tangga saleh di India acapkali, dan masih tetap, ada anggota keluarga yang adatnya menciumi buku-buku suci. Tapi kami menciumi rupa-rupa. Kami cium kamus dan atlas. Kami juga cium novel Enid Blyton dan komik Superman. Seandainya saya pernah menjatuhkan buku telepon, barangkali saya pun sudah menciumnya.
Semua ini terjadi sebelum saya mulai mencium seorang dara. Rasanya memang benar, benar bagi seorang penulis fiksi, untuk dikatakan bahwa ketika saya mulai mencium dara, kegiatan saya berkenaan dengan buku dan roti kehilangan gairah istimewanya. Walaupun tentu orang tak bakal begitu saja melupakan cinta pertamanya.
Roti dan buku: makanan raga dan makanan jiwa – apa lagi yang lebih pantas dihormati, bahkan dicintai?
Selalu saja saya terkejut menjumpai seseorang sama sekali tidak peduli pada buku, menghina kegiatan membaca, apa lagi menulis. Buku-buku yang paling saya cintai adalah fiksi, namun selama dua belas bulan terakhir ini saya terpaksa menerima kenyataan bahwa bagi jutaan orang, buku-buku ini tidak punya daya tarik atau nilai apa-apa. Kita telah menyaksikan serangan terhadap karya fiksi, suatu serangan terhadap gagasan yang terdapat dalam wujud novel, sebuah serangan keras yang begitu gila-gilaan sehingga perlu ditegaskan kembali apa sebenarnya yang paling berharga dalam seni sastra – artinya, menanggapi serangan tersebut tidak dengan serangan-balik, melainkan dengan pernyataan cinta.
Cinta memang dapat menjadi bakti, akan tetapi bakti seorang kekasih lain dari kebaktian umat Beriman, ia bukan sejenis militansi. Saya mungkin akan terperanjat – malah jantungan barangkali – mengetahui bahwa Anda tidak menyukai buku atau karya seni tertentu yang saya kagumi; boleh jadi saya lalu berusaha keras mengubah pendapat Anda; tetapi toh akhirnya akan saya terima bahwa selera dan kecintaan Anda adalah urusan Anda sendiri, bukan urusan saya. Orang Beriman tak kenal keterbatasan semacam ini. Bagi dia, ia yang benar, Anda keliru. Dengan segala daya ia akan berusaha mengubah pendirian Anda, dengan kekerasan kalau perlu. Seandainya tidak mampu melakukan itu, setidaknya, ia bisa merendahkan Anda dengan mengatai Anda musrik.
Cinta toh tidak perlu buta. Sedang iman, akhirnya, niscaya berupa lompatan dalam gulita.
***
JUDUL ceramah ini sering dipakai sebagai pertanyaan, dengan nada ngeri, ketika tokoh atau gagasan atau nilai atau tempat tertentu yang sangat lekat di hati si penanya diperlakukan secara ikonoklastik. Bola kriket warna putih untuk pertandingan malam hari? Perempuan jadi imam? Orang Jepang mengambil alih perusahaan Rolls-Royce? Tak ada lagikah yang sakral?
Sampai baru-baru ini, saya menyangka tahu jawabannya. Jawabnya, Tidak.
Tidak, tak sesuatu pun sakral dalam dirinya dan mengenai dirinya, demikian mestinya jawab saya. Gagasan, teks, bahkan orang, bisa disakralkan – kata itu sendiri berasal dari kata Latin sacrare, “dijadikan suci” – akan tetapi meskipun entitas semacam itu, setelah kesakralannya mantap, lalu berusaha menyatakan dan mempertahankan kemutlakan dirinya, bahwa ia tak boleh dilanggar, namun tindakan menyakralkan itu sendiri nyatanya adalah sebuah peristiwa sejarah. Ia adalah buah dari berbagai desakan kompleks suatu masa, ketika tindakan itu terjadi. Sebuah peristiwa di dalam sejarah selalu harus dijadikan bahan pertanyaan, dekonstruksi, atau bahkan dinyatakan usang. Sedang menghormati kesakralan sama dengan dilumpuhkan oleh subjek tersebut. Gagasan tentang kesakralan sebenarnya adalah gagasan sangat kolot yang terdapat dalam setiap kebudayaan, sebab ia mengubah gagasan-gagasan di luar dirinya – Ketidakpastian, Kemajuan, Perubahan – menjadi kejahatan.
Sebagai satu contoh tentang menyatakan-usang itu, akan saya gambarkan diri saya sebagai orang yang hidup di suatu masa setelah matinya tuhan. Tentang ini, seorang novelis dan kritikus Amerika, William H. Gass berkata sebagai berikut, belum lama, pada 1984:
Kematian tuhan bukan saja merepresentasikan kesadaran bahwa tuhan-tuhan tidak penah ada, melainkan bahwa kepercayaan semacam itu tak lagi dimungkinkan, bahkan secara irasional pun tidak: baik penalaran atau selera dan suasana masa sekarang tak lagi mendukung. Tentu saja, kepercayaan itu sendiri tetap tak mati-mati, tapi itu toh tak ubahnya dengan astrologi atau kepercayaan bahwa bumi itu datar.
Saya mengalami kesulitan tertentu untuk menerima keterusterangan tak kenal kompromi yang terdapat dalam catatan obituari ini. Senantiasa terang bagi saya, bahwa Tuhan itu tidak seperti manusia bisa mati, atau setidaknya, sebagian dari dirinya tidak mati-mati. Di banyak tempat lain, umpamanya, di India, Tuhan terus bermekaran dengan ribuan wujud. Sebab itu, bila toh saya bicara tentang suatu kehidupan setelah Tuhan mati, saya berbicara dalam pengertian terbatas dan pribadi – pemahaman saya tentang Tuhan sudah runtuh di masa lalu, akibatnya saya terseret dalam berbagai kemungkinan kreatif yang ditawarkan surrealisme, modernisme dan para penerusnya, yakni filsafat dan estetika yang dilahirkan oleh kesadaran bahwa, sebagaimana dikatakan Karl Marx dulu, “segala sesuatu yang pejal telah leleh jadi hawa.”
Bagi saya, betapa pun, ketanpatuhanan, atau lebih tepat kepascatuhanan saya, tak perlu membuat saya bertentangan dengan iman. Malahan, salah satu alasan mengapa saya mengembangkan bentuk penulisan fiksi di mana mukjizat dapat hidup berdampingan dengan yang duniawi adalah karena saya percaya bahwa pengertian kesakralan maupun keprofananan sama-sama perlu dieksplorasi sejauh mungkin melalui berbagai potret sastrawi keberadaan kita, tanpa harus dihakimi lebih dulu.
Yang hendak dikatakan di sini adalah: pengarang sekuler mestinya mampu menghadirkan potret simpatik seorang umat yang saleh. Atau, untuk dikatakan dengan cara lain: saya belum pernah merasa perlu menotemkan kekurangimanan saya, sampai-sampai merasa perlu harus maju berperang demi dia.
Namun sekarang saya temui seluruh gambaran-dunia saya ini diperangi. Sambil merasa perlu membela praduga-praduga dan proses sastra, yang selama ini saya yakini tersedia bagi sesiapa pun yang merdeka, dan yang terus diperjuangkan dari hari ke hari oleh siapa saja yang tidak merdeka, saya pun merasa wajib mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri, sebuah pertanyaan yang saya akui terus mengejar saya.
Mungkinkah, saya pada akhirnya menemukan sesuatu yang sakral? Siapkah saya mengesampingkan kesakralan, yakni gagasan tentang kemerdekaan mutlak imajinasi bersama gagasan-gagasan saya sendiri mengenai Dunia, Teks dan Hal yang Baik? Bukankah hal-hal ini telah membuat para apolog religi mulai mengatainya sebagai “fundamentalisme sekuler”? Dan bila memang ya, haruskah saya mengakui bahwa “fundamentalisme sekuler” ini pun mengandung kemungkinan terjadinya ekses, penyalahgunaan dan penindasan, sebagaimana terjadi dengan kanon-kanon iman religius?
***
CERAMAH DALAM RANGKA mengenang mendiang Herbert Read ini sungguh sesuai untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Saya merasa terhormat diundang untuk melakukannya. Herbert Read, salah seorang penganjur utama gerakan modernis dan surrealis dari Inggris, adalah wakil istimewa dari nilai-nilai budaya yang lekat di hati saya. “Kesenian tak akan pernah dibekukan,” tulis Read. Perubahan adalah kondisi yang diperlukan seni agar ia terus menjadi seni.” Prinsip inilah yang saya pegang. Kesenian adalah, juga, sebuah peristiwa yang berlangsung dalam sejarah, dan terkena proses sejarah. Akan tetapi ia juga mempersoalkan proses sejarah itu, sebab itu perlu terus-menerus berjuang untuk menemukan bentuk-bentuk baru sebagai cermin dari proses pembaruan dunia yang tak kenal henti. Tak satu estetika pun dapat dibakukan, kecuali estetika yang didasarkan pada gagasan ketidakbakuan, metamorfosa, atau, untuk meminjam sebuah terma politik, “revolusi tanpa henti”.
Pada pertemuan petang ini, pertarungan antara gagasan-gagasan semacam itu dengan kebenaran-kebenaran wahyu religi yang abadi didramatisasi kembali – saya berharap Anda dapat memaklumi penegasan saya ini – lewat kemangkiran saya. Saya minta maaf atas hal ini. Sebetulnya saya telah bertanya kepada para pelindung saya yang layak dihormati itu, apa pendapat mereka jika saya sendiri menyampaikan teks saya secara pribadi. Jawaban yang saya peroleh, kira-kira, adalah “Apa kami sudah melakukan kesalahan?” Dengan menyesal, saya terima pendapat mereka.
Adalah menyakitkan bahwa saya tak dapat kembali memasuki kehidupan lama saya, tidak untuk sesaat pun. Betapa pun saya tetap harus berterima kasih kepada Harold Pinter, yang ucapannya telah mewakili saya. Barangkali peristiwa ini dapat dipandang sebagai semacam pewahyuan sekuler: seseorang menerima teks melalui proses misterius dari Tempat lain – dari atas? Atau bawah? Dari dinas rahasia Scotland Yard yang baru? – kemudian menyuarakannya di hadapan orang banyak, menyitirnya . . . .
***
LEBIH DARI dua puluh tahun yang lalu, saya sendiri berdiri berjejal di bagian belakang gedung teater ini, mendengarkan ceramah Arthur Koestler. Ia mengajukan tesis, bahwa bahasalah, bukan teritori, yang jadi biang agresi, alasannya, begitu suatu bahasa mencapai taraf kecanggihan tertentu hingga mampu mengekspresikan konsep-konsep abstrak, ia akan memperoleh kuasa totemisasi; dan begitu orang mampu menegakkan totem, mereka akan pergi berlaga untuk mempertahankannya. (Maaf kepada sukma Koestler. Saya bersandar pada ingatan lama, suatu tempat sandaran yang sulit diandalkan.)
Untuk mendukung teorinya, ia bercerita kepada hadirin tentang dua suku monyet yang tinggal, saya kira, di sebuah pulau di kawasan utara Jepang. Kedua suku itu tinggal berdekatan satu sama lain, di hutan dekat jeram, dan memertahankan hidup mereka, tidak di luar kelaziman, dengan makan pisang. Tapi salah satu suku monyet itu, telah mengembangkan kebiasaan aneh, mencuci pisang di jeram sebelum mulai melahapnya, sementara suku lain melanjutkan kebiasaan lamanya, tidak mencuci pisang. Meski demikian, kata Koestler, toh kedua suku itu tetap hidup bertetangga tak kurang suatu apa, tanpa perlu berselisih paham. Mengapa begitu? Sebab, bahasa mereka terlalu primitif untuk bisa menotemkan tindakan mencuci-pisang ataupun makan pisang tanpa dicuci. Kalau saja mereka memiliki bahasa lebih canggih, baik si pisang basah maupun si pisang kering akan dapat menjadi jimat sakral di jantung religi, nah, awas! – Perang sabil.
Seorang pemuda di tengah hadirin berdiri, menanyai Koestler. Barangkali penyebab sebenarnya mengapa kedua suku monyet itu tidak berkelahi, ia menduga, adalah karena di tempat itu tersedia pisang cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan semua. Koestler naik pitam dibuatnya. Ia menolak menjawab jebakan Marxis ini. Dan, dengan demikian, Kostler benar. Koestler dan si penanya mendedahkan bahasa yang berbeda, bahasa keduanya bertemperasan. Perselisihan kedua orang itu malah dapat dipandang sebagai bukti kebenaran pendapat Koestler sendiri. Bila Koestler dianggap sebagai si pencuci pisang dan penanyanya si pemakan pisang kering, maka penguasaan mereka atas bahasa yang lebih kompleks dari monyet-monyet Jepang tadi memang telah mengakibatkan penoteman. Kini kedua pihak memiliki totem masing-masing yang harus mereka bela: keutamaan bahasa versus keutamaan ekonomi: itulah yang memustahilkan terjadi rembugan. Mereka pun tercebur dalam peperangan.
Antara religi dengan sastra, sebagaimana antara politik dan sastra, ada perselisihan lantaran masalah bahasa. Tapi perselisihan ini bukan sekedar menyangkut oposisi sederhana. Sebab, sementara religi berusaha mengistimewakan satu bahasa tertentu melebihi bahasa-bahasa lain, satu susunan nilai-nilai di atas yang lain, satu teks di atas yang lain-lain, novel senantiasa mempersoalkan pertengkaran antarbahasa, nilai dan narasi yang berbeda-beda, serta mempersoalkan pergeseran hubungan antarmereka. Ini adalah hubungan kekuasaan. Novel tidak berusaha membangun satu bahasa yang diistimewakan. Novel memilih menegaskan kemerdekaan untuk melukiskan dan menganalisa perselisihan antar berbagai kontestan, ketika mereka berniat mengejar keistimewaan semacam itu.
Carlos Fuente menyebut novel sebagai “gelanggang yang diistimewakan” Ia tidak mengartikan hal itu sebagai semacam ruang suci di mana orang harus melepas kasut saat masuk; novel bukan gelanggang untuk disembah; novel tak mengklaim hak-hak istimewa selain hak mementaskan perdebatan akbar masyarakat. “Novel,” tulis Fuentes, “dilahirkan oleh kenyataan bahwa orang saling tidak memahami setelah bahasa ortodoks dan unitarian runtuh. Quixote dan Sancho, Shandy bersaudara, Tuan dan Nyonya Karenina: novel-novel ini adalah komedi (atau drama) tentang kesalahpahaman antar para tokohnya. Bila Anda memaksakan sebuah bahasa unitarian, Anda akan membunuh novel, tapi sambil membunuh masyarakatnya sekalian.”
Selanjutnya ia mendada pertanyaan yang juga telah saya ajukan kepada diri saya sepanjang hidup saya sebagai penulis: Dapatkah mentalitas religi terus bertahan di luar dogma maupun hirarki religius? Ini sama saja dengan bertanya: Dapatkah kesenian menjadi prinsip ketiga yang memperantarai dunia material dengan dunia spiritual; dapatkah, dengan “menelan” kedua dunia tersebut, ia menawarkan suatu hal baru kepada kita – sesuatu yang mungkin dapat disebut sebagai definisi sekuler tentang transendensi?
Saya percaya bisa. Saya percaya harus bisa. Dan saya percaya bahwa, dalam wujud terbaiknya, kesenian telah berbuat demikian.
***
APA YANG SAYA maksud dengan transendensi adalah terbang lolosnya spirit manusia dari belenggu keberadaan fisik-materialnya, yang dapat kita alami, secara religius atau sekuler, setidaknya untuk saat-saat singkat. Kelahiran adalah momen transendensi, telah kita habiskan seluruh waktu hidup kita buat mencoba memahaminya. Memuncaknya tindakan cinta, pengalaman kebahagiaan dan mungkin sekali momen kematian adalah momen transendensi lain. Memuncaknya kualitas transendensi, perasaan melampaui diri sendiri, perasaan bahwa dengan suatu cara kita berpaut dengan seluruh kehidupan, tentu hanya terjadi dalam waktu sangat pendek. Bahkan pengalaman mistis atau visiuner tak pernah bertahan lama. Kesenian akan menangkap pengalaman ini, menawarkannya kepada, dalam hal sastra, para pembaca; dan menjadi, bagi kebudayaan sekuler dan materialis, semacam sulih bagi apa yang dalam jagad iman ditawarkan oleh kasih Tuhan.
Sungguh penting memahami betapa menonjol kebutuhan kita yang telah dipenuhi oleh religi, selama berabad-abad lalu. Pada hemat saya kebutuhan itu terdiri dari tiga hal: pertama, kebutuhan untuk mengartikulasikan selintas pengetahuan kita akan apa yang memuncak, ketakjuban, keterpesonaan; sebab hidup adalah pengalaman yang menakjubkan, dan religi membantu kita memahami mengapa hidup acapkali membuat orang merasa kecil, dengan memberi tahu kita, kita ini lebih kecil ketimbang apa; dan sebaliknya, sebab kita juga merasa sebagai makhluk istimewa, yang terpilih, religi juga dapat membantu memberi tahu kita itu telah dipilih oleh apa, dan untuk apa. Yang kedua, kita butuh jawaban atas apa yang mustahil dijawab: Bagaimana kita bisa sampai di tempat ini? Bagaimana pula awal-mulanya sehingga yang ‘sini’ bisa sampai di sini? Semua ini, apakah tak lebih dari hidup yang singkat ini? Bagaimana mungkin? Apa artinya itu? Lantas yang ketiga, kita memerlukan kode-kode sebagai patokan hidup, ‘aturan untuk segala tetek-bengek’. Gagasan tentang tuhan serentak merupakan khasanah keterperangahan kita yang luar biasa pada hidup sekaligus juga jawaban atas berbagai pertanyaan besar tentang eksistensi, ia juga menjadi buku-panduan. Jiwa manusia memerlukan penjelasan-penjelasan ini – bukan sekedar penjelasan rasional belaka, melainkan penjelasan hati.
Penting pula dicamkan betapa sering bahasa materialisme rasionalis yang sekuler gagal menjawab kebutuhan-kebutuhan ini. Ketika menyaksikan mampusnya komunisme di Eropa Tengah, tak akan luput dari penglihatan kita bahwa begitu dalam roh religius telah mengilhami banyak pemrakarsa revolusi ini, dan mesti kita akui pula bahwa yang telah gagal di sana bukan cuma ideologi tertentu, melainkan justru gagasan bahwa manusia niscaya mampu mendefinisikan diri sendiri dengan mengesampingkan kebutuhan rohaninya.
Adalah jelas, meskipun tetap relevan untuk dicamkan, bahwa di semua negeri yang kini bergerak menjelang kebebasan, seni telah ditindas dengan cara sama kejamnya sebagaimana religi ditindas. Bahwa revolusi Cekoslovakia bermula di gedung teater dengan dipimpin seorang penulis adalah bukti bahwa kebutuhan rohani rakyat, lebih dari kebutuhan material mereka, telah menggusur kekuasaan para komisar partai.
Yang nampak jelas di sini adalah akan makan waktu amat panjang sebelum orang-orang Eropa mau menerima suatu ideologi yang mengklaim mampu menjelaskan dunia ini secara lengkap dan menyeluruh. Iman yang religius, meskipun amat berarti, niscaya tetap merupakan sesuatu yang pribadi. Penolakan terhadap penjelasan yang menyeluruh, total, ini adalah kondisi yang modern. Di sinilah tempat masuk novel, suatu bentuk yang diciptakan orang untuk mendiskusikan terpotong-potongnya kebenaran. Sutradara film, Luis Buñuel pernah berkata: “Akan kupersembahkan hidupku kepada orang yang mencari kebenaran. Tapi dengan riang akan kubunuh ia yang mengira telah menemukan kebenaran.” (Di masa itu ungkapan seperti ini kita pandang sebagai lelucon, sebelum marak kembali gagasan untuk membunuh orang gara-gara apa yang ia pikirkan). Dimuliakannya usaha mengejar Roh melebihi Roh itu sendiri, diakuinya bahwa segala apa yang dulu pejal kini leleh sudah, bahwa realitas dan moralitas bukan sesuatu yang terberi melainkan konstruk bikinan manusia yang serba tidak sempurna, adalah titik-mula fiksi. Itulah yang disebut J. F. Lyotard, di tahun 1979, sebagai La Condition Postmoderne. Tantangan bagi sastra adalah untuk bertolak dari titik ini sambil terus berusaha menemukan jalan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan rohani kita yang tak terubah.
***
MOBY DICK menanggapi tantangan ini dengan menawarkan visiun kelam nyaris berwatak Manichean mengenai alam raya (si Pequod) yang tercengkeram iblis, Ahab, yang tak pelak menuju iblis lain; yakni si Ikan Paus. Samudera senantiasa menjadi sang Lain bagi kita, kepada kita ia menampilkan diri sebagai makhluk mengerikan – ular Uroboros, Kraken, Leviathan. Herman Melville menyelidiki perairan gelap ini demi menawarkan amsal yang sangat modern: Ahab, dalam himpitan apa yang ia miliki, hancur; Ismail, yang tak jatuh hati secara mendalam dan tak punya ikatan kuat, mampu bertahan. Manusia modern yang hanya punya kepentingan-diri menjadi satu-satunya yang bertahan; mereka yang memuja si Ikan Paus – bukankah perburuan itu suatu wujud pemujaan – dihancurkan sang Paus.
Para pengelana Joyce, gelandangannya Beckett, para pencoleng Gogol, meditasi berenerji tinggi-nya Bellow; semua, dan banyak lagi yang lain, inilah milik kita sekarang sebagai ganti para nabi maupun orang-orang suci yang sengsara. Tapi seraya menjawab kebutuhan kita akan rasa takjub dan memahami hidup, novel juga mengantar kita ke kisah-kisah kejam yang tak mengenakkan.
Novel memberi tahu kita bahwa patokan sudah tidak ada lagi. Ia tidak memfirmankan Aturan-aturan. Kita sendiri dipaksa menyusun aturan itu sebaik mungkin, menjaganya sambil menjalani hidup kita.
Novel juga mengatakan, tidak ada lagi jawaban; atau, alih-alih, ia memberi tahu kita bahwa lebih mudah menjawab apa lagi dengan kurang mantap, ketimbang mengajukan pertanyaan. Jika religi itu jawaban, jika ideologi politik itu jawaban, maka sastra adalah penyelidikan; sastra yang agung, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan luar biasa, membuka pintu-pintu baru di benak kita.
Richard Rorty, dalam Philosophy in the Mirror of Nature, menandaskan pentingnya kesejarahan, pentingnya melepas ilusi tentang berkomunikasi dengan Yang Abadi. Bagi dia, kesalahan besarnya adalah apa yang ia sebut “fondasionalisme”, yang oleh teolog Don Cupitt, untuk menanggapi Rortry, disebut sebagai “usaha, yang sudah setua (malah lebih tua dari) Plato, untuk memermanenkan dan memberi kuasa kepada pengetahuan dan nilai-nilai kita dengan mengaku mendapatkannya dari alam kosmik yang tetap, alami atau noumenal, di luar arus pembicaraan manusia.” Sebab itu lebih baik, demikian Cupitt menyimpulkan, “menjadi seorang pragmatis yang luwes, seorang kembara.”
Michel Foucault, adalah juga seorang historicist yang yakin. Dibahasnya peran pengarang dalam menyanggah kemutlakan-kemutlakan yang disakralkan itu dalam esainya, “What is Author?” Sebagian esai ini berpendapat bahwa “teks, buku dan diskursus mulai sungguh-sungguh ada pengarangnya… sedemikian rupa sampai para pengarang ini menjadi sasaran hukuman, dengan kata lain, sedemikian hingga diskursus menjelma menjadi pelanggaran.” Sungguh sebuah gagasan sangat provokatif, sekalipun dikemukakan dengan corak lazim Foucault yang mengawang dan sama sekali tanpa didukung bukti-bukti: bahwa pengarang hanya disebut ketika perlu ditemukan orang untuk disalahkan. Foucault melanjutkan:
Dalam kebudayaan kami (tak disangsikan juga dalam banyak kebudayaan lain), diskursus pada mulanya bukanlah produk, suatu benda, sejenis benda tertentu; ia pada dasarnya adalah tindakan – suatu tindakan dalam medan dwi-kutub di antara yang sakral dengan yang profan, yang sah dengan yang haram, yang religius dengan yang murtad. Secara historis sikap begini sarat risiko . . .
Dalam awal-mula kita, kita temukan esensi kita. Untuk memahami religi, lihatlah momen-momen awalnya. (Patut disayangkan bahwa Islam yang di antara semua religi paling mudah dikaji dengan cara ini, karena lahir di suatu zaman yang telah memiliki catatan sejarah, telah dengan keras menentang gagasan bahwa ia, sebagaimana semua gagasan lain, adalah sebuah peristiwa yang ada di dalam sejarah). Untuk memahami suatu bentuk artistik, pun, Foucault menyarankan, lihatlah asal-usulnya. Jika apa yang dikatakannya berlaku pada novel, maka sastra pun, di antara segala kesenian, menjadi yang paling cocok untuk menentang segala bentuk kemutlakan; dan, sebab ia bermula sebagai si Lain-skismatik dari teks sakral (yang tak berpengarang itu), maka ia pun merupakan kesenian yang tampaknya paling dapat diharapkan untuk mengisi celah-celah bentukan-tuhan.
Ada pula alasan-alasan lain untuk mengusulkan novel sebagai bentuk kesenian yang sangat krusial dalam apa yang saya tak dapat lagi mengelak untuk menyebutnya sebagai zaman pasca-modern. Salah satunya, sastra adalah kesenian yang paling kurang terkena kontrol dari luar, karena ia dibuat sendirian. Untuk membuatnya cuma dibutuhkan satu orang, satu pena, satu kamar, sejumlah kertas. (Bahkan kamar pun tidak mutlak diperlukan). Sastra adalah bentuk kesenian dengan teknologi paling rendah. Ia tak meminta panggung atau layar. Ia tidak meminta penerjemah, aktor, produser, awak kamera, penata busana, pemusik. Ia bahkan tidak memerlukan aparat tradisional seperti penerbit, sebagaimana telah diperagakan oleh keberhasilan sastra marathon samizdat. Esai Foucault itu memberi kesan bahwa sastra pun menanggung risiko terlena dalam sekapan kekuatan-kekuatan ekonomi pasar, yang menyusutkan buku menjadi produk. Bahayanya amat nyata, saya tak mau meremehkan. Tapi juga benar bahwa di antara segala bentuk seni, sastra masih dapat menjadi yang paling merdeka. Makin banyak uang untuk mengongkosi suatu karya, makin mudah mengontrolnya. Film, bentuk kesenian paling mahal, adalah juga paling kurang subversif. Dengan alasan itulah, meskipun Carlos Fuentes menyebut karya para pembuat-film macam Buñuel, Bergman dan Fellini sebagai kilas-kilas keberhasilan pemberontakan sekuler memasuki wilayah sakral, saya tetap yakin bahwa kemungkinan itu lebih besar pada novel. Singularitas novel menjadi perlindungan diri yang amat kokoh.
Di antara buku-buku yang saya lahap dan cium termasuk sejumlah besar komik murahan yang sangat tidak sastrawi. Menjadi pahlawan di buku-buku komik ini adalah, begitu agaknya dalam pandangan saya, hampir selalu sosok mutan atau makhluk-makhluk ganjil: selain si Batman dan si Spiderman begitu pula Aquaman, yang setengah ikan itu, dan tentu saja Superman, yang mudah disangka burung atau pesawat terbang. Pada masanya, di pertengahan 1950-an, semua super hero ini, dengan cara masing-masing, bak elang pengawal hukum dan tertib yang konservatif, melompat beraksi begitu menerima Sinyal Kelelawar dari Pak Polisi. Mereka bersatu-padu membentuk Liga Keadilan Amerika, untuk mempertahankan apa yang disebut Superman sebagai “kebenaran, keadilan dan gaya hidup Amerika”. Tapi di samping penekanan berlebihan pada tema membasmi kejahatan, pelajaran yang mereka berikan pada anak-anak – atau pada anak yang satu ini, begitulah kiranya – barangkali justru berupa suatu kebenaran radikal yang tak dinyana, bahwa ketidaklaziman itu punya nilai agung dan sangat heroik; bahwa mereka yang berbeda dari gerombolan manusia malah amat layak dielu-elukan dan dikasihi; dan bahwa ketidaklaziman itu suatu karunia yang begitu besar dan amat mudah disalahpahami sehingga dalam kehidupan sehari-hari perlu disembunyikan di balik apa yang dalam komik-komik itu dinamai ‘identitas rahasia’. Superman tak bakal dapat bertahan tanpa kehadiran Clark Kent ‘si lembut hati’, ‘jutawan tokoh masyarakat’ Bruce Wayne memungkinkan kesibukan malam hari si Batman.
Adalah juga benar bahwa makhluk ganjil, hibrid, mutan, tak lazim lainnya – para novelis – kreator benda yang sangat ganjil, hibrid dan metamorfik, yakni novel; mereka acapkali dipaksa bersembunyi di balik identitas rahasia, baik dengan alasan gender atau teror. Akan tetapi yang paling memesona di antara sekian banyak kebenaran yang menawan tentang novel adalah bahwa makin besar sosok seorang penulis, makin besar pula ketaklazimannya. Para jenius novel adalah mereka yang seluruh suaranya, yang tak mungkin disamarkan itu, merupakan suara khas mereka. Mereka, untuk meminjam imaji William Gass, menandatangani setiap kata yang mereka torehkan. Yang mendekatkan kita kepada seorang pengarang adalah ‘ketidaksamaan’ itu, kendati aparat kritik sastra kelak berusaha menunjukkan betapa si pengarang bersangkutan tak lebih dari sekumpulan pengaruh. Ketidaksamaan, yang membuat seorang penulis tak mungkin digolongkan kedalam barisan regimentatif, adalah watak khas novelis maupun para Ksatria Plastis di buku komik, meskipun si novelis mungkin tak bakal mampu dengan sekali langkah melompati gedung-gedung tinggi.
Yang memperumit, si penulis sendiri hadir dalam karyanya, di tangan pembaca, begitu terpapar, begitu tak berdaya, sama sekali tak bisa berlindung di balik alter ego apa pun. Apa yang dimantapkan, dalam kegiatan membaca yang bersifat rahasia ini, adalah semacam identitas lain yang terbentuk ketika, lewat medium teks, pembaca bertemu penulis, menjadi suatu adaan kolektif dan bersama-sama menulis seraya membaca dan membaca seraya menulis, kemudian, bersama-sama, menciptakan karya unik, suatu novel ‘mereka’. ‘Identitas rahasia’ penulis bersama pembaca inilah anugerah terbesar dan paling subversif yang dipersembahkan novel.
Dan inilah, walhasil, alasan mengapa saya meninggikan kedudukan novel di atas bentuk-bentuk kesenian lain, mengapa ia senantiasa telah, dan tetap, menjadi cinta pertama saya: bukan hanya ia suatu kesenian yang paling tak tercemar, tapi juga satu-satunya yang memasukkan ‘gelanggang istimewa’ tempat berselisih berbagai diskursus ke dalam kepala kita. Ruang interior imajinasi kita jadi teater yang tak bakal dapat disuruh tutup; imaji-imaji yang tercipta di sini tersusun menjadi film yang tak bisa dihancurkan.
Dalam dekade akhir milenium ini, ketika kekuatan-kekuatan religi kembali menguat sementara kekuatan materialisme yang mencakup apa saja makin mengokohkan rantai belenggu yang memberati spirit manusia, ke mana novel mesti mengarahkan pandangan? Agaknya jelas bahwa diperbaruinya medan diskursus dwi-kutub yang tua itu, antara yang sakral dengan yang profan, yang diusulkan Michel Foucault, akan jadi sangat penting. Mungkin, kita tengah menjelang suatu dunia di mana tak akan ada alternatif nyata bagi model sosial kapitalis liberal (selain, barangkali, model fondasionalis teokratik Islam). Dalam situasi semacam ini, kapitalisme liberal atau demokrasi atau dunia bebas akan membutuhkan tilikan sangat ketat, rigorous, dari para novelis, ia akan membutuhkan reimajinasi dan tindakan mempertanyakan dan menyangsikan. “Antagonis kitalah penolong kita,” ujar Edmund Burke, dan bila demokrasi tak lagi punya komunisme untuk membantunya memperjelas siapa dirinya, dengan memerankan oposisi bagi dia, bagi gagasan-gagasannya, barangkali ia harus berpaling ke sastra untuk memeroleh penyanggah.
***
SAYA telah melontarkan sejumlah besar klaim borongan atas sastra dalam perjalanan tulisan ini, saya menginsyafi adanya nada yang lumayan mesianistik dalam sebagian besar tulisan saya ini. Merujuk buku dan penulis, oleh penulis, tentu bukan hal yang baru benar. “Sejak awal abad ke-19,” tulis Cupitt, “para penulis imajinatif telah mengklaim – sebetulnya menikmati – peran sebagai pemandu dan wakil budaya kita. Juru khotbah kita adalah novelis, penyair, dramawan, pembuat film dan sejenis itu. Mereka ini pemasok fiksi, orang-orang tak jelas, penghasut. Toh kita masih terus mengira kita ini rasional.”
Tapi kini saya temukan diri saya membelakangi gagasan yang mensakralkan sastra dengan siapa saya telah bermain mata di bagian awal teks ini; saya tak sanggup menerima gagasan bahwa penulis itu nabi sekuler; saya ingat bahwa salah seorang penulis agung abad ini, Samuel Beckett, percaya bahwa segala kesenian pada akhirnya akan tiba pada kegagalan. Ini, jelas, bukan alasan untuk menyerah. “Terus mencoba. Terus gagal. Tak apa. Coba lagi. Gagal dengan lebih baik.”
Sastra adalah laporan sesaat dari kesadaran sang seniman, oleh sebab itu tak akan pernah dapat “tuntas” atau “sempurna”. Sastra dibuat di kawasan frontier antara diri dengan dunia. Dengan aksi penciptaan frontier itu akan melunak, menjadi berpori-pori, memungkinkan dunia mengaliri si seniman dan si seniman mengalir memasuki dunia. Apa yang begitu tidak pasti, begitu gampang dan sering merupakan kesalahpahaman itu tentu tak perlu diproteksi dengan dinyatakan keramat. Kita dipaksa bergerak maju tanpa dilindungi pensakralan, ini justru bagus, bukan. Kita tak boleh menjelma menjadi apa yang kita tentang.
Satu-satunya keistimewaan yang diperlukan sastra – dan keistimewaan ini diperlukan supaya ia eksis – adalah keistimewaan sebagai gelanggang diskursus, suatu tempat di mana dapat dipentaskan pertarungan bahasa-bahasa.
***
ANGANKAN ini. Suatu pagi Anda terbangun, mendapati diri berada di rumah besar yang nampak berantakan. Setelah berjalan kian kemari Anda insaf begitu besar rumah itu sehingga mustahil mengenal seluruhnya. Di rumah itu ada orang-orang yang Anda kenal, para anggota keluarga Anda, teman-teman, kekasih, rekan kerja, tapi banyak juga orang yang asing. Rumah itu sarat dengan kegiatan: ada konflik dan bujuk-rayu, perayaan dan kebangunan. Pada titik tertentu Anda mengerti tak ada jalan keluar dari sana. Anda belajar menerima keadaan ini. Rumah itu bukan pilihan Anda, keadaannya payah, lorong-lorongnya acap dijejali tukang gertak, tapi agaknya memang niscaya demikian. Lalu suatu hari Anda temukan satu kamar kecil yang tampangnya tak menonjol. Kamar itu kosong, tapi di dalamnya ada suara, suara-suara yang seakan-akan bicara hanya kepada Anda. Anda mengenal beberapa di antaranya, sebagian lain sama sekali asing. Suara-suara itu berbicara tentang rumah itu, tentang siapa saja di dalamnya, tentang segala yang sedang terjadi dan telah terjadi dan seharusnya terjadi. Beberapa di antaranya melulu menyumpah-nyumpah. Yang lain jalang. Beberapa mengasihi. Beberapa lucu. Beberapa pilu. Paling menawan dari suara-suara ini adalah ketika semua serentak berbunyi. Anda mulai makin sering memasuki kamar itu. Lambat laun Anda sadar bahwa sebagian besar orang di rumah itu sekali tempo memanfaatkan kamar-kamar semacam itu. Toh kamar-kamar itu semua terletak di tempat yang tidak mencolok dan nampak remeh.
Kini angankan seandainya suatu pagi Anda terbangun masih di rumah besar tadi, tetapi seluruh kamar-suara itu lenyap. Seakan semua tersapu. Kini tak ada lagi tempat di rumah itu di mana Anda dapat mendengar suara-suara membicarakan apa saja dengan cara bagaimana saja. Tak ada lagi tempat di mana orang bisa mendengar suara, yang sesaat lucu sesaat kemudian bisa sedih, yang bisa terdengar parau dan merdu dalam satu ketika. Kini Anda ingat: tak ada jalan keluar di rumah itu. Keadaan mulai terasa tak tertanggungkan. Anda tatap mata orang-orang di lorong-lorong – keluarga, kekasih, teman-teman, rekan kerja, orang asing, tukang gertak, pendeta. Anda lihat tatapan sama di mata setiap orang. Bagaimana cara keluar dari tempat ini? Menjadi jelas kalau rumah itu penjara. Orang-orang mulai pada melolong, memukul-mukul dinding. Lalu muncul sejumlah lelaki bersenjata. Rumah itu mulai terguncang-guncang. Anda tidak bangun. Anda sudah bangun.
***
SASTRA adalah tempat dalam setiap masyarakat di mana kita, dalam kerahasiaan kepala masing-masing, dapat mendengar suara-suara bicara tentang apa saja dengan segala kemungkinan cara. Alasan mengapa mesti mengawetkan gelanggang istimewa ini bukanlah karena para penulis menginginkan kebebasan mutlak untuk berkata dan berbuat apa pun yang mereka hasratkan. Melainkan bahwa kita, kita semua, para pembaca dan penulis dan warga negara dan jenderal dan manusia bertuhan, membutuhkan kamar kecil, yang nampak remeh tadi. Tak usah kita menyebutnya sakral, tapi memang perlu kita camkan bahwa ia diperlukan.
“Semua tahu,” tulis Saul Bellow dalam The Adventures of Augie March, “dalam penindasan tak ada ketajaman maupun ketepatan. Jika engkau menekan sesuatu, kau tekan pula sebelahnya.”
Di mana pun di dunia ini menutup kamar kecil sastra, lekas atau lambat bakal berguguran dinding-dinding.
Salman Rushdie, 1990
diambil dari buku Imaginary Homeland: Essays and Criticism
Comments
maaf, tak sempat nyortirin buatmu Kuss. Tapi silakan coba cari lewat mesin dengan menulis: critique of, atawa review of, is nothing sacred rushdie. Banyak tuh bahan bisa dibaca di situ.
Salam
ari.widjaja@lycos.com