Elek Ning Jero
(Pengantar singkat untuk buku kumpulan kartun Prie GS., "Indonesia Tertawa", 2014)
SALAH satu maestro seni rupa Indonesia, almarhum H. Widayat, saat masih mengajar di kampus Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (FSR ISI) Yogyakarta, sering membuat keder mahasiswa. Apalagi kalau mengritik karya-karya lukis para mahasiswanya. Tak jarang, saat menghadapi lukisan yang tidak menarik secara artistik dan estetik (baginya), pak Widayat langsung bertanya, “Ini lukisan siapa? Maunya apa?” Sang mahasiswa empunya lukisan tersebut dengan antusias bergegas menjawab, “Karya saya, pak!” Pak Widayat hanya berkomentar pendek: “Elek we durung, mas!” (Jelek saja belum, mas!) Seperti biasa, ledakan tawa seperti nyaris meruntuhkan tembok kelas mendengar komentar sang dosen itu. Dan dari titik momentum tersebut pak Widayat biasa memberi argument dan dalih atas komentarnya.
Sejujurnya, saya juga punya komentar serupa ketika menyaksikan karya-karya kartun mas Prie GS yang terhimpun dalam buku ini. Goresannya: “elek we durung!” Sejak pertama kali lihat puluhan tahun lalu hingga karyanya yang mutakhir, kartun-kartun mas Prie—secara artistik—kurang berkembang. Lalu, apa kelebihannya? Bagi saya, kenyataan bahwa karya-karyanya yang masih “elek we durung” itu seperti disadari dan dipahami sebagai bagian penting dari proses sekaligus tujuan kreatifnya, sehingga rute utama yang harus dilalui adalah konsisten pada “elek we durung”. Output dari proses kreatifnya berupa kartun dengan garis yang linier, monoton, seenaknya tapi kurang plastis-elastis, dikukuhi hingga bertahun-tahun pada ratusan bahkan mungkin ribuan karya. Ini mengingatkan kita pada kartunis Ranan Lurie dengan arsiran pada karyanya yang tegas tapi kaku. Dan ini, yang terjadi pada Pris GS, terus dilakukan dengan konsistensi yang terjaga, dengan mental nekad a.k.a. mburok a.k.a. mbonek. Hasilnya adalah identitas atau ciri khas yang berbeda dengan karya kartunis yang lain. Memang karya kartunnya tidak sangat orisinal—seperti halnya di dunia ini nyaris tak ada yang baru dan orisinal. Tapi ketika menyimak dan membandingkan dengan karya dilingkungannya, maka identitas kartun yang “prie gs banget” terasa betul. Beda jauh dengan (minimal) kartunis seputar Semarang seperti Koesnan Hoesie, Slamet Widodo, dan sekian banyak nama kartunis yang merimbun di kawasan itu.
Ini tentu kalau menyimak dari sisi visualnya, karena pada karya seni rupa (termasuk kartun atau komik termasuk di dalamnya) ada dua hal penting dan mendasar yang bisa disimak: dunia bentuk dan dunia gagasannya, dunia visual dan dunia substansialnya. Lalu, ada apa dan bagaimana dengan dunia substansi karya kartun dari kartunis yang juga cerewet sebagai motivator ini?
Saya melihat bahwa kartun-kartun Prie GS ini, terkhusus yang berlabel “Cantrik” yang dimuat periodik seminggu sekali di harian “Suara Merdeka”, Semarang, seperti miniatur dari pikiran-pikiran usil kartunisnya. Mungkin juga sikap kritis atau sikap politiknya. Dalam “Cantrik”, seperti biasa, ditampilkan struktur cerita yang sederhana yang dipindahkan dari realitas sosial yang tengah aktual terjadi. Oleh Prie digubah sebagai “realitas kartun” dalam beberapa panel sederhana. Ada fakta yang ketengahkan ulang, lalu dijelaskan lebih lanjut lewat dialog antartokohnya, dan diakhiri pada panel terakhir dengan punch berupa kata atau kalimat kunci yang lucu, pedas, nyinyir atau sinis.
Pola ini standar. Namun Prie mampu dan sering membuat punch dengan baik. Standar baik pun bisa bermacam-macam, antara lain lucu, sinis menyengat, atau penuh endapan filosofi. Tapi tokoh “Cantrik” yang disodorkan tak jarang justru mengajak untuk menertawakan kenaasan yang menimpa. Pada titik inilah, sebenarnya, Prie seperti membongkar salah satu nilai terdalam dari sisi kemanusiaan kita: tega mengorek luka sendiri berarti siap lahir batin menjadi manusia yang penuh. Pada level inilah karya Prie berpotensi “elek ning jero”, jelek tapi dalam. ***
Kuss Indarto, pensiunan kartunis, dan angota Dewan Kurator Galeri Nasional Indonesia 2009-2014.
SALAH satu maestro seni rupa Indonesia, almarhum H. Widayat, saat masih mengajar di kampus Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (FSR ISI) Yogyakarta, sering membuat keder mahasiswa. Apalagi kalau mengritik karya-karya lukis para mahasiswanya. Tak jarang, saat menghadapi lukisan yang tidak menarik secara artistik dan estetik (baginya), pak Widayat langsung bertanya, “Ini lukisan siapa? Maunya apa?” Sang mahasiswa empunya lukisan tersebut dengan antusias bergegas menjawab, “Karya saya, pak!” Pak Widayat hanya berkomentar pendek: “Elek we durung, mas!” (Jelek saja belum, mas!) Seperti biasa, ledakan tawa seperti nyaris meruntuhkan tembok kelas mendengar komentar sang dosen itu. Dan dari titik momentum tersebut pak Widayat biasa memberi argument dan dalih atas komentarnya.
Sejujurnya, saya juga punya komentar serupa ketika menyaksikan karya-karya kartun mas Prie GS yang terhimpun dalam buku ini. Goresannya: “elek we durung!” Sejak pertama kali lihat puluhan tahun lalu hingga karyanya yang mutakhir, kartun-kartun mas Prie—secara artistik—kurang berkembang. Lalu, apa kelebihannya? Bagi saya, kenyataan bahwa karya-karyanya yang masih “elek we durung” itu seperti disadari dan dipahami sebagai bagian penting dari proses sekaligus tujuan kreatifnya, sehingga rute utama yang harus dilalui adalah konsisten pada “elek we durung”. Output dari proses kreatifnya berupa kartun dengan garis yang linier, monoton, seenaknya tapi kurang plastis-elastis, dikukuhi hingga bertahun-tahun pada ratusan bahkan mungkin ribuan karya. Ini mengingatkan kita pada kartunis Ranan Lurie dengan arsiran pada karyanya yang tegas tapi kaku. Dan ini, yang terjadi pada Pris GS, terus dilakukan dengan konsistensi yang terjaga, dengan mental nekad a.k.a. mburok a.k.a. mbonek. Hasilnya adalah identitas atau ciri khas yang berbeda dengan karya kartunis yang lain. Memang karya kartunnya tidak sangat orisinal—seperti halnya di dunia ini nyaris tak ada yang baru dan orisinal. Tapi ketika menyimak dan membandingkan dengan karya dilingkungannya, maka identitas kartun yang “prie gs banget” terasa betul. Beda jauh dengan (minimal) kartunis seputar Semarang seperti Koesnan Hoesie, Slamet Widodo, dan sekian banyak nama kartunis yang merimbun di kawasan itu.
Ini tentu kalau menyimak dari sisi visualnya, karena pada karya seni rupa (termasuk kartun atau komik termasuk di dalamnya) ada dua hal penting dan mendasar yang bisa disimak: dunia bentuk dan dunia gagasannya, dunia visual dan dunia substansialnya. Lalu, ada apa dan bagaimana dengan dunia substansi karya kartun dari kartunis yang juga cerewet sebagai motivator ini?
Saya melihat bahwa kartun-kartun Prie GS ini, terkhusus yang berlabel “Cantrik” yang dimuat periodik seminggu sekali di harian “Suara Merdeka”, Semarang, seperti miniatur dari pikiran-pikiran usil kartunisnya. Mungkin juga sikap kritis atau sikap politiknya. Dalam “Cantrik”, seperti biasa, ditampilkan struktur cerita yang sederhana yang dipindahkan dari realitas sosial yang tengah aktual terjadi. Oleh Prie digubah sebagai “realitas kartun” dalam beberapa panel sederhana. Ada fakta yang ketengahkan ulang, lalu dijelaskan lebih lanjut lewat dialog antartokohnya, dan diakhiri pada panel terakhir dengan punch berupa kata atau kalimat kunci yang lucu, pedas, nyinyir atau sinis.
Pola ini standar. Namun Prie mampu dan sering membuat punch dengan baik. Standar baik pun bisa bermacam-macam, antara lain lucu, sinis menyengat, atau penuh endapan filosofi. Tapi tokoh “Cantrik” yang disodorkan tak jarang justru mengajak untuk menertawakan kenaasan yang menimpa. Pada titik inilah, sebenarnya, Prie seperti membongkar salah satu nilai terdalam dari sisi kemanusiaan kita: tega mengorek luka sendiri berarti siap lahir batin menjadi manusia yang penuh. Pada level inilah karya Prie berpotensi “elek ning jero”, jelek tapi dalam. ***
Kuss Indarto, pensiunan kartunis, dan angota Dewan Kurator Galeri Nasional Indonesia 2009-2014.