Kesederhanaan dalam Ujian Konsistensi Artistik
DALAM pelataran sejarah, publik telah
menengarai bahwa seni lukis abstrak telah lama mengemuka sebagai bagian penting
dari dinamika seni rupa. Robert Atkins dalam ARTSPEAK: A Guide to
Contemporary Ideas, Movements, and Buzzwords (1990) memberi peta kecil
bahwa seni lukis abstrak telah muncul dan dipioniri oleh tiga sosok penting,
yakni Wassily Kandinsky yang beproses di Munich, Jerman, dan Frantisek Kupka
serta Robert Delaunay di Paris, Perancis. Pada rentang waktu yang nyaris
bersamaan, yakni antara 1913-1916, tokoh constructivist Rusia, Vladimir Tatlin
mengkreasi bentuk-bentuk relief abstrak yang dianggap sebagai pencapaian baru.
Dalam
perkembangannya, sekira tahun 1940-1950, setidaknya yang bisa ditapaki jejaknya
di Amerika Serikat, tidak sedikit seniman yang masuk dan suntuk dalam kesadran
kreatif abstract expressionism. Ada banyak nama yang membawa arus ini seperti
William Baziotes, Adolf Gottlieb, Philip Guston, Franz Kline, Lee Krasner,
Robert Motherweli, Barnett Motherwell, Barnett Newman, Clyfoord Still, Mark
Tobey, hingga para bintangnya yang cemerlang seperti Willem de Kooning, Jackson
Pollock, dan Mark Rothko.
Dalam
konteks seni rupa Indonesia, publik telah mafhum dengan para pioner yang banyak
bergerak dari beberapa kawasan geografis atau pun muasalnya, entah otodidak
maupun akademik. Lembaga pendidikan seni rupa di Institut Teknologi Bandung
dianggap sebagai laboratorium seni rupa Barat yang kemudian diidentikkan,
antara lain, dengan "produsen" seni rupa abstrak. Dari situ kemudian
muncul nama seperti Ahmad Sadali dan sederet nama lain di belakangnya. Di
kawasan lain muncul nama Nashar, OE (Oesman Effendi), dan lainnya. Di
Yogyakarta, di tengah kerumunan para perupa yang sangat suntuk dengan karya-karya
figuratif, menyeruak nama Fadjar Sidik yang menjadikan abstrak sebagai pilihan
kreatifnya.
Kata
abstrak ini sendiri, kalau dimasukkan dalam konteks gejala seni rupa,
setidaknya terpilah dalam dua hal yang cukup berseberangan, yakni abstrakisme
dan abstraksionisme. Hal pertama, abstrakisme—pengertian sederhananya—adalah
gaya dalam lukisan yang meniadakan ilusi-ilusi bentuk dalam kanvas, sementara
abstraksionisme lebih mengacu pada karya seni abstrak yang masih menyisakan
citra obyek yang menjadi titik berangkat karya lukisan.
Menyimak
karya-karya Richard Meyer yang terpapar dalam pameran tunggalnya ini, saya
kira, kita tidak masuk dalam belantara kotak abstrakisme atau abstraksionisme
yang teramat ketat. Karya-karyanya mencoba ulang-alik antara keduanya meski
pada kurun waktu tertentu dia ketat dalam pilihan kreatif yang menunggal.
Pengalaman panjangnya sebagai sosok yang berada cukup dekat secara geografis
dengan salah satu pusaran perkembanagan seni lukis modern dunia, terutama seni
lukis abstrak di Amerika memungkinkan bagi dirinya untuk menyuntuki dan
menganalisis apa yang telah dilihatnya untuk kemudian melakukan
"pengingkaran" terhadapnya.
Meyer
terasa berupaya keras untuk melakukan "pengingkaran" atas
kecenderungan visual seni lukis abstrak yang ada di sekitarnya, terutama saat
tinggal di negaranya. Maka, inilah deret buah permenungan sekaligus
pencariannya untuk menghindari dominasi pikirannya tentang abstrakisme atau pun
abstraksionisme yang terserak banyak di sekitarnya. Maka, sebenarnya, pilihan
kreatif Meyer memang tidaklah baru, seperti halnya tidak ada yang orisinal di
maka jagad ini. Namun, tampaknya ada cercah konsistensi atas pilihan kreatif
tersebut. Dari konsistensi itulah ruh karya-karya seniman ini dihidupkan.
kuss Indarto, penulis seni rupa. Pengelola situs www.indonesiaartnews.or.id
Catatan pendek ini termuat dalam leaflet untuk mengiringi pameran tunggal Richard Erwin Meyer, "Transposisi", yang berlangsung di NalaRRoepa Ruang Seni, Karangjati, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogya. Pameran berlangsung 7 Juli-7 Agustus 2014.