Rumah Tumbuh Butet
Memasuki rumah Butet Kertaradjasa serasa memasuki
dunia penuh tanda (sign) dan simbol.
Semua hal yang bertalian dengan mimpi, cita-cita, perjuangan, dan dunia Butet beserta
istri dan anak-anak ada dalam rumahnya. Tanda dan simbol itu ada yang memang sengaja
dibuat, ada pula yang seiring jalannya waktu, artifak atau benda tersebut bisa dibaca
dengan makna yang makin kaya. Rumah yang sekarang berdiri di atas tanah seluas
1.800 meter persegi itu dirancang oleh Eko Prawoto, seorang arsitek lulusan UGM
dan menyelesaikan masternya di Berlage University, Belanda.
“Dulu, saya sekeluarga datang ke rumah mas Eko
untuk membincangkan rumah yang kami mau. Saya menyampaikan usulan saya, istri mengusulkan
kamar yang seperti apa, dan anak-anak curhat
tentang karakter kamar jenis apa yang mereka inginkan. Dari situlah baru mas
Eko bergerak mendisain rumah kami,” tutur Butet yang bernama lengkap Bambang
Ekolojo Butet Kertaradjasa.
Hal unik pertama yang bisa dilihat adalah tangga penghubung menuju lantai dua. Tangkai pegangan tangga terbuat dari kayu bekas wluku atau bajak yang biasa dipasang di belakang sapi atau kerbau untuk membajak di sawah. Sedangkan lantai tangga terdiri dari kayu hasil potongan lumpang atau alat penumbuk padi—yang di jaman modern ini sudah diganti dengan rice mill. Kalau dilihat lebih detil, ada yang menarik pada tiap lantai tangga tersebut. Potongan lumpang yang aslinya berlobang itu ditutup dengan bahan resin bening. Dan di tengah kebeningan resin tersebut terdapat potongan kertas wesel yang didapat dari berbagai redaksi media massa tempat Butet dulu mengirimkan tuisan. Ya, potongan-potongan wesel itu adalah tanda bukti pengiriman honorarium bagi Butet. “Itu menjadi pengingat bagi anak cucu bahwa segala sesuatu itu ada prosesnya. Apa perjuangannya,” tutur Butet.
Dan rumah seniman ini memang “rumah tumbuh” yang memalui proses panjang hingga menjadi seperti sekarang. Awalnya, saat mengawali membangun rumah, tanah yang dimiliiki seluas 500 meter persegi. Ketika proses pembangunan rumah baru berjalan sekitar 30%, tetangganya menawari tanah yang berimpitan dengan bagian belakang rumah. Tanpa banyak berpikir, apalagi rezeki sedang lancar, maka dibelilah tanah tersebut.
Dalam areal tanahnya itu terdapat sebatang pohon ketapang yang dibiarkan tumbuh tanpa pernah dikepras sama sekali cabang dan rantingnya. Semua menjurai lepas sehingga meneduhkan suasana pendapa yang dibangun Butet di halaman belakang. Namun, pada perkembangannya, dia dikomplain oleh tetangga sebelah karena guguran dedaunan ketapang dianggap mengotori halaman rumah. Pikiran iseng namun serius pun dilontarkan Butet, “Dari pada capek nyapu, gimana kalau tanah bapak saya beli saja?” kenang Butet. Ternyata gayung pun bersambut. Sang tetangga memang akhirnya menjual tanahnya, dan pohon ketapang milik Butet mendapatkan perluasan lahan untuk tumbuh. Kini, tanah di lingkungan rumahnya menjadi 1.800 meter persegi.
Seiring penambahan luas tanah itu, lagi-lagi Butet mempercayakan Eko Prawoto untuk mendisain ulang bangunan tambahan seperti garasi (belakang), pendapa dan lainnya. Di antara proses pendisainan rumah sebelumnya, ada hal menarik. Di dekat batas antara tanah pertama dan tanah yang dibeli Butet pada periode kedua ada tumbuh pohon nangka. Pertumbuhan pohon itu terlihat sangat lambat sehingga tampak kecil dan nyaris kering. Ketika harus memperluas dapur, Butet berpesan agar pohon itu jangan ditebang, tapi justru diberi “hak hidup” berupa ruang yang cukup. Oleh sang arsitek, pesan itu menjadi ide yang bagus dengan memberi jeda ruang yang artistik untuk pohon itu hingga menjulang ke atap. Disain justru “mengalah” demi pohon ini. Kini pohon itu telah melampaui atap agar tiap pagi bisa berfotosistesis dengan baik. Hasilnya, pohon yang akarnya berada dalam rumah itu tumbuh subur. Buahnya pun bergerombol banyak hingga menyentuh tanah. Butet menyebut itu sebagai “pohon spiritual” karena seperti berterima kasih kepada tuan rumah dengan berbuah lebat ketika hak hidupnya dipertahankan dengan layak.
Hal unik pertama yang bisa dilihat adalah tangga penghubung menuju lantai dua. Tangkai pegangan tangga terbuat dari kayu bekas wluku atau bajak yang biasa dipasang di belakang sapi atau kerbau untuk membajak di sawah. Sedangkan lantai tangga terdiri dari kayu hasil potongan lumpang atau alat penumbuk padi—yang di jaman modern ini sudah diganti dengan rice mill. Kalau dilihat lebih detil, ada yang menarik pada tiap lantai tangga tersebut. Potongan lumpang yang aslinya berlobang itu ditutup dengan bahan resin bening. Dan di tengah kebeningan resin tersebut terdapat potongan kertas wesel yang didapat dari berbagai redaksi media massa tempat Butet dulu mengirimkan tuisan. Ya, potongan-potongan wesel itu adalah tanda bukti pengiriman honorarium bagi Butet. “Itu menjadi pengingat bagi anak cucu bahwa segala sesuatu itu ada prosesnya. Apa perjuangannya,” tutur Butet.
Dan rumah seniman ini memang “rumah tumbuh” yang memalui proses panjang hingga menjadi seperti sekarang. Awalnya, saat mengawali membangun rumah, tanah yang dimiliiki seluas 500 meter persegi. Ketika proses pembangunan rumah baru berjalan sekitar 30%, tetangganya menawari tanah yang berimpitan dengan bagian belakang rumah. Tanpa banyak berpikir, apalagi rezeki sedang lancar, maka dibelilah tanah tersebut.
Dalam areal tanahnya itu terdapat sebatang pohon ketapang yang dibiarkan tumbuh tanpa pernah dikepras sama sekali cabang dan rantingnya. Semua menjurai lepas sehingga meneduhkan suasana pendapa yang dibangun Butet di halaman belakang. Namun, pada perkembangannya, dia dikomplain oleh tetangga sebelah karena guguran dedaunan ketapang dianggap mengotori halaman rumah. Pikiran iseng namun serius pun dilontarkan Butet, “Dari pada capek nyapu, gimana kalau tanah bapak saya beli saja?” kenang Butet. Ternyata gayung pun bersambut. Sang tetangga memang akhirnya menjual tanahnya, dan pohon ketapang milik Butet mendapatkan perluasan lahan untuk tumbuh. Kini, tanah di lingkungan rumahnya menjadi 1.800 meter persegi.
Seiring penambahan luas tanah itu, lagi-lagi Butet mempercayakan Eko Prawoto untuk mendisain ulang bangunan tambahan seperti garasi (belakang), pendapa dan lainnya. Di antara proses pendisainan rumah sebelumnya, ada hal menarik. Di dekat batas antara tanah pertama dan tanah yang dibeli Butet pada periode kedua ada tumbuh pohon nangka. Pertumbuhan pohon itu terlihat sangat lambat sehingga tampak kecil dan nyaris kering. Ketika harus memperluas dapur, Butet berpesan agar pohon itu jangan ditebang, tapi justru diberi “hak hidup” berupa ruang yang cukup. Oleh sang arsitek, pesan itu menjadi ide yang bagus dengan memberi jeda ruang yang artistik untuk pohon itu hingga menjulang ke atap. Disain justru “mengalah” demi pohon ini. Kini pohon itu telah melampaui atap agar tiap pagi bisa berfotosistesis dengan baik. Hasilnya, pohon yang akarnya berada dalam rumah itu tumbuh subur. Buahnya pun bergerombol banyak hingga menyentuh tanah. Butet menyebut itu sebagai “pohon spiritual” karena seperti berterima kasih kepada tuan rumah dengan berbuah lebat ketika hak hidupnya dipertahankan dengan layak.
Butet yakin, manusia atau makhluk tuhan yang lain pun akan berlaku positif ketika diperlakukan dengan baik. Dia mengaku bahwa dalam rumahnya terdapat satu jin yang sekarang setia menunggu. Awalnya dia datang dan “menampakkan diri” di depan salah satu anaknya. Butet tak merasa perlu mengusir jin tersebut, namun mengundang temannya yang punya kemampuan supranatural untuk berdialog dan “menjinakkannya”.
Hal serupa yang “mengerikan” bagi orang awam juga sudah ada di rumah teaterawan ini. Lantai tegel warna kuning yang ditempatkan di teras rumah adalah lantai bekas yang dulunya dipasang di ruang jenasah sebuah rumah sakit di Semarang. Apa tidak takut? “Tidak. Tidak ada hal-hal yang aneh sampai sekarang,” tegasnya. Lantai itu seperti mengingatkan bahwa kematian pasti datang menjemput tiap manusia.
Rumah bagi Butet, seperti sebuah ruang untuk hidup bersama, termasuk dengan makhluk Tuhan yang tidak kasat mata. ***