Cuilan Cahaya


Bisa jadi ini sekadar info lebay dan ecek-ecek namun tak ada salahnya untuk tetap disebarkan. Dalam sebuah pameran seni rupa, unsur tata (pen)cahaya(an) atau "lighting" punya peran sangat penting. Itu punya pengaruh untuk lebih "menghidupkan" sebuah karya--bahkan dalam kasus tertentu bisa memberi aspek dramatik pada karya.

Teknologi tata cahaya juga ikut terus mengiringi perkembangan jagad seni rupa. Ini yang perlu dicermati oleh banyak kalangan yang bergelut dalam dunia seni rupa.

Salah satu contoh kecil dari perkembangan tata pencahayaan adalah seperti dalam foto ini. Tampak ada serentetan teks yang memberi penjelasan atas data seniman dan karyanya. Teks tersebut berupa "cutting sticker" yang harus ditempatkan dalam ruangan bersama karya. Namun ruangan itu diinginkan oleh senimannya dalam keadaan minim cahaya atau sangat temaram.

Maka, cahaya lampu yang ada semestinya memang minimal. Di sinilah teknologi mencoba memfasilitasi. Pada karya, ada satu-dua lampu yang menyiram tubuh karya secukupnya. Sementara pada bagian teks/keterangan karya juga perlu secuil cahaya. Cuilan cahaya itu terukur jelas areanya, tidak terlalu berhamburan sehingga bertebar memakan ruang sehingga mengacaukan eksotisme atau tingkat artistik karya.

Anda bisa lihat, cahaya lampu itu bisa di-setting membentuk kotak kecil sesuai kebutuhan. Jarak lampu hingga tembok tempat teks itu berada sekitar 2 meter, sehingga fisik lampu tidak mengganggu pandangan penonton.

Di banyak negara maju, seperti yang saya saksikan di Singapore Art Museum, ini sudah jadi kelaziman--bahkan tuntutan--dalam menghadirkan karya ke publik secara ciamik. Semoga di Indonesia (yang perkembangan jagad seni rupanya sudah sangat pesat) juga sudah banyak diterapkan. Bagaiaman dan apa pun, cara penghadiran karya yang serius akan menambah daya pukau karya bagi penonton. Yo ra, bung?

Salah satu contoh kecil dari perkembangan tata pencahayaan adalah seperti dalam foto ini. Tampak ada serentetan teks yang memberi penjelasan atas data seniman dan karyanya. Teks tersebut berupa "cutting sticker" yang harus ditempatkan dalam ruangan bersama karya. Namun ruangan itu diinginkan oleh senimannya dalam keadaan minim cahaya atau sangat temaram.

Maka, cahaya lampu yang ada semestinya memang minimal. Di sinilah teknologi mencoba memfasilitasi. Pada karya, ada satu-dua lampu yang menyiram tubuh karya secukupnya. Sementara pada bagian teks/keterangan karya juga perlu secuil cahaya. Cuilan cahaya itu terukur jelas areanya, tidak terlalu berhamburan sehingga bertebar memakan ruang sehingga mengacaukan eksotisme atau tingkat artistik karya.

Anda bisa lihat, cahaya lampu itu bisa di-setting membentuk kotak kecil sesuai kebutuhan. Jarak lampu hingga tembok tempat teks itu berada sekitar 2 meter, sehingga fisik lampu tidak mengganggu pandangan penonton.

Di banyak negara maju, seperti yang saya saksikan di Singapore Art Museum, ini sudah jadi kelaziman--bahkan tuntutan--dalam menghadirkan karya ke publik secara ciamik. Semoga di Indonesia (yang perkembangan jagad seni rupanya sudah sangat pesat) juga sudah banyak diterapkan. Bagaiaman dan apa pun, cara penghadiran karya yang serius akan menambah daya pukau karya bagi penonton. Yo ra, bung?

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?