“Journey”, Kebersamaan Bob dan Widi
Oleh Kuss Indarto
PERUPA Bob Yudhita Agung yang mempopulerkan diri
sebagai Bob Sick kembali akan menghelat sebuah pameran seni rupa. Kali ini
bersama Widi Benang, istri ketiganya yang telah memberi Bob dua anak perempuan
cantik. Pameran yang dikurasi oleh A. Anzieb ini berlangsung di Green Art
Space, Greenhost Boutique Hotel, Jl. Prawirotaman II No. 629, Yogyakarta, 5
hingga 16 April 2016. Inu Wicaksono—dokter spesialis ahli kejiwaan yang telah
puluhan tahun memiliki banyak pasien dari kalangan seniman di kawasan
Yogyakarta—didaulat untuk membuka pameran ini.
Kata “Journey”
dipilih sebagai judul kuratorial pameran. Ya, perjalanan. Ini lebih
membincangkan pada perjalanan hidup dan kesenimanan pasangan Bob-Widi.
Terkhusus pada Bob Sick yang telah membentangkan rute perjalanan kreatifnya
sekitar 25 tahun—kalau awal masuk studi di kampus Fakultas Seni Rupa Institut
Seni Indonesia Yogyakarta sebagai titik pijaknya.
“Karya-karya yang akan kupamerkan ya lahir seperti
biasanya. Mengalir begitu saja tanpa bisa kubendung,” tutur Bob dalam sebuah
perbincangan pada suatu siang di studionya di bilangan sekitar Jalan Godean,
Sleman, Yogyakarta. Hanya sedikit perbedaannya pada aspek teknis, persisnya
ukuran karya lukisnya yang tak terlalu besar. Ini mengingat ruang pameran yang
tak terlalu besar. Tentu berbeda dengan karya-karyanya yang—ketika perbincangan
ini berlangsung—tengah dipamerkan oleh sebuah galeri di Hongkong dalam
perhelatan Art Basel Hongkong 2016. Di situ karya-karya barunya berukuran jauh
lebih besar.
Menariknya, Bob tetap membuat karya baru sama sekali
untuk pameran bersama Widi di Greenhost tersebut. Ini bagian penting dari
kesadarannya sebagai seniman yang selalu ingin membuat karya baru, dan
“penyakitnya” yang tak bisa menghentikan tangan serta gerak kreatifnya bila
menghadapi kertas, kanvas dan perangkat praktik seni rupa lainnya. “Kalau aku
disediakan kanvas 20 lembar di depan mataku, aku ya bisa ‘menghabiskan’
semuanya hanya dalam sehari,” ucapnya dengan wajah menunduk karena mata dan
tangannya sibuk menggumuli kanvas demi karya baru. Kalimat-kalimatnya terlontar
dengan dingin, sepi ekspresi—berbeda dengan bertahun-tahun lalu ketika masih
cukup muda. Mungkin juga karena satu-dua gigi depannya telah rompal karena
kecelakaan sehingga tak mampu menopang penuh gerak ekspresi lidahnya.
Bob belumlah uzur. Usianya baru akan menapak di angka
45 pada pertengahan tahun ini (kelahiran 26 Mei 1971). Namun perjalanan hidup
dan kesenimanan Bob relatif menarik dan cukup kaya. Sekaya goresan tattoo yang
membujur hampir di sebagian tubuhnya—termasuk wajahnya. Ini yang ingin dicuplik
sebagai bagian dari narasi dalam lukisan yang dipamerkan. Dan mungkin
narasi-narasi tentang dirinya itu akan terus mengalir tanpa bisa dihentikan.
Garis-garisnya yang lentur keluar dari tangan dan imajinasinya selalu lancar
tertoreh di atas kanvas dan kertas atau media apapun. Andaikan sejarah
mempertemukan Bob Sick dan Keith Haring—salah satu bintang Pop Art Amerika
Serikat setelah Andy Warhol, mungkin keduanya bisa saling bersaing meliukkan
garis-garis masing-masing yang liar, kaya, dan imajinatif. Tapi mungkin dunia
akan sedikit lebih membelalakkan mata pada Bob karena keunikan personalitasnya,
kisah-kisah “kengawuran”-nya dalam berproses kesenian juga dalam melakoni hidup.
Bob telah menenggak atau merasai segala jenis narkoba
atau bahan adiksi lain yang dalam jangka panjang telah berperan merontokkan
sistem metabolisme dalam tubuhnya. Ruang-ruang penjara yang dingin telah pula
dicicipi setelah disergap aparat karena barang-barang terlarang tersebut.
Pengalaman lain yang tak mengenakkan pun juga dialami.
Misalnya, pada tahun 2005 ketika Bob hendak menghelat pameran tungalnya yang
bertajuk “Di Bawah Pohon Ketapang, Di Atas Spring Bed” di Kedai Kebun Forum (KKF),
Yogyakarta. Karya-karya sudah dipersiapkan semua. Katalog telah beres tercetak.
Namun sehari menjelang upacara pembukaan berlangsung, peristiwa mengenaskan itu
datang. Di tengah malam yang dingin, tubuhnya tergeletak bersimbah darah di sekitar
kawasan Gowongan Lor, Yogyakarta. Wajahnya lebam di sana-sini. Uniknya, Bob tak
ingat sama sekali dengan kejadian yang dialaminya. Perlu waktu yang lama untuk
kemudian dia mampu merunut peristiwa tersebut. Memorinya terbuka dan dia
mengakui bahwa malam itu dia menonton pertunjukkan musik di sebuah kampus dalam
keadaan mabuk, lalu berteriak dan mengacaukan situasi. Perilaku inilah yang
diduga tak dikehendaki oleh panitia yang kemudian menghajarnya seusai
pertunjukan.
Berkebalikan dengan pengalaman itu, Bob juga telah
melakoni salah satu mimpi indah masa kecilnya, yakni pergi ke Tanah Suci. Ya, dia
berangkat sendiri untuk beribadah umroh sekitar tahun 2011. Tidak mudah baginya
menuju ke sana. Ada halangan psikologis dalam dirinya karena tubuh dan wajahnya
penuh tattoo sehingga—bagi sebagian muslim yang percaya—seluruh ibadahnya akan
mubazir. “Tapi aku punya keyakinan bahwa Tuhan kan punya ukuran tersendiri yang
berbeda dengan ukuran buatan manusia,” ungkap Bob mengenang. Akhirnya dia
memang betul-betul pergi ke Tanah Suci. Tak sedikit orang yang sesama beribadah
umroh memandangnya penuh keanehan ketika bersitatap dengannya. Ya, wajah penuh
tattoo. Di sana, dia juga menemu kejadian yang ganjil: ada seseorang yang
mencegatnya dan memperkenalkan diri sebagai Syekh Maulana Ibrahim. Bagi sebagian
masyarakat di kawasan Yogyakarta atau Jawa tengah tentu tahu bahwa sosok itu
adalah seorang penyebar agama Islam yang hidup beberapa abad lalu, dan makamnya
ada di di perbukitan di sebelah utara pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta.
Pengalaman spiritual itu begitu berarti bagi Bob
hingga kemudian cukup menginspirasi karya-karya seni rupanya yang lahir setelah
kembali ke tanah air. Pengalaman itu juga seperti memberi penyadaran baginya
bahwa dalam hidup itu selalu penuh dinamika, termasuk ketidakmungkinan yang
bisa hadir sebagai realitas-kemungkinan yang tak terduga. Apalagi bila
dikaitkan dengan perjalanannya sebagai seniman, pengalaman spiritual itu bisa
menambah keyakinan bahwa semua bisa berubah. Semua taka da yang tak mungkin.
Sebagai seniman, Bob sempat merasakan dengan kental betapa finansial dan materi
bisa relatif dengan mudah didapatkan ketika booming
tiba. Namun dengan mudah pula situasi dijungkirbalikan tanpa dinyana. “Journey”
bagi Bob adalah sebuah cermin untuk kembali mengilas-balik sebagian dari perjalanan
hidup dan kesenimanannya.
Bagi Wiwid, perhelatan ini juga penting artinya. Ini
adalah kesempatan pertama dirinya bersanding bersama Bob dalam sebuah pameran
seni rupa, meski—sayangnya—keduanya kali ini sudah tidak dalam relasi sebagai
pasangan suami-istri. Ya, Bob dan Widi hadir sebagai sahabat, setelah beberapa
waktu sebelum ini memutuskan untuk berpisah. Mereka tetaplah ayah-ibu bagi
kedua anak putrinya yang imut. Widi
yang 16 tahun lebih muda dari Bob itu merasakan bahwa, “sebenarnya tak banyak yang
berubah pada hubungan kami. Aku tetap kagum dan mengidolakan mas Bob sebagai
seniman yang karya-karyanya keren dan menginspirasi saya,” tegas Widi.
Pada titik inilah Widi merasakan kuatnya titik
relevansi antara tema kuratorial dengan salah satu karya yang dipamerkan, yang
bertajuk “Fragment”. Karya itu bermaterialkan papan kayu mahoni (swietenia macrophylla) yang dipotong
dengan diameter sekitar 30 cm—dengan variasi ukuran yang sedikit lebih besar
atau kecil. Ada 38 papan bulat mahoni yang di salah satu permukaannya diterakan
serigrafi atau sablon bergambar potret-potret wajah keluarga, kerabat dan
teman-teman terdekat. Semua gambar itu dipilah oleh Widi dari potongan-potongan
potret dokumentasi pribadinya. Ada potret dirinya dan anak-anak. Ada Bob dan teman
karibnya seperti Ugo Untoro, S. Teddy D., juga Yustony Volunteero.
Bulatan papan-papan mahoni diandaikan serupa deretan
potongan narasi yang mengisi perjalanan hidup dan kebersamaan Widi bersama Bob
Sick dan pertautannya dengan sosok-sosok lainnya. Ada banyak kisah yang
terbenam dalam potret-potret itu—dan Widi menjadi subyek yang menyutradarai dan
paling paham atas semua kisah tersebut.
Dan Bob, yang lebih banyak tinggal sendiri di studio
sekaligus rumahnya di Jalan Godean itu, kini seperti kembali menuliskan
lembar-lembar baru dalam hidupnya. Ini, mungkin, tak beda jauh dengan esai
pendek bertajuk “My Shadow Want To Kill
Me!” yang pernah dituliskan oleh Bob dan termuat dalam buku “Bob Sick, Indonesia Raw Art Artist”
(2007): Aku harus mulai menulis lagi… ya,
aku harus mulai menulis lagi. Seperti diburu oleh bayangan sendiri… dimana
bayangan itu mengikuti aku dengan belati terhunus, siap menikam dari belakang…
seperti juga pengkhianatan teman atas teman… dan ini yang dicoba dilakukan oleh
bayanganku sendiri. Aku bukan dictator atas diriku sendiri, aku adalah boneka,
bukan mesin… tapi pada momen-momen tertentu aku adalah mesin pembunuh yang
cukup mengkhawatirkan karena metode membunuh yang ngawur…” ***
Kuss Indarto, penulis seni
rupa, tinggal di Yogyakarta.