Kedaton Ambarrukmo


Bangunan ini kupotret di hari Minggu, 27 Maret 2016 lalu. Tempat asri ini, dulu, dimanfaatkan untuk beristirahat dan menyepi bagi para raja Mataram Islam. Yang tampak dalam foto adalah satu dari beberapa bangunan lain berupa pendapa dan gandhok tengen (bangunan sekunder berupa kamar-kaman di sebelah tengen atau kanan pendapa).
Awalnya, Sultan Hamengkubuwono (Sultan HB) II menjadikan kawasan Jenu menjadi kebon raja mulai tahun 1792. Nama Jenu kelak diganti menjadi Ambarrukmo oleh Sultan Hamengkubuwono VII. Mulai 17 Januari 1828 Sultan HB V memerintah Mataram. Pada masa pemerintahan sultan inilah Jenu kembali dibangun, antara lain dengan membangun pendapa kecil.
Tahun 1867-1869 Sultan HB VI memperluas pendapa dan kebun raja karena difungsikan untuk menyambut para tamu kerajaan. Lalu diberi nama menjadi Pesanggrahan Harja Purna. Tahun 1867 sendiri terjadi gempa bumi besar di Yogyakarta yang mengakibatkan beberapa bangunan kraton runtuh. Tugu Golong Gilig yang ada di ujung utara Jalan Margo Utama (dulu Jalan Mangkubumi) ambruk, dan beberapa tahun kemudian diganti dengan tugu yang berbeda wujudnya dan bertahan hingga sekarang.
1895-1897 Sultan HB VII atau yang dikenal sebagai Sultan Sugih (Sultan Kaya) melakukan renovasi dan perluasan pesanggrahan itu secara besar-besaran. Kondisi perekonomian dan manajemennya yang bagus memungkinkan untuk melakukan itu. Kala itu Sultan mampu mendirikan pabrik gula hingga 20 buah. Maka, di kompleks pesanggrahan itu kemudian dibangun alun-alun, kesatriyan, keputren dan lainnya. Nama pesanggarahan Harja Purna pun diubahnya menjadi Kedhaton Ambarrukmo. Sejak itulah nama kawasan Jenu melenyap, dan popular menjadi Ambarrukmo—bahkan hingga sekarang.
Perbaikan dan perluasan kawasn Ambarrukmo itu, tampaknya, seperti dipersiapkan untuk istana hari tua Sultan HB VII. Tanggal 29 Januari 1921 beliau secara resmi berpindah dari kraton di pusat kota Yogyakarta untuk menetap di Ambarrukmo setelah secara mengejutkan mengundurkan diri sebagai raja. Ini kali pertama seorang Sultan Ngayogyakarta mundur. Diduga karena pemerintah Hindia Belanda terlalu banyak menekan dan mendikte. Akhirnya, sebelas bulan kemudian, 30 Desember 1921, Sultan HB VII wafat dan dimakamkan di pemakaman para raja Mataram di Imogiri. Setelah turun tahta, Sultan Sugih pernah berujar bahwa “Setelah saya, tidak pernah ada Sultan yang meninggal dalam istana.” Entah apa makna kalimat tersebut. Namun, faktanya, Sultan HB VIII meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih (tapi ada sumber lain menyebut beliau meninggal dalam perjalanan keluar kota), dan Sultan HB IX mengembuskan nafas terakhir di Washington, Amerika Serikat.
Bagi Sultan Sugih meninggal dalam keadaan sebagai rakyat dan tidak dalam kepungan kemegahan istana, mungkin, lebih terhormat. Tak tahulah. Tapi siang itu saya merasakan atmosfir yang tenang dan teduh di sekitar bangunan pendapa, gandhok tengen, dan pesanggrahan. Meski ketika keluar kompleks itu puluhan meter kemudian, aaah, aura panas langsung menyerbu. Amplas atau Ambarrukmo Plaza yang mengimpit gandhok tengen terasa berdiri angkuh, seperti mengganggu ketenangan para Sultan yang tengah tetirah di situ.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?