Mahalnya Mahar
PETANG itu, Sabtu, 19
April 2014, mas George Eman—perupa senior di kota Kupang—bergegas mengajakku
meninggalkan kompleks gedung Taman Budaya NTT menuju kediaman Prof. Dr. Alo
Liliweri. Dia tak ingin kami terlambat mengikuti semua urutan prosesi acara lamaran
anak putri sang professor, yang juga adik kandung teman kami, Yopie Liliweri.
Benar, sekitar 200
meter menjelang tempat acara, kami terjebak oleh sedikit kemacetan. Ada puluhan
kendaraan roda empat mengantri untuk mencari tempat parkir yang tak luas.
Apalagi jalan sekitar itu relatif sempit, maka perlu waktu untuk bersabar.
Beruntunglah acara
baru mulai persis beberapa menit setelah kami duduk di celah kerumunan ratusan
tetamu lain. Seperti biasa, mereka terdiri dari tiga pilahan: orang-orang yang
masih bertalian darah dengan pihak perempuan, sebagian adalah mereka yang
menjadi keluarga dari pihak laki-laki, dan para tamu undangan termasuk saya (uuups,
tamu liar aku!).
Prosesi acara dimulai
ketika serombongan keluarga dari pihak laki-laki yang akan melamar (sebagai
tamu) serentak berdiri dan berbaris memanjang hingga puluhan meter. Semua
memakai pakaian adat. Di ujung depan barisan itu berdiri pemuda calon mempelai
yang didampingi orang tua dan (semacam) juru bicara.
Dalam perhelatan
petang dan malam itu, kulihat sang juru bicara ini mengambil peran penting
dalam jalannya acara. Dia bahkan melampaui peran MC atau pembawa acara karena mampu
menghidupkan detik-detik penting prosesi acara. Dia, kalau tak salah, berbicara
dalam bahasa salah satu suku di kabupaten Lembata yang harus diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia karena sebagian besar tetamu tak paham dengan bahasa
tersebut. Ini menarik karena sesama warga satu propinsi saja (sebagian besar) tak
mengerti dan paham bahasa suku lainnya. Realitas ini memberi gambaran tambahan bahwa
propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu penyumbang banyaknya keragaman
suku dan bahasa di tanah air. Ada sekian puluh suku dan sub-suku berikut bahasanya
masing-masing yang khas dan berbeda satu sama lain di sana. Sedangkan salah satu
suku besar adalah suku Lamaholot.
Maka tak heran kalau
prosesi acara relatif cukup lama karena ada proses penerjemahan tiap kalimat
yang diutarakan oleh juru bicara. Memang atmosfir lokal sengaja dijaga dengan
tetap memakai bahasa daerah (yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia). Ketika tuan rumah menerima dan menyambut kedatangan tamunya pun,
mereka juga terlebih menggunakan bahasa daerah yang (“celakanya”) tidak banyak
dipahami oleh mayoritas tetamunya dari pihak keluarga laki-laki. Maklum, beda
pulau.
Uniknya, ketika juru
bicara mengungkapkan maksud dan tujuan kedatangannya, antara lain disampaikan dengan
pantun. Lebi menarik lagi, ketika diterjemahkan, ungkapan-ungkapan dari sang
juru bicara ternyata sangat puitis dan terkadang jenaka. “Duhai bapa dan ibu,
serta ananda putri … kami datang dengan cinta, maka sambutlah kami dengan segenap
cinta. Kami tak ingin pulang dengan nestapa lantaran cinta yang tidak diterima…”
Kurang lebih kalimat seperti itu yang terlontar hingga menerbitkan senyum
simpul bagi sekian banyak tetamu.
Sementara pada baris kedua
persis di belakang calon mempelai laki-laki dan juru bicara, ada seorang pria
yang membawa nampan cukup besar. Isinya, wow, gading gajah! Ya, benda itulah
yang menjadi mas kawin atau mahar yang hendak disampaikan oleh pihak laki-laki
kepada pihak (calon mempelai) perempuan. Dalam bahasa lokal, persisnya bahasa
suku Lamaholot, itu disebut sebagai belis. Jika seorang perempuan asal
Lamaholot dinikahi oleh orang di luar Lamaholot dan berlangsung di luar kawasan
itu, maka belis atau maharnya bisa digantikan dengan uang. Namun bila
perkawinan berlangsung di “tanah air”, maka sebisa mungkin belis-nya dalam
bentuk gading gajah.
Jurnalis harian Kompas, Kornelis Kewa
Ama pernah mencatat bahwa gading gajah dalam bahasa lokal disebut bala. Ada
tujuh jenis bala, dan tiga di antaranya masing-masing yakni: bala huut (gading yang panjangnya sesuai
rentangan tangan orang dewasa, dari ujung jari kanan hingga ke ujung jari kiri),
lalu bala lima one atau gading sepanjang ujung jari tangan kanan sampai telapak
tangan kiri orang dewasa, dan bala lega korok atau gading sepanjang ujung jari
tangan sampai belahan dada (lihat buku “Ekspedisi Jejak Peradaban NTT, Laporan
Jurnalistik Kompas”, 2011). Ya, alat ukur untuk mengidentifikasi panjang sebuah
gading di daerah itu dengan ukuran depa atau rentangan tangan orang dewasa,
bukan dengan ukuran sentimeter atau alat ukur yang dianggap modern lainnya.
Lalu, berapa jumlah
gading yang mesti dijadikan mahar. Pihak keluarga perempuanlah yang lazimnya
menentukan jumlah gading sebagai belis itu. Konon jumlahnya antara 3-7 buah. Bagi
kalangan bangsawan, 7 gading adalah jumlah yang galib diprasyaratkan. Sementara
bagi masyarakat kebanyakan bisa kurang dari itu. Saya tak tahu persis apakah
angka-angka itu masih banyak diberlakukan atau sekadar adat yang telah lampau
yang kini jarang terjadi. Dalam acara yang saya datangi malam itu, sependek
ingatan saya, hanya ada satu bentang gading gajah. Ukurannya sulit kukira
karena hanya sekilas kumelihat.
Saya membayangkan
betapa sulitnya pihak laki-laki bila harus memenuhi dan “membela” adat itu
karena langkanya gading gajah. Masih dalam buku yang sama, Kornelis Kewa Ama
mencatat bahwa harga sebuah gading gajah itu berada dalam kisaran antara Rp 13
juta hingga Rp 100 juta. Ya, hampir seharga sebuah mobil yang relatif baru.
Betapa tidak murahnya sebuah perkawinan.
Saya belum tahu (dan
membaca) kapan persisnya belis dalam sebuah perkawinan itu berbentuk bala
(gading). Saya menduga hal itu bertalian erat dengan kawasan Nusa Tenggara
(Timur) sebagai tujuan berlabuhnya para pelaut dan pedagang dari mancanegara berabad-abad
lalu, selain mereka menuju kawasan lain seperti Makassar, Ternate, Tidore, dan
lainnya. Kawasan Nusa Tenggara Timur banyak dihampiri karena menjadi kawasan
penghasil barang langka yang hanya ada di tempat itu, yakni (terutama) kayu
cendana. Inilah material yang banyak dipertukarkan atau dibarter dengan
material lain, termasuk gading.
Dua periset sejarah,
yakni Didik Pradjoko dan Friska Indah Kartika dalam buku “Pelayaran dan Perdagangan
Kawasan Laut Sawu Abad Ke-18 hingga Awal Abad Ke-20” (2014) mencatat banyak
data menarik tentang dinamika perdagangan yang terajadi di kawasan tersebut
200-an tahun lalu. Antara data bahwa pada bulan Maret 1877 di pelabuhan Kupang
ada aktivitas mengekspor kayu cendana senilai 600 gulden, lilin hingga 11.440
gulden, dan uang perak senilai 700 gulden. Sebaliknya, pada kurun yang sama, di
pelabuhan Kupang telah diimpor tembikar dan eramik senilai 1.400 gulden,
mentega 650 gulden, gading gajah 30 gulden, arak yang disuling 3.500 gulden, dan
masih banyak barang lainnya.
Jauh sebelum itu, J.C.
van Leur dalam “Indonesian Trade and Society” (1954) juga mencatat bahwa
sekitar awal abad Masehi para pelaut dari India dan kawasan Asia lainnya telah
sampai ke kepulauan di Nusa Tenggara. Mereka membawa cula badak, gading gajah, sutera,
manik-manik, keramik dan lainnya, yang kemudian dipertukarkan dengan
barang-barang lokal seperti kayu cendana, teripang, hingga kuda sandelwood.
Ilustrasi ini memberi potongan
realitas penegas bahwa gading gajah yang hingga kini beredar di kawasan Nusa
Tenggara Timur (dan Barat) dan dijadikan sebagai belis atau mahar itu sejatinya
bukan berasal dari barang setempat, dan bisa jadi juga awalnya merupakan
imitasi dari tradisi dari kebudayaan yang lain. Secara geografis bisa terpapar
dengan cukup jelas bahwa kawasan itu bukanlah kawasan bertumbuh dan
berkembangnya binatang gajah. Nusa Tenggara (Timur) kemungkinan besar bukan
habitat bagi gajah. Gading-gading gajah yang masih ada di sana sebagai
perangkat mahar itu kemungkinan berasal dari Sumatera, India, atau dari kawasan
Asia lainnya.
Maka, betapa mahalnya
mahar bagi calon pengantin di kawasan Nusa Tenggara karena mereka meneruskan
tradisi yang bahan bakunya berasal dari hasil impor ratusan tahun lalu. Tapi, apapun,
malam itu saya memperoleh banyak pengalaman tentang beragam dan kayanya
kebudayaan Nusantara yang sama sekali tak terbayangkan sebelumnya. Di Jawa,
khususnya Yogyakarta, pesta perkawinan juga memiliki kompleksitas dan
kekayaannya sendiri. Demikian juga dalam tradisi di Minangkabau, hingga di
Lamaholot. Ini meneguhkan keyakinan bahwa negeri ini pantas untuk dibela
keutuhannya. Ah, kok sok nasionalis ya? Hehe… ***