Monumen WR Soepratman

Mungkin Soekarno seorang megalomania yang ingin mengidentifikasi kekuasaannya dengan sesuatu yang gigantik atau besar, dan akan dikenang sepanjang masa. Monas, stadion Gelora Bung Karno, masjid Istiqlal, jembatan Semanggi, tuan rumah Asian Games 1962, adalah sederet contohnya.

Sebenarnya masih ada satu proyek raksasa Soekarno yang gagal terwujud hingga ujung kuku kekuasaannya berakhir, bahkan sampai tutup usia, yakni Monumen W.R. Soepratman. Soekarno tak hanya memiliki ide itu, namun bahkan ikut mengonsep dan mendisain dasar monumen tersebut. Sekitar tahun 1952 rancangan awal sudah dibuat. Tinggi monumen itu 85 meter, berasal dari angka 5x17 (5 dari sila dalam Pancasila, dan 17 dari tanggal kemerdekaan RI).

Dalam buku "Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960)" terbitan LIPI (2010) tulisan Dr. Sarkawi B. Husein (dosen Departemen Sejarah, Fak. Sastra, Unair) disebutkan bahwa areal yang dibutuhkan 240 hektar (bandingkan dengan areal Monas yang 80 hektar), dan sudah diancang-ancang akan berdiri di kawasan Wonocolo, Surabaya. Dalam areal itu tidak hanya berdiri sebuah monumen, namun juga bangunan lain yang diandaikan bisa mendinamisasi gerak kebudayaan: Akademi Musik Barat dan Timur, Akademi Seni Tari Timur, gedung Philharmonic Orchestra, gedung Seni Drama Timur, Perpustakaan Kebudayaan, Teater Terbuka, Galeri Seni, Museum Kebudayaan, Taman Bunga, lapangan terbuka, dan lainnya. Panitia telah terbentuk, bahkan beberapa kali ganti karena ketuanya harus walikota Surabaya (ex officio).

Semua rencana itu telah terempas angin. Gagal. Ketiadaan dana menjadi problem utama. Tanggal 14 Juli 1966 mimpi tersebut digunting tuntas setelah pemerintahan Soekarno jatuh ke tangan Soeharto. Apalagi Dr. Satrio Sastrodiredjo, walikota Surabaya yang jadi Ketua Panitia, terindikasi sebagai orang PKI. Habis sudah mimpi besar Soekarno itu. Dan sayangnya, sepertinya, tak ada satupun pemimpin di level lokal dan nasional yang mencoba menggugah mimpi Soekarno itu hingga kini.

Apapun, kini, saya (mungkin juga Anda) hanya bisa bergumam bahwa lebih setengah abad lalu ternyata Si Bung Besar itu punya visi raksasa tentang kesenian dan kebudayaan bagi Indonesia. Dia tak hanya berpikir tentang lokus Jakarta untuk memusatkan gerak kesenian dan kebudayaan dengan merancang membuat galeri nasional dan museum seni rupa nasional, atau Bandung dan Yogyakarta dengan mendirikan perguruan tinggi/akademi seni rupa di sana, namun juga mendistribusikan gagasan serupa itu ke Surabaya.

Sayang, ya, sayang ketiadaan uang seolah menjadi momok utama atas cita-cita itu. Setelah 71 tahun merdeka, sepertinya bukan masalah dana problemnya, namun kemiskinan visi kebudayaan pada batok kepala sebagian besar pemimpin negeri ini. Yowis, aku rafofo. *kecut*

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?