Menyegarkan Aura Festival
Oleh Kuss Indarto
Festival Kesenian Yogyakarta atau FKY datang lagi untuk ke-28 kalinya.
Selama hampir tiga dasawarsa terakhir perhelatan seni dan budaya ini turut
mengiringi perjalanan dan dinamika kebudayaan, khususnya di jagat kesenian di lingkungan
propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Beragam persoalan kesenian yang bisa
terwaliki dalam perjalanan perhelatan kesenian tersebut.
Ada masanya ketika penguasa Orde Baru di bawah rezim Soeharto secara
langsung atau tak langsung memberlakukan “politik perizinan” yang represif
dalam segala lini, termasuk dalam dunia seni. Ini berlangsung mulai awal
mulainya FKY hingga tahun 1998 saat pemerintahan Soeharto jatuh. Maka, tak
heran bila panitia pun—secara konseptual dan teknis—memberlakukan self-cencorship atau aksi antisipatif
dengan menyensor materi karya seni yang berkemungkinan akan “meresahkan
masyarakat”. Standar “meresahkan masyarakat” itu tentu banyak berasal dari jaring-jaring
birokrasi yang menjadi salah satu benteng kekuasaan.
Pasca 1998, situasi sosial politik berubah banyak. Ini berimbas pada
dunia proses kreatif, persisnya jagat kesenian yang relatif lebih demokratis. Sensor
terhadap karya lebih mengendur, tak lagi ketat, seperti situasi sebelumnya. Banyak
pihak yang menyatakan bahwa keadaan ini—ketika negara tidak sangat represif—situasi
dunia kesenian lebih cair, kreativitas jauh lebih terbuka karena tidak ada sekat-sekat
sensor dari Negara. Namun kenyataannya juga tidak sepenuhnya seperti harapan.
Sekarang, sensor justru tetap terjadi dan dilakukan justru oleh masyarakat
sendiri—yang terpilah-pilah oleh kepentingan masing-masing. Sementara ketika
Soeharto berkuasa, kreativitas di kalangan seniman pun terjadi, misalnya dengan
mengeksplorasi dunia simbol-simbol yang membuat karya tidak terlalu mentah,
vulgar, bahkan sarkastik, namun ada nuasa eufemisme atau penghalusan dalam cara
ungkap ekspresi. Ini merupakan bentuk kreativitas tersendiri.
Saya kira, perjalanan sejarah FKY juga mengalamai pasang-surut seperti
itu. Ada kalanya kreativitas dan perijinan begitu rumit karena peran negara relatif
cukup eksploitatif masuk ke dalam proses penyelenggaraan perhelatan tersebut. Sekarang
berbeda. Ada sedikit kelonggaran yang terjadi dalam kaitannya dengan
penyelengaraan. Semacam debirokratisasi.
Namun keunikan justru terjadi pada masalah konten atau substansi karya
para seniman. Sekarang ini, cukup sulit menemukan karya seni (khususnya di seni
rupa) yang menggali problem sosial politik sebagai basis utama karya. Publik
banyak menemui karya-karya yang memiliki muatan kritik sosial politik pada
karya seniman (Yogyakarta): Djoko Pekik, Dadang Christanto, Heri Dono, Yuswantoro
Adi, Agung Kurniawan, Hanura Hosea, dan sekian banyak nama seniman lain—dengan segala
gradasi dan variasi cara ungkap visualnya. Setelah Reformasi terjadi tahun 1998,
situasi sosial politik yang tak lagi direpresi negara, justru banyak seniman yang
tidak lagi berminat untuk berkarya dengan tema sosial politik.
Kini, banyak seniman yang berbicara tentang dirinya sendiri, misalnya
mengeksplorasi potret diri, mengolah keindahan visual, bahkan tidak sedikit seniman
yang tertular virus “budaya copy-paste”
dalam karyanya. Artinya, karya-karya itu lahir dengan titik berangkat dari pengalaman
melihat karya seniman lain di belahan bumi yang lain, lalu menyalin dan mengubah
sana-sini, maka jadilah karya seni. Kecenderungan seperti ini terjadi seiring
dengan perkembangan teknologi infomasi dan internet yang begitu deras dan
pesat. Seniman adalah salah satu entitas atau bagian dari masyarakat yang terimbas
oleh situasi itu, dan lalu menikmatinya sebagai bagian dari cara atau strategi
dalam berkarya kreatif. Tentu saja di luar karya-karya jenis seperti itu masih
banyak karya lain yang dilahirkan oleh para seniman dengan semangat yang jenial
dan kreatif lagi. Misalnya ada yang menggali imajinasi yang tak berkehabisan.
Pun ada pula yang menggali akar tradisi atau hal yang berbau lokal untuk
kemudian diolah dan dieksplorasi lebih jauh.
Dalam pameran FKY seperti sekarang ini pun kurang lebih serupa. Semua
kecenderungan visual yang telah saya sebutkan di atas kemungkinan ada. Lepas
dari masalah pencapaian dan kualitas karya, ada pertanyaan mendasar yang perlu
dijadikan sebagi bahan refleksi atas perhelatan FKY yang telah 28 tahun ini: Hendak
dibawa kemanakah FKY ke depan? Bagaimana masyarakat bisa ikut terlibat dan ikut
mengalami perhelatan ini?
Sepengetahuan kita bersama, sifat dasar atau karakter dari sebuah festival
adalah partisipatif. Artinya perhelatan ini menampilkan sebuah peristiwa
kesenian yang sebanyak mungkin menyerap sumber daya seni yang ada di
lingkungannya. Maka, ketika festival itu berada di kawasan Yogyakarta, maka
sebanyak mungkin seniman yang ada di dalamnya idealnya diikutsertakan. Semua
bisa merasakan atmosfir fiesta,
pesta. Namun niatan baik itu pasti akan betumbukan dengan problem lainnya,
yakni keterbatasan ruang, dana, dan semacamnya. Maka, taka da salahnya bisa
karakter yang partisipatif itu diengkapi dengan aspek lain, yakni kompetitif.
Sifat kompetitif ini mungkin akan berseberangan dengan karakter sebuah
festival. Namun aspek tersebut bisa memberi nilai, bobot, dan kualitas yang
lebih bagus pada sebuah festival. Maka, ketika ada keterbatasan dalam aspek
ruang, dana, waktu dan sebagainya itu, bukan tidak mungkin pola seleksi
dilakukan untuk mendapatkan materi karya yang lebih layak, sesuai tema, dan nyambung dengan karakter festival
bersangkutan. Bobot sebuah festival pun akan bernilai kompetitif di mata publik.
Apapun, Festival Kesenian Yogyakarta tetap harus dihidupkan meski
telah mengarungi banyak aral, hambatan, dan keterbatasan. Di Indonesia, kiranya
hanya ada Pekan Kesenian Bali (PKB) dan FKY, festival yang bertahan lama dan
masih dirawat hingga kini. Apakah kita rela bila FKY lambat laun terkubur? Tapi
juga sebaliknya, apakah kita ikhlas bila kualitas FKY stagnan, mandeg, dan hanya
begitu-begitu saja? Para seniman, pengampu dunia seni, dan semua masyarakat
penyangga berhak dan wajib merawat dan menyegarkan perhelatan ini dari tahun ke
tahun. Selamat berfestival. ***
Kuss Indarto, penulis dan kurator seni rupa.