Yogya dan Mimpi Film Indonesia
Foto: Suasana syuting film "Siti" oleh kru Fourcolour Films di pantai Parangkusumo, Yogyakarta
HINGGA pertengahan tahun
2016, menurut data dari www.liputan6.com,
jumlah penonton film Indonesia (bukan semua film yang beredar di Indonesia!)
telah mencapai angka 11 juta penonton. Ini jauh melonjak ketimbang 15-10 tahun
lalu. Tahun 2000 film kita hanya ditonton oleh 1,8 juta orang, tahun 2001 (0,6
juta), 2002 (4,3 juta), 2003 (4,7 juta), 2004 (6 juta), 2005 (8,7 juta) dan
2006 (10 juta). Lonjakan angka ini memuat makna yang beragam. Kita bisa beranggapan
bahwa film Indonesia telah kembali menemukan kekariban dengan masyarakat
penontonnya sendiri—mengalahkan, atau mampu setidaknya bersaing keras dengan
minat terhadap film-film mancanegara yang beredar di sini. Market share film Indonesia hingga medio tahun ini sebanyak 30% dibanding
film asing yang masing mendominasi hingga 70%. Anggapan lain bisa dikemukakan pula
kalau angka tersebut mengisyaratkan bahwa sekarang dunia perfilman Indonesia
telah didukung perkembangannya oleh situasi sosial politik yang kondusif.
Kita bisa menilik pendapat
Budi Irawanto dalam buku “Menguak Peta
Perfilman Indonesia” (2014) bahwa setidaknya ada tiga simpul persoalan yang
paling mendasar dalam peta produksi film nasional, yaitu: (1) sumberdaya
manusia, (2) regulasi produksi, dan (3) teknologi dalam perfilman. Tiga
persoalan tersebut saling berhimpitan, tidak mungkin terberai satu sama lain. Dalam
hal sumberdaya manusia, industri film Indonesia berkaitan dengan ketersediaan
para sineas yang terbatas, serta infrastruktur pendidikan tinggi perfilman yang
juga terbatas jumlahnya. Persoalan regulasi produksi berkaitan dengan campur
tangan pemerintah dalam produksi film. Selama masa Orde Baru, berdasarkan
Undang-Undang No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman, sebelum diproduksi film harus
didaftarkan kepada menteri penerangan untuk mendapatkan Tanda Pendaftaran Film
Seluloid (TPP-PS), yang menjadi alat kontrol dan campur tangan pemerintah dalam
industri film. Di ranah teknologi, persoalan processing film Indonesia mengalami ketertinggalan, seperti sebelum
adanya kine transfer yang mampu mentransfer video ke film cerita serta kualitas
audio di laboratorium pemrosesan film di Indonesia yang tertinggal dibandingkan
dengan, misalnya, Singapura.
Pemetaan atas tiga hal
tersebut—yang berkait dengan problem kekuasaan negara—memang ada benarnya. Setelah
Orde Baru runtuh banyak hal dalam peta yang diintroduksikan oleh Budi di atas
berubah. Sumberdaya manusia banyak pembenahan, regulasi dalam sistem produksi
dibenahi sehingga kondusif, dan teknologi dalam perfilman dikebut mengejar
ketertinggalan. Maka, dinamika dan perkembangan dunia film Indonesia, dari
produksi, distribusi, hingga konsumsi menggeliat terus.
Lalu, apakah
perkembangan ini juga segaris dengan problem kualitas film kita? Ini pancingan pertanyaan
yang bisa menjadi perdebatan panjang (dan belum tentu berkesudahan). Kita bisa
menilik kilasan sejarah dunia perfilman kita untuk mengkaji problem kualitas itu.
Mulai dari masa-masa riuhnya sepak terjang Ismail Marzuki, Sjumandjaya, hingga
Teguh Karya dan Slamet Rahardjo, lalu disambung dengan hadirnya Garin Nugroho
dalam kerontangnya dunia perfilman Indonesia. Tahun-tahun setelah itu kita bisa
menyimak karya-karya sineas generasi baru berikutnya seperti Riri Riza, hingga Ifa
Isfansyah, Eddy Cahyono sampai anak muda Wregas Bhanuteja, dan sekian banyak
nama lain yang tak mungkin bisa diabsen satu persatu dalam ruang ini.
Di celah nama-nama
yang berupaya menghidupkan film Indonesia dan membopong idealisme versi mereka
masing-masing, publik bisa mendeteksi alur sejarah film yang penuh gejolak
bahkan mungkin bisa disebut sebagai “bopeng”. “Bopeng” itu antara lain
menderasnya film-film yang mengetengahkan tema-tema hantu dan seks sebagai “basis
utama” kehadiran film Indonesia. Film-fim itu konon merupakan jenis film yang
paling mudah dibuat dengan serempak dan dengan biaya murah (low budget). Ini “bopeng”, namun apa boleh buat, tema-tema inilah
yang boleh dikatakan menyelamatkan film Indonesia dari kematian di era akhir
1980-an hingga 1990-an. Pada kurun waktu itu film-film produksi Hollywood
menyerbu Indonesia bagai tsunami yang tak terbendung. Negara tak banyak mengantisipasi
untuk mengatasi problem ini tapi justru memberi ruang gerak yang bebas atas
mengguritanya film impor kepada para importir. Kita tahu, perusahaan importir film
Subentra dan jaringan bioskop 21 (dwi-mono) adalah milik pengusaha Sudwikatmono
yang (kebetulan) adalah adik Tien Soeharto, first
lady Indonesia yang diduga banyak mempengaruhi kebijakan-kebijakan suaminya,
Soehato.
Banyak pengamat
memberi excuse atau permaafan atas
gejala tersebut. Misalnya Garin Nugroho dan Dyna Herlina dalam buku “Paradoks dan Kontradiksi Film Indonesia”
(2013) menyebut bahwa maraknya film horror pada waktu itu sebagai genre untuk
melawan krisis. Krisis itu sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan
internasional, dan industri film nasional yang tidak memiliki persiapan memadai
telah terpukul dengan telak. Maka, upaya perlawanan yang bisa dilakukan adalah
melahirkan film-film genre horor dan seks sebagai pilihan pertama dan utama.
Jauh kurun waktunya dari
masa-masa itu, setelah masuk masa reformasi, ternyata dunia film kita masih
membopong “bopeng” seperti itu. Kita bisa simak film-film yang sulit untuk bisa
mencerdaskan dan inspiratif bagi masyarakat seperti “Suster Keramas”, Rintihan Kuntilanak”, “Pocong Mandi Goyang Pinggul”, dan masih banyak lagi. Demi “horror dan
sensualitas yang total”, produser kita bahkan mendatangkan bintang film porno
dari Jepang dan Amerika Serikat seperti Rin Sakuragi, Sora Aoi, Sasha Grey dan
Terra Patrick. Ini luar biasa mengenaskan bagi dunia film Indonesia yang
sebenarnya terus bergerak dan berupaya membenahi segala lini yang tertinggal,
termasuk kepemilikan atas visi pada film yang mencerahkan publik.
Maka, menarik
sebenarnya dengan hal yang banyakm terjadi dan lambat-laun muncul di berbagai
kawasan, terutama di Yogyakarta. Lingkungan dan atmosfir kreatif telah lama
terbangun, lembaga pendidikan yang bertalian erat dengan dunia film—seperti Jurusan
Televisi di ISI Yogyakarta, dan sekian banyak kampus lain—telah memberi kontribusi
banyak bagi lahirnya para sineas muda yang berbakat dan visioner. Bukan
semata-mata menghamba pada perputaran roda industrialisasi fulm yang menggerus idealisme.
Menarik pula bahwa
kekuatan sumberdaya perfilman dari Yogyakarta secara pelahan telah memberi
asupan gizi yang memperkaya khasanah film Indonesia: narasi-narasi film bukan hanya
berbincang tentang dunia kelas menengah atas, bukan tentang mimpi kosong yang
miskin kreativitas dan minim inspirasi. Ada anak-anak muda yang mengawali
proses di Yogyakarta seperti Ifa Isfansyah, Eddy Cahyono, Wregas Bhanuteja,
yang menyimpan magma besar untuk mengayakan dunia film Indonesia. Film
Indonesia tak lagi menarik ketika direpresentasikan hanya oleh potongan dunia
glamor Jakarta yang tak jarang kering dan miskin ide. Kekuatan Yogyakarta siap
mengambil peran penting dalam upaya pengayaan pelangi film Indonesia itu.
Kenapa tidak? ***
Kuss Indarto, pemimpin redaksi.