Nama
KADANG saya ingin menyelami nama yang
menempel pada seseorang. Pasti ada kisah, latar belakang, sejarah, filosofi,
konsep, dan lainnya, yang menjadikan identitas itu melekat. Ya, nama itu identitas.
Namun lebih dari itu, banyak yang berkeyakinan bahwa nama bukan sekadar sistem tanda
yang personal. Nama adalah doa, pengharapan, bahkan energi yang bisa bertaut
dengan alam.
Saya pernah punya pengalaman memberi sumbangan
nama untuk anak teman-teman saya, dan ternyata itu benar-benar diterapkan
(hingga sekarang, tentu). Terhadap anak-anak sendiri, sudah barang pasti, peran
saya besar untuk menamai mereka. Lha, sama anak sendiri pastilah diistimewakan.
Pada anak pertama, kami sudah menentukan skenario nama sebulan sebelum sang
anak lahir. Ya, skenario kalau dia lahir perempuan, atau sebaliknya laki-laki,
nama sudah disiapkan. Tapi pada anak kedua, kami malah berkebalikan: ketika
anak sudah lahir lebih dari 3 pekan, kami baru bersepakat atas pilihan nama
untuknya. Terlalu banyak pilihan nama, debatnya jadi terlalu lama, mungkin juga
rumit ketika berkompromi, hehe…
Maka, saya juga cukup heran kenapa ketika
jaman dulu (mungkin juga sekarang) tidak sedikit para orang tua memberi nama
yang relatif sederhana, mudah, diingat dan mungkin juga gampang proses
penentuannya. Saat mengalami masa kecil di tlatah Banyumas, setelah bapak saya pensiun
dinas di kepolisian di Yogyakarta, banyak contoh menarik. Saya menjumpai nama
seorang kakak kelas yang sangat sederhana: Susah. Kenapa kata yang terkesan beraura
negatif itu menjadi bagian melekat dari diri dia? Katanya, dia lahir tahun akhir
tahun 1965 ketika jaman dirasakan susah setelah peristiwa politik besar di
negeri ini. Ada juga saya temui nama Juneng. Kata orang tua si mbak Juneng, di
hari-hari awal setelah lahir dia doyan menangis keras, namun dengan mudah
berhenti tangisnya ketika dijunjung. “Jadi ya namai saja dengan ‘Juneng’, nek
dijunjung langsung meneng. Kalau dijunjung langsung diam,” itu kalimat sang
bapak yang masih lamat-lamat kuingat.
Teman SMP ada yang namanya Tobing,
tapi dalam tubuh dan leluhurnya sama sekali tidak ada darah atau ikatan apapun
dengan kultur Batak di utara pulau Andalas itu. Teman saya hanya bisa
menduga kalau sang bapak itu mengagumi penyayi jadul, Gordon Tobing. Hanya saja
dia hidup di Banyumas, jadi teman-teman memberi bonus dengan sesekali
memanggilnya Tobil (anak kadal). Kadang pertemanan itu kejam, Jendral! Teman
lain ada yang beridentitas cantik dan unik: Samudra Indonesiawati. Entahlah. Mungkin
segara kidul (laut selatan) itu memukau orang tuanya, dan lalu diabadikan pada
diri sang anak.
Ketika beranjak kuliah, bahkan
setelah itu, pergaulan di Yogyakarta meluaskan pemahamanku tentang banyak hal,
termasuk perihal nama seseorang. Terlebih ketika hal itu menyentuh pada
komunitas seni. Luar biasa kaya, menurutku. Nama bisa diduga sekaligus ditengarai
sebagai bagian dari gagasan artistik, kerja artistik, atau mungkin selera artistik.
Saya mengenal nama seniman Bunga Jeruk Permata Pekerti yang adalah putri
penyair dan budayawan Darmanto Jatman. Lalu para seniman, khususnya para perupa
yang memberi anak mereka dengan nama-nama yang begitu menarik, bahkan terasa melawan
pakem atau arus besar yang terjadi disekitarnya. Ketika sebagian masyarakat
terjangkiti virus sinetron yang termehek-mehek di televisi itu, ternyata ada
juga di antara mereka yang terpengaruh dengan memberi nama anak yang agak
kebarat-baratan seperti dalam sinetron. Biar keren barangkali. Ada teman,
seorang sopir dan tinggal di gigir sungai Code memberi nama anak pertamanya:
Dafit. Tapi kemudian diralat karena dia sebelumnya hanya mendengar tapi tidak
melihat huruf-huruf dalam nama “asli” tersebut. Digantilah dari Dafit menjadi
David. Keren, hehe…
Kembali ke teman-teman seniman, saya
menemui sekian banyak nama anak-anak mereka yang unik dan barangkali di luar
kebiasaan dan pemahaman masyarakat. Pak Djoko Pekik memberi anak sulungnya
Gogor Bangsa. Mungkin dia tak perlu mengharapkan anaknya jadi Macan Asia, tapi
cukup jadi gogor (Jawa: anak macan) yang tangguh bagi bangsanya. Anak-anak lain
pak Pekik namanya: Loko Nusa (loko, dari kata lokomotif, maksudnya agar kelak bukan
hanya jadi gerbong), Lugut Lateng (bulu halus pada bayam yang panas kalau
dipegang), Nihil Pakuril (seperti melakukan resistensi pada kata/nama
Pakubuwono, Paku Alam, dll.), Ri Kemarung (duri pada umbi gembili yang keras
dan beracun), Sengat Canthang (canthang, semut hitam yang ganas), Layung Sore
(cahaya jingga yang terang saat senja), dan Parang Wungu (seperti ombak pantai
Parangtritis). Nama-nama itu seperti dikreasi oleh Pekik dengan kesadaran penuh
untuk menggugah dirinya, juga mengingatkan kepada anak-anaknya bahwa hidup itu
pasti ada pasang-surutnya, ada naik-turunnya, dan ada sesuatu yang
diperjuangkan.
Seniman lain, Dadang Christanto
memberi nama anak pertamanya: Tuk Gunung. Tuk dalam bahasa Jawa berarti mata
air. Yuswantoro Adi menghadiahi nama Bara Merah Matahari pada anak tunggalnya.
Ugo Untoro menamai anaknya: Tanah Liat. Eduard atau Edo Pop menamai darah
dagingnya: Tiang Senja. Iswanto dengan cukup ekstrem memberi identitas yang
melekat untuk anak pertamanya: Papan Pemberitahuan.
Semua kata dalam segala bahasa bisa terus
dihidupkan, termasuk bahasa Jawa atau bahasa lain di Nusantara yang memiliki
perbendaharaan kata luar biasa. Ketika para seniman memberi nama anaknya
seperti sederet kecil contoh di atas, saya seperti melihat mereka sedang bersemangat
memberi daya hidup yang jauh lebih linuwih pada bahasa “lokal”, agar tidak
tumbang oleh stereotipe yang menggerus di sekitarnya. Anak-anak dengan nama
unik (justru) karena berunsur kata-kata “lokal” itu seperti lekat dan menyatu
dengan alam sekitar tempat dimana kata-kata “lokal” itu lahir. Semoga ada
banyak kekuatan dengan nama-nama tersebut karena nama adalah juga sumber energi. ***