Narasi Tiga Patung Monumental Edhi Sunarso


Foto: Patung Pembebasan Irian Barat, dibuat tahun 1962, dipotret oleh Biyan Ojong
 
Dari catatan kawan Fandy Hutari di situs
https://ruang.gramedia.com/read/1474265331-narasi-tiga-patung-monumental-edhi-sunarso


Pagi itu, kendaraan saling bersahutan dengan klakson yang hingar-bingar. Bus, mobil, sepeda motor, saling berebut mengisi ruas jalan raya yang semakin sesak. Di atas, Patung Selamat Datang masih kokoh berdiri seolah menjadi penjaga Bundaran Hotel Indonesia. Ada kisah panjang soal patung yang menjulang ini.

Hikayat Patung

Pada 1959, Presiden Soekarno mengundang seniman patung asal Yogyakarta, Edhi Sunarso, untuk ke Jakarta. Di masa pemerintahannya, Bung Karno memang dikenal dekat dengan para seniman. Biasanya, setiap pagi. Ia kerap mengundang seniman untuk sekadar ngopi bersama di halaman belakang Istana Negara.

Pertemuan dengan Bung Karno merupakan titik paling penting dirinya sebagai seniman patung. Ketika itu, Jakarta juga tengah bersiap menyambut para tamu ajang Asian Games ke-IV. Bung Karno lalu menegur Edhi. Saat itu, Edhi diperintahkan untuk membuat patung monumental berbahan perunggu setinggi sembilan meter, yang nantinya bakal “menyambut” para tamu Asian Games yang dihelat pada 1962.

Namun, permintaan Bung Karno itu ditanggapi pesimis oleh Edhi. “Jangankan sembilan meter, 10 sentimeter pun saya belum pernah membuat patung dari perunggu. Bagaimana mungkin saya melaksanakan pekerjaan ini?”

Lantas, Bung Karno pun menjawab rasa pesimis Edhi tadi. “Hei Ed, kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak? Kau berani perang melawan Belanda tapi masa bikin patung saja tidak berani!” kata Bung Karno.

Suntikan motivasi Bung Karno itu memecut semangat Edhi. Ia lalu kembali ke Yogyakarta dan meminta sejumlah kawannya untuk membantu mewujudkan perintah Bung Karno.

Pada 1961, bersama tim pematung Keluarga Arca pimpinan Edhi, patung hasil sketsa Wakil Gubernur DKI Jakarta, Henk Ngantung tersebut mulai dikerjakan. Persis pada 1962, patung setinggi 6 meter— ditambah dua tiang kaki setinggi 20 meter—berwujud sepasang manusia menggenggam bunga, dan melambaikan tangan menghadap ke utara, akhirnya benar-benar menyambut orang-orang yang datang dari arah Monumen Nasional.

Patung yang dinamakan Patung Selamat Datang tersebut hingga kini masih kokoh berdiri di kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Kehadiran menjadi salah satu ikon terkenal ibu kota. Sekalipun, ukuran yang semula diniatkan 9 meter hanya menjadi 6 meter. Jelas, Bung Karno puas dengan karya Edhi ini.

Selanjutnya, maestro patung modern Indonesia yang menempa ilmu di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)—kini Institut Seni Indonesia Yogyakarta—dan Kelabhawa Visva Bharati University Santiniketan India itu, melanjutkan proyek baru bersama Soekarno. Proyek keduanya adalah membuat Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta. Patung tersebut dikerjakan saat Indonesia tengah berjuang membebaskan Irian Barat (kini Papua) dari Belanda pada 1962.

Ide membuat patung ini tercetus setelah Bung Karno berpidato di Yogyakarta pada 1962 dan mencanangkan Tri Komando Rakyat (Trikora). Patung yang juga berbahan perunggu itu tingginya 11 meter—tinggi total 25 meter dari penopang. Lagi-lagi, Bung Karno yang mencetuskan ide pembuatan patung tersebut. Lantas, ia mengajak tim Edhi Sunarso membuatnya, dengan sketsa dari Henk Ngantung. Patung yang menggambarkan seorang pria berotot membebaskan diri dari rantai itu rampung pada 1963.

Terakhir, Edhi menangkap dan mewujudkan ide Bung Karno di Patung Dirgantara. Di masyarakat, patung ini lebih populer disebut Patung Pancoran. Dibandingkan dua patung karya Edhi sebelumnya, Patung Dirgantara memiliki pose sangat unik. Patung tersebut menggambarkan sosok pria berotot, dengan posisi tangan terulur ke depan, seakan menunjuk sesuatu. Tiang penyangganya pun berbentuk melengkung, tak berpenopang dua dan lurus seperti dua patung lainnya.

Patung setinggi 11 meter dengan tiang penyangga 27 meter yang sepintas lalu mirip karakter Superman itu kerap mengalihkan perhatian pengendara yang hilir-mudik di jembatan layang Jalan MT. Haryono dan Jalan Gatot Subroto. Patung itu berdiri di area strategis, di pintu gerbang kawasan Jakarta Selatan dari arah landasan penerbangan Halim Perdanakusumah. Patung yang merepresentasikan Gatot Kaca ini melambangkan keperkasaan dirgantara bangsa Indonesia.

Menariknya, patung ini satu-satunya yang belum sempat selesai dan diresmikan Soekarno. Pembangunannya yang dimulai pada 1964, sempat terhenti karena peristiwa politik G 30 S pada 1965. Bung Karno jatuh sakit. Proyek yang merupakan ide terakhir Bung Karno membuat patung monumental ini pun mangkrak. Pematung pejuang itu nekat menyelesaikan Patung Dirgantara dengan biaya pribadi. Kabar kenekatan Edhi terdengar Bung Karno, yang kemudian memberikan uang Rp1,7 juta untuk menyelesaikan patung itu. Uang itu adalah hasil penjualan satu unit mobil pribadi Bung Karno.

Pada akhir 1966, patung itupun berdiri kokoh, tapi belum sampai tahap rampung. Sebelum patung itu berhasil didirikan, Bung Karno sempat cerita soal anggapan negatif sejumlah tokoh mengenai Patung Dirgantara. Menurut Edhi, dalam sebuah wawancara di film pendek Begini Lho, Ed! karya Alit Ambara dan Lasja Susatyo pada 2012 lalu, Bung Karno difitnah.

“Gini ya itu (Patung Dirgantara) diisukan aku membuat monumen congkel mata. Dia tidak tahu aku ingin menghargai pahlawan-pahlawan bangsa Indonesia. Mobilku jualkan satu. Biar yang punya praduga buruk menjelek-jelekan aku itu terbuka matanya semua,” kata Edhi menirukan Bung Karno.

Ketika patung itu selesai 30 persen, Bung Karno datang mengunjungi. Ada kisah haru soal Bung Karno dan Edhi Sunarso di patung ini. Pada 1970, saat Edhi menyelesaikan proses akhir patung dan berada di puncak, ia melihat iring-iringan pengantar jenazah yang sangat ramai di bawahnya. Ia pun terkejut kalau itu merupakan iring-iringan yang mengantar sang proklamator untuk diterbangkan ke Blitar, Jawa Timur.

Otot dan Nasionalisme

Dianthus Louisa Pattiasina dalam tulisannya berjudul “Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Dirgantara) Era Soekarno di Jakarta”, menyebut estetika di karya seni patung mencakup nilai-nilai kedalaman artistik secara konsep bentuk tiga dimensional. Sang seniman menjelajah dan menggali fantasi, imajinasi, serta emosi. Hal-hal tadi, menurut Dianthus, adalah panduan kecakapan mengolah material dalam bentuk ungkapan ekspresinya.

Sementara itu, sosok yang dipilih didasarkan pada sikap supaya ekspresi patung bisa dipahami publik. Maka, semua itu bisa diwujudkan lewat pengolahan bentuk yang menampilkan kekuatan dan semangat. Tentu saja sesuai semangat perjuangan dan politik masa itu. Menurut Farabi Fakih dalam karyanya Membayangkan Ibu Kota Jakarta di Bawah Soekarno, ketika patung-patung itu dibuat, Bung Karno ingin mengubah wajah Jakarta menjadi kota mercusuar proyek New Emerging Forces—negara-negara yang pernah dijajah di Asia dan Afrika. Dengan kata lain, Soekarno ingin menunjukan wajah megah Indonesia di mata asing.

Ada pesan nasionalisme di patung-patung raksasa tadi. Kurator seni rupa jebolan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Kuss Indarto membenarkan bahwa patung-patung karya Edhi adalah representasi nasionalisme. Ia mengatakan, Bung adalah pengorder karya seni dengan egosentrisme yang kuat.

“Banyak dikisahkan di sejarah bahwa karya Patung Selamat Datang itu diduga kuat model awalnya adalah Bung Karno sendiri. Bung Karno memperagakan sendiri secara fisik atas pose patung yang dimaui (dipesan),” kata Kuss.

Senada dengan pernyataan Kuss, Edhi sendiri mengakui Bung Karno memperagakan pose patung-patung yang akan dibuatnya. “Selamat datang! Hey para pahlawan olahraga Asia, Indonesia menyambutmu! Gini lho!” kata Edhi, menirukan perintah Bung Karno sembari membuat pose Patung Selamat Datang.

Begitu pula dengan Patung Pembebasan Irian Barat dan Patung Dirgantara. “Bebas! Patahkan rantai itu dengan semangat kebesaran Indonesia!” ujar Bung Karno kepada Edhi memperagakan pose Patung Pembebasan Irian Barat.

Dari sana, Kuss menduga Edhi “hanya” seorang penerjemah ide Bung Karno. Tak jarang, Bung Karno mengontrol pekerjaan Edhi dan seniman lain yang diberikan order membuat karya seni.

“Jadi, saya duga, tafsir atas ide Bung Karno sudah banyak dikompromikan di proses pembuatan karya,” katanya.

Selain itu, ciri khas patung monumental buatan Edhi adalah sosok manusia dengan wajah keras dan tubuh berotot. Kuss menduga, otot merupakan bagian dari spirit nasionalisme yang ditanamakan Bung Karno untuk mencintai Indonesia dengan segenap cara.

“Oleh Edhi Sunarso spirit itu dibumikan dengan visualisasi karya patung manusia yang sehat fisik, di samping sehat jiwa, untuk membangun Indonesia,” ujar Kuss.

Lebih lanjut, di tengah-tengah tahun—istilah Bung Karno menyebut periode 1964-1965—vivere pericoloso (hidup penuh bahaya), Kuss mengatakan, fisik manusia ideal itu adalah yang kuat untuk menantang segala tantangan dan bahaya.

“Saya kira (otot) itu pesan simbolik yang diketengahkan Edhi Sunarso.”

Spirit yang Tenggelam

Patung-patung yang dikerjakan Edhi atas “perintah” Bung Karno menampilkan wajah aneka peristiwa penting saat itu. Patung Selamat Datang, didirikan untuk menyambut pesta olahraga terbesar di Asia. Patung Pembebasan Irian Barat merupakan representasi perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan wilayah Irian Barat dari Belanda. Sedangkan Patung Dirgantara merupakan sebuah “kado” bagi Angkatan Udara RI yang militan dan cita-cita menguasai dirgantara.

Penempatan patung-patung ini pun tak serampangan. Kuss memandang, penempatan patung sebagai sebuah penciptaan landmark baru di Jakarta, cukup berhasil. Karena karya-karya patung raksasa tersebut bukan sekadar menciptakan landmark baru saja, namun juga menciptakan ruas-ruas kota yang jauh berbeda dari konsep ratusan tahun buatan pemerintah Hindia Belanda.

Melalui karya Edhi, Bung Karno merombak seluruh ruas-ruas mainstream kota buatan Hindia Belanda. Di masa itu, menurut Kuss, Jakarta membuka kawasan-kawasan baru sebagai “pusat”, tak mengekor kawasan “pusat” Hindia Belanda.

“Ini menarik bahwa sebenarnya Bung Karno tidak sekadar mengorder karya patung saja, namun telah menjadi seorang planolog yang merancang kembali kota Jakarta dan seniman patung menjadi "panglima" pendukung gagasan besar sang planolog,” kata Kuss.

Kini, deru pembangunan ibu kota tampaknya mengabaikan simbol-simbol monumen itu. Patung Selamat Datang seakan sudah kehilangan eksistensinya, tenggelam di antara kepungan gedung-gedung pencakar langit. Patung yang tadinya seolah menjadi pusat, karena di sekitarnya kosong dan menjadi dominan, kini harus rela diapit gedung-gedung raksasa. Lalu, Patung Pembebasan Irian Barat lebih ironis lagi. Ia seakan kesepian, dan terabaikan di tengah Lapangan Banteng. Sementara itu, Patung Dirgantara yang bisa menjadi tanda atau petunjuk Jakarta Selatan dan Jakarta Timur juga sudah “terabaikan” dengan pembangunan jalan layang.

Meski dianggap menjadi salah satu solusi mengatasi macetnya ibu kota, jalan layang itu seakan “mengabaikan” segi estetika patung, yang harusnya bisa dilihat indah menjulang dari bagian bawah. Jalan layang itu seakan telah mengabaikan sebuah gagasan besar Bung Karno.

Lalu lintas ibu kota masih sibuk, selepas azan Isya menggema. Hujan rintik-rintik mulai turun dan membasahi jalan yang tadinya kerontang. Deru kendaraan masih terdengar di sekitar Patung Dirgantara. Di mana kita lebih mengenal karya, dibandingkan makna dan sang seniman yang telah tiada.***



Daftar Referensi

Artikel
Ismayanto, Darma. 2012. Makanan Jiwa dari Sang Pematung. Diakses dari http://historia.id/budaya/makanan-jiwa-dari-sang-pematung.
Kurniawan, Sunudyantoro. 2016. Jakarta Berubah, Monumen Penting Karya Edhi Sunarso Kesepian. Diakses dari
https://m.tempo.co/read/news/2016/01/05/078733202/jakartaberubah-monumen-penting-karya-edhi-sunarso-kesepian.
National Geographic. 2016. Mengingat Kembali Empu Ageng Edhi Sunarso, Seniman Patung Legendaris Indonesia. Diakses dari
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/01/mengingat-kembali-empu-agengedhi-sunarso-seniman-patung-legendaris-indonesia.
Setyanti, Christina Andhika. 2014. Posse Bung Karno, Mitos, dan Sejarah Tak Rampung Patung Pancoran. Diakses dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/09/07/09333551/Pose.Bung.Karno.Mitos.d an.Sejarah.Tak.Rampung.Patung.Pancoran.

Buku
Fakih, Farabi. 2005. Membayangkan Ibu Kota Jakarta di Bawah Soekarno. Yogyakarta: Ombak.

Jurnal
Pattiasina, Dianthus Louisa. 2014. "Kajian Estetika dan Realisme Sosialis Tiga Patung Monumen (Patung Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, dan Dirgantara) Era
Soekarno di Jakarta." Jurnal Ilmiah Widya, 2 (1), 53-61.

Film
Ambara, Alit dan Lasja Susatyo. 2012. Begini, Lho Ed! Indonesia Berdikari dan Cangkir Kopi. Jakarta, 41 mins.
Putra, Mahatma. 2013. Seniman Pejuang. Indonesia Kreatif. Jakarta, 5 mins.

Wawancara
Wawancara dengan Kuss Indarto, tanggal 1 Juli 2016 melalui surat elektronik.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?