Djoko Pekik: “Saya Tipe Pelukis Kuda Balap, Bukan Kuda Andong!”
Oleh Kuss Indarto
(Catatan ini dimuat dalam majalah Tong Tjie Lifestyle, edisi IV - 2016, halaman 16-26)
TAHUN 1998, nama
seniman Djoko Pekik mengguncang jagad seni rupa Indonesia. Pasalnya, pada 16-17
Agustus tahun itu dia memamerkan hanya satu buah lukisan dan dalam durasi 24
jam atau sehari semalam saja di gedung Bentara Budaya Yogyakarta. Hal yang
lebih menghebohkan lagi, karya tersebut, yang bertajuk “Berburu Celeng”, berpindah ke tangan seorang kolektor dengan harga
transaksi sebesar Rp 1 miliar! Itulah harga tertinggi sebuah karya seni lukis
di Indonesia pada waktu itu. Pencapaian tersebut mengalahkan harga karya para
seniman maestro, yang lebih senior, dan telah mengisi jejak penting sejarah
seni rupa Indonesia seperti Affandi Kusuma, Hendra Gunawan, S. Sudjojono,
Basoeki Abdoellah, dan lainnya. Pada tahun-tahun itu harga karya para maestro
itu baru sampai angka ratusan juta rupiah.
Peristiwa itu begitu
fenomenal karena kemudian berimbas pada dimensi lain dalam dinamika seni rupa
di Indonesia. Misalnya pada aspek pasar atau art market. Gelombang kenaikan harga karya seni rupa pelan tapi
pasti bergerak dimana-mana. Apalagi dalam rentang waktu yang hampir bersamaan
muncullah booming seni rupa. Booming ini berupa lonjakan permintaan
pasar atas karya seni rupa yang berakibat pada naik dan mahalnya harga karya. Untuk
kasus di Indonesia kala itu, faktor penyulutnya antara lain karena krismon atau
krisis ekonomi mulai tahun 1997 yang disebabkan oleh merosotnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar, dari $1 US = Rp 2.000,- menukik secara tajam hingga Rp
17.000,-. Itulah yang membuat para pemilik uang melarikan sebagian dananya
untuk berinvestasi, antara lain ke karya-karya seni rupa. Maka, booming pun meledak.
Patokan harga karya
Djoko Pekik yang hingga mencapai Rp 1 miliar begitu mengesankan pasar. Artinya,
karya seni bukanlah barang murahan yang tidak bernilai investatif. Itu
pandangan yang terbelokkan ketika menyimak harga karya Djoko Pekik. Maka,
kemudian, dalam berbagai sesi lelang di lembaga auction di Indonesia atau di Singapura, Hongkong dan lainnya, harga
karya para seniman Indonesia terkatrol tinggi oleh fenomena “Berburu Celeng”. Banderol harga atau
estimasi awal dengan bilangan miliaran rupiah mulai menghinggapi karya-karya
seniman Indonesia lainnya, terutama yang sudah berlevel maestro dan kebetulan
sudah wafat.
***
Begitulah. Momen
pameran tunggal 16-17 Agustus 1998 itu mengukuhkan seorang Djoko Pekik sebagai
salah bintang seni rupa yang pantas diapresiasi. Itu terjadi ketika usia Djoko
Pekik sudah tidak muda lagi: 59,5 tahun. Menilik usianya yang sudah sepuh
dengan karakter karya yang masih galak menyuarakan tentang ketidakadilan,
politik Orde Baru yang hegemonik, ketimpangan sosial, serta cara bersiasat
mengetengahkan karya yang berbeda, telah memberi gambaran pada publik bahwa
seniman ini bukan tipe seniman yang lembek menghadapi tantangan hidup, jaman,
dan keadaan.
Secara eksistensial,
namanya pun baru terbilang berkibar pada tahun 1990-1991 ketika ada kontroversi
rekruitmen seniman peserta pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika
Serikat). Waktu itu, kurator pameran seni rupanya adalah Joseph Fischer, seorang
akademisi yang tegas dan rigid dengan
standar keilmuannya. Dari hasil seleksi oleh panitia local di Indonesia atas
para seniman yang lolos, banyak nama yang relative seragam ideology kreatifnya.
Di situ banyak seniman yang sepaham dengan Orde Baru selaras ideologinya dengan
Soeharto sajalah yang diloloskan. Joseph Fischer menolak. Alasan dan acuannya
antara lain adalah dari hasil riset lapangan yang dilakukan oleh senionya,
Claire Holt yang kemudian melahirkan buku penting, yakni “Art in Indonesia”. Dalam buku tersebut banyak nama seniman seni
rupa yang karyanya bagus, ideologis, dan memberi warna yang khas bagi
perjalanan seni rupa di Indonesia. Antara lain ada nama Djoko Pekik dalam
daftar Holt.
Di sisi lain, panitia
dan tim seleksi di Indonesia memilih seniman antara lain dengan landasan bahwa
merekalah yang sejalan dengan garis politik dan ideologi Orde Baru-lah yang
akan dipilih. Itulah pangkal soalnya. Situasi tegang. Polemik antarseniman yang
sudah mulai uzur itu sempat seru terjadi di media massa di Indonesia, termasuk
Yogyakarta. Pekik yang dulu aktif di Sanggar Bumi Tarung yang kekiri-kirian
menjadi salah satu orang yang diserang oleh kelompok seniman kanan seperti
Handrio, Bagong Kussudiardjo, dan lainnya.
Menteri Luar Negeri
Mochtar Kusumaatmadja akhirnya mampu menengahi perkara itu setelah Fischer
tetap tak mau mengalah. Djoko Pekik akhirnya lolos seleksi sehingga salah satu
karyanya dipamerkan di Amerika Serikat. Reputasinya kemudian melambung sebagai
salah satu seniman yang mencuat karena kontroversi. Namun lebih dari itu,
kualitas karyanya mampu mencuri perhatian publik, kurator dan pengamat seni
sehingga mendapat apresiasi yang meluas. Tema-tema karyanya yang berbicara
tentang realitas sosial politik dari sudut pandang orang kecil atau wong cilik, mampu menyedot simpati
banyak penontonnya. Karakter karyanya yang oleh beberapa pengamat seni disebut
sebagai karya seni “realisme sosial” itu menjadi alternatif yang berbeda di
tengah karya-karya yang eksotik, manis, saleable,
pada kurun waktu itu. Sementara karya Djoko Pekik menampilkan sisi getir,
pahit, hitam, kumal, dari keseluruhan pemandangan tentang manusia-manusia
Indonesia. Mereka antara lain adalah sosok penari ronggeng yang berbedak di
tengah peluh yang membanjir, tentang tukang becak yag kesepian tanpa penumpang
dan uang, dan sebagainya.
Setelah
keterlibatannya dalam pameran KIAS itu, nasib baik berpihak merubung Pekik.
Undangan pameran, baik secara tunggal atau pun kolektif, datang bertubi-tubi. Salah
satu pameran tunggalnya yang berlangsung tahun 1992 di rumah seniman Sardono W.
Kusumo yang disulap menjadi galeri seni, meraup sukses cukup besar, baik dari
sisi pewacanaan dan isu, serta dari aspek pasar. Banyak karya Pekik dikoleksi
dengan harga yang relatif tinggi untuk ukuran seniman sekelasnya waktu itu.
***
Apakah perjalanan
hidup dan kreativitas seorang Djoko Pekik begitu mulusnya seperti tersirat di
atas? Ternyata tidak. Lelaki kelahiran Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah, 2
Januari 1937 ini melewati alur hidup puluhan tahun dalam dinamika pasang naik
dan pasang surut yang menyesakkan. Di antara gebyar kebintangan berikut
pencapaian materialnya kini, dulu, Pekik melewatinya dengan nasib yang seperti
menyungkurkannya dalam lembah keterbatasan.
Tahun 1957, ketika
berusia 20 tahun, Djoko Pekik muda nekat pergi ke kota Yogyakarta untuk mengadu
nasib. Keinginannya sangat kuat ketika akan pergi ke Kota Gudheg itu: masuk
sekolah seni dan menjadi seniman. Dia memilih ke Yogya setelah membaca
pengumuman tentang penerimaan mahasiswa baru ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia)
di majalah berbahasa Jawa terbitan Surabaya, Panjebar Semangat. Orang tuanya berkorban demi cita-cita sang anak
dengan menjual seekor sapi. Pekik sendiri mendasarkan pilihannya tersebut pada
kegemarannya menggambar sejak kecil. “Aku itu sering menang lomba menggambar waktu
sekolah,” tutur pak Pekik siang itu. Pencapaian itu, bagi Pekik, bisa memberi
secuil gambaran betapa minatnya pada dunia seni rupa begitu besar sejak usia
dini. Dan masuk ke perguruan tinggi seni menjadi kanalisasi yang tepat untuk
menjadi seniman.
Akhirnya Djoko Pekik
muda diterima masuk kuliah di ASRI. Awalnya dia cukup terkaget-kaget ketika
menyaksikan banyak karya yang terpampang di kampus milik kakak kelasnya, atau
karya seniman lain, yang tidak masuk dalam logikanya sebagai anak kecil yang
awam. “Banyak saya lihat lukisan mereka itu pating
plethot. Melukis anatomi manusia saja tidak bisa. Tapi lama-lama saya
paham, ooo… ternyata seni rupa itu ya tidak hanya mencontek obyek benda yang
ada di alam apa adanya. Itulah seni, hehehe…” katanya sambil terkekeh.
Pelan-pelan, dia menyadari juga bahwa dalam dunia seni rupa itu demokratis.
Semua orang bisa menggambar atau melukis apa saja dengan cara apapun juga, asal
selaras dengan kemauan dari dalam diri.
Aktivitasnya sebagai
mahasiswa semakin berkembang dan padat ketika dia masuk dalam kegiatan di luar
kampus. Djoko Pekik memilih aktif dalam Sanggar Bumi Tarung yang didirikan oleh
pentolannya yakni Amrus Natalsja, kakak kelasnya. Bumi Tarung sebetulnya
singkatan dari keberpihakan sanggar itu pada buruh (yang tersirat pada kata
bumi) dan tani (tersirat pada kata tarung). Sanggar ini memilih berhaluan kiri.
Dan kecenderungan karya seni yang disebut sebagai realisme sosial tumbuh di
sini. Djoko Pekik sendiri berkuliah di ASRI antara tahun 1957 hingga 1962.
Selepas kulaih masih aktif di Sanggar Bumi Tarung. Hal positif yang didapatkan
dalam sanggar ini, bagi Pekik, adalah atmosfir intelektualitas yang terbangun
antar-anggotanya. Mereka sering punya agenda untuk berdiskusi tentang apa saja
yang dikaitkan dengan dunia seni.
Di samping itu, ada
upaya untuk menyosialisasikan diri dengan masyarakat. Komunitas itu seperti
punya hasrat untuk menjadikan para anggotanya kelak menjadi seniman yang dekat
dengan masyarakat berikut segenap lekuk-liku persoalannya. Contoh konkretnya
adalah dengan praktik melukis dalam masyarakat. “Misalnya, yang paling saya
kenang adalah turba (turun ke bawah) di daerah Trisik, di dekat pantai, di
kabupaten Kulon Progo. Saya tinggal dan berkarya di sana rencananya selama dua
minggu,” kisah Pekik. Dia bersama teman-temannya tinggal di rumah kepala dukuh
setempat.
Menariknya, dia justru
mendapatkan banyak cerita, curhat dan
aduan dari masyarakat setempat yang sebagian besar hanya menjadi petani gurem atau petani tanpa kepemilikan
lahan pertanian. Mereka mengisahkan bahwa wilayah Trisik itu secara ekonomi
dikuasai oleh seorang tuan tanah yang sangat kaya dan dianggap eksploitatif.
Namanya pak Haji Dawam Roji. Pekik dan kawan-kawannya hanya bisa menyerap dan
menampung suara hati penduduk yang curhat itu, karena bukan fasilitator yang
akan bisa memberi solusi bagi masalah penduduk setempat. Namun tampaknya
gerak-gerik Pekik dan kelompoknya dicurigai. Mereka dianggap sebagai pihak yang
mencoba menggosok masyarakat untuk melakukan perlawanan kepada sang tuan tanah
setempat. Maka, tak heran, banyak centeng, preman beserta antek-antek lain yang
memata-matai tiap gerak para seniman tersebut. Karena tak nyaman, maka pada
hari kesembilan (dari 14 hari yang direncanakan), rombongan seniman itu
terpaksa keluar dari wilayah Trisik. Pekik mengabadikan pengalaman tinggal di
situ dengan melukis seorang kakek tua yang tergolek di atas ranjang dan
ditunggui seorang perempuan muda. Karya itu diberi tajuk “Tuan Tanah Mati Muda” karena kisah tersebut mirip dengan yang
terjadi senyatanya. Karya itu mengesankannya sehingga sampai sekarang masih
terpajang di atas tembok rumahnya. Dia tidak berniat untuk menjualnya.
***
Ternyata, aksi
curiga-mencurigai seperti saat di Trisik itu berlangsung terus. Puncaknya
ketika Presiden Soekarno jatuh dari pemerintahannya pada tahun 1965, dan
diganti oleh pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Perubahan
politik berlangsung drastis dan ekstrim. Mereka yang selama ini dianggap
aktif—langsung atau tidak langsung—dalam organisasi yang berbau kekiri-kirian
ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses peradilan. Djoko Pekik juga terkena
imbasnya. Pada tanggal 8 November 1965, dirinya bersama sekian banyak seniman
yang aktif di Sanggar Bumi Tarung, Sangar Pelukis Rakyat, dan lainnya
dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Tidak lama kemudian, karena makin
banyaknya tahanan berada di situ, lalu sebagian—termasuk Djoko
Pekik—dipindahkan ke Benteng Vredeburg di ujung selatan Jalan Malioboro,
Yogyakarta. Waktu itu lokasi Vredeburg masih menyeramkan karena sudah puluhan
tahun tidak pernah dirawat dan dipugar, hanya sebagai markas tambahan bagi
tentara.
Gelombang penahanan
bagi orang-orang yang dianggap terlibat dalam G30S terus berlangsung hingga
tahun 1966, bahkan tahun-tahun berikutnya. Mereka banyak juga yang dibuang ke
pulau Buru di Maluku. Para seniman dari kota-kota lain banyak yang mengalami
hal serupa, termasuk sastrawan terkemuka Indonesia waktu itu, Pramudya Ananta
Toer. Sebenarnya, para seniman di Yogyakarta juga berpotensi untuk dibuang ke
pulau Buru. Namun nasib berkata lain. Di awal-awal tahun 1966—pada sisa waktu
terakhir Bung Karno memerintah sebelum diganti oleh Soeharto—The Founding
Father itu bertandang ke AMN (Akademi Militer Nasional, sekarang AKABRI) untuk
mewisuda lulusan akademi militer tersebut. Pada kesempatan itu, Si Bung sengaja
mengundang dan mengajak berbicara Komandan Korem Pamungkas Yogyakarta, Letkol
(CPM) Mus Subagyo. Kepada sang komandan, Soekarno kurang lebih berpesan dengan
penuh harapan; “Tolong amankan para seniman yang ditahan di wilayahmu. Jangan
dibuang jauh, jangan dibunuh, karena menciptakan seorang seniman itu jauh lebih
sulit dibanding menciptakan seratus insinyur!”
Pesan presiden
Soekarno yang juga seorang insinyur lulusan ITB itu dipegang teguh oleh Letkol
Mus Subagyo. Dan pesan itulah, tampaknya, yang ikut menyelamatkan nasib dan
kehidupan Djoko Pekik dan sekian banyak seniman Yogyakarta yang dianggap
beraliran kiri. Pekik mendekam dalam penjara selama sekitar 7 tahun, mulai
akhir 1965 hingga pertengahan 1972. Banyak kisah sedih, mengenaskan dan
menyesakkan ketika melakoni hidup sebagai seorang pesakitan. “Saya sering tidak
makan. Kalau toh makan ya seadanya,” cerita ayah dari 8 anak putera-puteri ini.
Hukuman tanpa sebab, atau karena persoalan kecil yang tak masuk akal sering
dialaminya. Hukumannya macam-macam dan mengerikan. Misalnya, dia dipaksa untuk mengakui
sebuah perbuatan yang sama sekali tidak dilakukannya. Dia diinterogasi dengan
keras bahkan kasar. Lalu, alas kaki diminta untuk dilepas. Dua kaki kursi kaki
diletakkan di atas jemari kakinya yang tirus dan kurus. Ketika Pekik tetap
tidak mengakui hal yang tak dilakukan, seorang interogator berbadan gendut naik
di atas kursi lalu melompat-lompat di atasnya. Pekik hanya bisa menahan teriak
dan perih merasakan kakinya yang tanpa alas ditimpa beban tersebut. Tentu,
masih banyak sekali penderitaan fisik dan mental yang dialaminya selama tujuh
tahun itu.
Pada masa getir dalam
penjara ini dia melangsungkan pernikahan dengan gadis pujaannya asal
Yogyakarta, C.H. Tini Suwartiningsih, pada tahun 1969. Tentu dengan proses yang
sangat sederhana. Bahkan kemudian, setahun berikutnya, tahun 1970, anak pertama
pasangan itu lahir. Pekik-Tini memberinya nama Gogor Bangsa.
***
Tahun 1972, kebebasan
diterimanya. Penjara yang mengekangnya bertahun-tahun telah lepas. Lalu, apakah
dia betul-betul bebas selepas-lepasnya. Tidak ternyata! Djoko Pekik telah lepas
dari penjara fisik, tapi masuk dalam penjara sosial. Pemerintah Orde Baru
memfasilitasi upaya penghukuman itu dengan memberi cap di KTP-nya: Eks Tapol.
Bekas tahanan politik. Itu belenggu yang besar, kuat, tak kelihatan nyata
secara fisik namun terasakan betul dalam relung batinnya.
Dia tak bisa seluas
dan seleluasa mungkin bergaul dengan rekan-rekan seniman. Apalagi kalau
menghadapi seniman yang dulu, sebelum tahun 1965, jelas-jelas berbeda haluan
politik. Pasti ada tabir yang memberi jarak dalam relasi social keseharian.
Sekadar berbincang sebagai manusia pun terasa gamang. Djoko Pekik tak bisa
sepenuhnya menyalahkan mereka. “Mereka kan teman saya sendiri. Mereka juga
takut kalau asap dapurnya ikut tidak bisa mengepul gara-gara bergaul dengan
saya, bekas tahanan politik,” tuturnya.
Selepas dari penjara,
pilihan hidup dan profesinya sebagai seniman terpaksa mulai mengendur.
Sebetulnya ini bertolak belakang dibanding dengan gejolak isi hatinya yang
begitu semangat kembali menjadi seniman 100%. Tapi apa daya, realitas sosial
politik yang berubah tidak memungkinkannya untuk itu. Dia simpan hasrat yang
kuat itu sebagai tabungan energi dan ide ke depan. Djoko Pekik menapaki
kehidupan barunya dengan membuka usaha penjahitan. Awalnya dia buka usaha di
pinggir jalan. Betul-betul menjahit di pinggir jalan. Ini usaha kecil-kecilan
yang dirintisnya dari awal. Dari sinilah dia menghidupi keluarganya. Dia bahkan
terlibat sebagai penjahit setelah sebelumnya belajar sedikit demi sedikit dari
para tukangnya sendiri. Pelan-pelan usahanya lancar, lalu membuka kios di salah
satu bagian rumah mertuanya di sebelah timur perempatan Wirobrajan. Kios
penjahitan itu kemudian diberinya nama “Rama Taylor”. Seiring waktu, usaha itu
bergeser setelah Pekik sesekali blusukan ke kampong-kampung di selatan kota
Klaten dan mengenal kain gendhong. Inilah yang kemudian dikembangkannya. Nama
tempat usahanya pun berganti nama menjadi “Logro”.
Sebenarnya, kalau mau,
Pekik masih bisa menerima order melukis. Misalnya melukis potret, bunga,
pemandangan yang molek dan sebangsanya. Uang pun bisa dengan relative mudah
didapatkan dari situ. Namun, baginya, itu mengganggu idealismenya yang sudah
lama tertanam dalam proses berkarya. “Saya itu pelukis kuda balap, bukan
pelukis kuda andong!” tegas Djoko Pekik. Seniman yang telah memiliki 18 cucu
ini ingin menegaskan bahwa kalau seniman yang bertipe pelukis kuda balap itu ya
seniman “yang larinya kencang, pencapaiannya besar”, sementara seniman tipe
kuda andong “lebih banyak mengangguk mengikuti juragannya, dan perolehannya
kecil.” Ini seperti pesan filosofis bahwa Pekik lebih memilih menjaga idealisme
sebagai seniman daripada hanyut dalam alunan riak-riak kecil gerak kesenian
yang mungil pencapaiannya.
Itulah yang mendasari
langkah-langkah “rahasia” yang dilakukan seniman ini. Di tengah kesibukannya
sebagai penjahit kain lurik, dia berusaha keras untuk mencuri waktu dan
kesempatan melukis. Repotnya, material untuk melukis itu tidak semuanya murah.
Dan Pekik pun tak ingin yang murahan. Maka, sesekali dia nekat untuk mendekati
seniman besar, maestro Affandi, untuk mendapatkan material mahal itu. Sesekali
dia berkunjung ke rumah sekaligus studio Affandi di tepi sungai Gajahwong,
Yogyakarta bagian timur. Di sana dia meminta tube-tube cat bermerk Rembrandt yang sudah tidak dipakai lagi
namun masih ada sedikit sisa cat di dalamnya. Begitu juga dengan kuas yang
berstandar tinggi dimintanya meski bekas pakai. “Cat Rembrandt itu kan bagus, mahal dan awet. Hanya Affandi dan beberapa
seniman kaya saja yang mampu membeli dan memakainya. Makanya saya harus punya
standar tinggi seperti itu, hehehe… “ ujarnya sambil terkekeh renyah.
Ulang-alik antara
usaha penjahitan dan keinginannya menjadi seniman tipe “kuda balap” dilakukan
terus oleh Djoko Pekik, meski dalam proses awalnya usahanya sebagai penjahit
sudah lumayan bisa menghidupi keluarganya, satu istri dengan 8 anak. Dia
mengenang masa lalunya itu yang kadang mengenaskan ketika mengingat di seberang
kios usahanya ada seorang penjual makanan yang enak dan laris. Dia dan
anak-anaknya hanya bisa sering menatap orang-orang yang menyantap makanan itu
tanpa mampu membelinya karena keterbatasan ekonomi.
Kondisi ekonomi
keluarga Pekik makin memburuk pada tahun 1988 ketika jembatan besar di sebelah
timur rumahnya ditutup untuk direnovasi total. Itu berpengaruh pada usahanya
karena para pelanggan tidak bisa datang ke tempatnya lagi. Pelanggan baru pun
tak mungkin karena tempat usahanya jadi tersembunyi karena tak ada akses jalan.
Tapi tampaknya nasib
mulai bergerak. Ketika umatNya mulai angkat tangan, Tuhan justru turun tangan.
Tahun itu juga Djoko Pekik mendapatkan undangan untuk berpameran dalam Festival
Kesenian Yogyakarta (FKY) yang mulai berlangsung untuk pertama kalinya. Juga
ada Biennale Jogja, sebuah perhelatan seni rupa yang juga pertama kali digelar
di kota Yogyakarta. Dari situlah semangatnya untuk berkarya dan menjadi seniman
“kuda balap” kian besar. Apalagi, pelan-pelan pencapaian ekonomi dari
karya-karyanya mendapat apresiasi yang memadai.
***
Keteguhan seorang
Djoko Pekik pada pilihan hidup dan pilihan profesinya, kekuatannya untuk
bersabar menghadapi sekian banyak onak kehidupan, keterhimpitannya menghadapi hukuman
social yang menyesakkan, tidaklah gampang untuk dilupakan. Juga kekuatan batin
sang istri, Tini Suwartiningsih yang tegar menghadapi masa awal-awal perkawinan
tanpa kebersamaan yang total dengan suami karena Djoko Pekik berada dalam
penjara di benteng Vredeburg.
Delapan anak pasangan
ini lahir dalam masa-masa sulit secara ekonomi dan sosial karena cap yang negatif
atas sang ayah. Pada merekalah, tampaknya, Djoko Pekik memonumenkan semangat
hidupnya lewat nama-nama yang unik, aneh, namun artistik, dengan menekankan
aspek lokalitasnya. Nama-nama anaknya itu: Gogor Bangsa (gogor: anak macan),
Loko Nusa (loko, dari kata lokomotif, bukan hanya jadi gerbong), Lugut Lateng
(bulu halus pada bayam yang panas kalau dipegang), Nihil Pakuril (seperti
resistensi pada kata/nama Pakubuwono, Paku Alam, dll.), Ri Kemarung (duri pada
umbi gembili yang keras dan beracun), Sengat Canthang (canthang, semut hitam
yang ganas), Layung Sore (cahaya jingga yang terang saat senja), dan Parang
Wungu (seperti ombak pantai Parangtritis). Nama-nama itu seperti dikreasi oleh
Pekik dengan kesadaran penuh menggugah dirinya, juga mengingatkan kepada
anak-anaknya bahwa hidup itu pasti ada pasang-surutnya, ada naik-turunnya.
Kalau sekarang seorang
Djoko Pekik telah nyaman tinggal di rumahnya di tengah-tengah tanah miliknya
yang seluas 3 hektar di Bantul itu, semuanya hanya titik happy ending yang awalnya tidak terpikirkan bahkan oleh diri Pekik
sendiri. Kalau seorang Djoko Pekik bercita-cita untuk menghijaukan
seteduh-teduhnya areal tanah miliknya hingga serupa hutan itu, segalanya seperti
dipulangkan pada ingatan masa kecilnya yang ingin memandang negeri ini penuh
sumber daya yang bisa memberdayakan diri sendiri. Tidak sangat bergantung pada
pihak lain. ***
Kuss Indarto, penulis, tinggal di
Yogyakarta.