Bhumibol Mangkat
SIANG itu, tujuh tahun silam, persisnya awal Desember 2009 saya berdua dengan pak Tubagus Andre (kepala Galeri Nasional Indonesia) naik tuk-tuk—salah satu moda transportasi lokal—menuju BCC (Bangkok Culture Center) di pusat kota Bangkok. Kami bertolak dari hotel mungil di Jalan Rambuttri yang banyak turis back packer-an, tak jauh dari Jalan Khaosan yang jauh lebih riuh dengan turis back packer-an dari seluruh dunia.
Perjalanan
cukup meriah karena deru mesin tuktuk yang keras, bahkan cukup memekakkan
telinga. Maka, dialog kami dengan sopir tuk-tuk
yang ramah itu harus diungkapkan dengan setengah berteriak biar suara masuk ke
telinga. Bahasa Inggris kami bertiga juga tidak fasih-fasih amat, sehingga
itulah yang membuat komunikasi jadi seru karena gesture tubuh, terutama tangan, melengkapi baku dialog.
Pada suatu
kelokan jalan yang lebar dan cukup sepi, tiba-tiba sang sopir berteriak sambil
menoleh ke arah kami: “Down your hat!
Down your hat! Down your hat!” Bajigur! Opo
to iki?! Saya dan pak Andre celingukan karena tak paham betul apa yang
sopir maksudkan. Ya, kami tahu kalau dia (kurang lebih) bilang bahwa kami diminta
melepaskan topi dari kepala. Apalagi saya yang tidak mengenakan topi, bingung
apa maunya.
“Apa
maksudmu kami harus melepaskan topi, bung?” teriakku merespon.
Sopir itu
memperlambat laju tuk-tuknya, dan
menjelaskan: “Kita akan melewati jalan sekitar rumah sakit kerajaan. Dalam
rumah sakit itu sekarang ada raja kami, Bhumibol Adulyadej. Beliau sedang sakit
dan dirawat di situ. Tolonglah hormati raja kami dengan cara melepaskan topi
dari kepalamu. It’s impolite. Itu
tidak sopan.” Owalaahhh…
Saya tak
tahu kalau jalur yang tengah kami lewati itu ada bangunan rumah sakit karena tuk-tuk sama sekali tidak berjalan melewati
bagian depan, tapi samping dan belakang rumah sakit. Bangunan itu tidak
mencolok sebagai sebuah rumah sakit.
Tapi dari
situ saya salut terhadap sang sopir tuk-tuk
itu. Betapa kesetiaan dan penghormataannya sebagai rakyat terhadap sang raja Thailand
begitu dalam, hingga meminta pelancong seperti kami juga ikut menghormati junjungannya.
Betapa imajinasi tentang pemimpin yang dijadikan panutan baginya tetap hadir meski
tidak dalam penampakan fisiknya. Saya tak tahu apakah ini juga bagian dari perluasan
praktik kuasa panoptikon yang pernah
diperkenalkan oleh Michel Foucault, namun saya tersadarkan betapa keberadaan
raja (secara non-fisik atau kasat mata) itu telah berpendar dalam pemaknaan yang
dalam bagi seorang sopir tuk-tuk
hingga menciptakan etika tersendiri. Kami dianggap tidak memenuhi etika sosial di
situ, tidak menghormati raja kalau tetap mengenakan topi (di kepala) tak jauh
dari keberadaan raja—meski beliau sama sekali “tidak kasat mata”.
Kejadian
serupa juga saya alami ketika menaiki boat
di klang-klang atau ranting sungai
Chao Phraya di pinggiran kota Bangkok. Di sepanjang klang yang saya lalui, ada sekian banyak rumah tinggal dan rumah
peribadatan yang memajang foto raja Bhumibol di halaman di pinggir klang tersebut. Dan orang-orang lokal yang
satu boat dengan saya, selalu mengatupkan kedua tangan sembari menunduk takzim di
hadapan foto sang raja. Anda bisa bayangkan ketika pada satu kawasan foto-foto
raja itu berjarak pendek satu sama lain, dan pada jarak-jarak yang tak panjang itulah
mereka memberi penghormatan (pada foto) tanpa satu pun terlewatkan. Luar biasa!
Kemangkatan
raja Bhumibol Adulyadej atau Raja Rama IX pada hari Kamis, 13 Oktober 2016
kemarin, pasti memedihkan perasaan banyak warga Thailand. Junjungan mereka, simbol
pemersatu mereka—dengan segala kelebihan dan kekurangannya—sedikit-banyak telah
meruntuhkan harapan-harapan Thailand ke depan.
Harapan-harapan
itu tampaknya telah memudar ketika menyadari bahwa putra mahkota, Pangeran
Makhota Maha Vajiralongkorn, calon Raja Rama X adalah pangeran yang banyak
membuat masalah: sering mabuk-mabukan di ruang publik, doyan main perempuan,
dan cecitraan negatif lainnya, yang jauh dari reputasi positif ayahandanya.
Sebetulnya, dalam banyak pikiran warga Thailand, mereka berharap pada Putri Maha
Chakri Sirindhorn sebagai ratu—pemimpin pengganti Bhumibol. Sebagai
kerajaan penganut garis patrilineal, tentu sulit peluang Putri Sirindorn
sebagai pemimpin.
Saya hanya
secuil kecil menyimak gerak aktivitas putri ini lewat celah berbeda, yakni pameran
fotografi karya Putri Sirindorn. Ya, dia menuruni minat dan bakat ayahandanya
yang juga menggemari jagat fotografi. Februari 2014, saya menyaksikan ratusan
karya fotografi hasil jepretan Sirindorn yang memenuhi 2 lantai gedung BCC (Bangkok
Culture Centre). Tema pameran itu: “Traveling
Photos, Photos Traveling”, yang kalau tak salah terbagi dua bagian utama,
yakni perjalanan sang putri membelah sekian banyak negeri di mancanegara, dan
kunjungannya ke berbagai pelosok negeri Thailand. Kualitas artistik fotografinya
saya kira sangat memadai, bahkan bagus. Setidaknya sedikit lebih bagus
ketimbang ibu Ani Yudhoyono, hehehe… (Maaf lho, bu!).
Tapi poin
pentingnya, saya kira, pameran itu seperti ingin memperlihatkan gerak aktivitas
penting seorang yang layak memimpin sebuah kawasan, sebuah negeri. Potret
tentang keluarga miskin, tentang bukit yang gersang, atau sebaliknya foto-foto
eksotik perihal bumi Thailand yang bertebar keindahan, tentang sawah yang
permai, tentang gerbang-gerbang desa yang ornamentik, semua ada dalam pameran
tersebut. Setidaknya, dia seperti ingin memperlihatkan bahwa: “aku sudah
mengunjungi dan tahu seluruh pori-pori negeri, dan paham hendak kemana sebaiknya
negeriku ini akan dibawa…”
Thailand,
kata beberapa pengamat, siap menghadapi banyak persoalan sepeninggal Raja Rama
IX. Angka IX atau 9 atau sembilan memang seolah memiliki energi dan “tuah” yang
kuat. Setelah itu, masih teka-teki. Tapi itu di Thailand, bukan yang lain…
Selamat
jalan, Raja Bhumibol! ***