Ironi Patung Yesus?
Oleh Kuss Indarto
Sekitar 10 hari lalu, seorang teman seniman
berbincang padaku tentang sebuah rencana proyek besar yang ditawarkan
kepadanya. Dia mengaku pusing, tak bisa memikirkan rencana yang jauh di luar
kemampuannya itu. Dan dia merasa itu bukan kapasitasnya. Pagi ini, rencana
proyek besar itu ternyata mulai berseliweran di beberapa situs berita:
Pemerintah Provinsi Papua berencana membangun patung Yesus dengan alokasi dana
Rp 300 miliar sampai Rp 500 miliar!
Patung Yesus itu dirancang dibangun di Puncak
Gunung Swajah, Kampung Kayu Batu, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura. Kalau
jadi, patung tersebut tingginya sekitar 50-67 meter dan landasannya sekitar 100
meter. Jadi, total 150-167 meter. Sebagai perbandingan, tinggi patung Yesus di
Brasil hanya 30 meter, dan landasannya 8 meter, total 38 meter. Sementara
patung di Tana Toraja tingginya 23 meter dan landasannya 17 meter, keseluruhan
40 meter. Di Dili, Timor Leste, ada patung Kristus Raja atau Cristo Rei pada
ujung bukit di Tanjung Fatucima dengan ketinggian 27 meter.
Semua patung di atas berada di puncak
pegunungan, “menyendiri”, sehingga jauh lebih menonjol ketimbang patung yang
berada di dataran rendah. Misalnya patung Liberty di muara sungai Hudson, New
York setinggi 93 meter, di tugu Monas di Jakarta yang berketinggian 132 meter, menara
Eiffel di Paris yang menjulang 324 meter (Monas dan Eiffel tugu dan menara ya,
bukan patung. Sebagai pembanding sisi ketinggian saja). Atau bandingkan dengan
3 patung Buddha tertinggi di dunia yang semua dirancang berada di lahan tanah
lapang yang luas, mungkin ratusan hektar, sehingga tempak menonjol posisinya.
Ketiga patung Buddha yang paling menjulang di dunia itu berada di Ushiku
Daibutsu, Japan, dengan ketinggian 120 meter, Spring Temple Buddha, di propinsi
Henan, China (128 meter), dan patung Buddha di Maitreya Buddha, Uttar Pradesh,
India (152 meter).
Rencana pembangunan patung Yesus itu pasti
akan ribut hanya karena soal besaran dananya saja. Apalagi kalau berkembang
hingga soal kekhawatiran pada kemungkinan jadi lahan korupsi dan semacamnya.
Apalagi kalau disandingkan dengan isu kemiskinan yang ada di Papua yang pasti
akan selalu dipersandingkan. Dan polemik yang kontraproduktif seperti itu
kemungkinan akan berkembang.
Dana sebesar Rp 300-500 miliar untuk sebuah
karya seni patung bisa jadi sangat murah. Apalagi kalau melihat besaran ukuran,
volume, lalu fakta bahwa karya itu berada di pegunungan di Papua, tentu
berdampak pada tingkat kesulitan pembuatan, hingga kompleksitas pengiriman dan
pemasangan karya yang tidak sederhana. Dana sebesar itu bisa jadi sangat
“ngepres”, pas-pasan untuk mengimbangi ambisi besar pemprov Papua—propinsi kaya
karena sumber daya alamnya ini.
Dan poin penting yang harus ditekankan di
sini adalah bahwa karya seni itu memang tidak murah, tak selayaknya selalu
dianggap sebagai kebutuhan “di ujung akhir kehidupan” sehingga seolah tidak
terlalu penting, sehingga selalu mempersoalkan anggaran sebagai sumber
persoalan. Anggapan seperti ini yang perlu diubah, dan selayaknya diberi
perspektif baru bahwa karya seni layak senantiasa dihadirkan sebagai saksi atas
tiap denyut perkembangan negeri ini.
Kalau besaran dana masih menjadi persoalan,
saya kira kita masih terbelakang setengah abad lebih dibanding pemikiran dan
hal yang telah dilakukan Bung Karno yang tahun 1960-an. Si Bung sudah mengisi
beberapa sudut Jakarta dengan berbagai karya seni dan bangunan penting serta
monumental hingga kini. Sebut misalnya dengan Monas (Monumen Nasional) yang
tonggal awal pembangunannya dilakukan oleh Bung Karno pada 17 Agustus 1961.
Berapa biaya pembangunan Monas? Menurut beberapa sumber: Rp 7 miliar. Untuk
ukuran waktu itu, sungguh, sebuah kenekatan luar biasa dari Si Bung. (Kalau
dikurskan dengan rupiah sekarang, konon setara denga Rp 42 triliun.
Wallahu’alam. Atau bandingkan juga dengan proyek Bung Karno yang lain, yakni
proyek Tugu Dirgantara atau yang lebih popular sebagai Tugu Pancoran yang masih
sangat ikonik hingga sekarang. Karya pematung Yogyakarta almarhum Edhie Sunarso
tersebut, tahun 1964, menghabiskan dana Rp 12 juta. Waktu itu, harga seliter
bensin premium Rp 0,5,- (setengah rupiah). Uniknya, Sukarno harus melunasi
pembuatan patung itu dengan dana pribadi, antara lain menjual mobil VW kodok
seharga Rp 1 juta.
Rencana pemprov Papua dengan rencana patung
Yesus raksasa itu barangkali sebuah ambisi yang tak ada salahnya untuk
realisasi, namun juga—bagi saya—sebagai sebuah sindiran keras kepada pemerintah
pusat yang tidak kunjung serius mengurus persoalan seni budaya (dan agama). Dari
hal konsep, regulasi, hingga derivasi atas keduanya di tingkat praksis.
Kita belum punya Museum Nasional yang
membanggakan tampilan dan muatannya. Masuk ke museum itu memang murah, hanya
sebesar parker mobil tiketnya, namun disuguhi artifak luar biasa dengan displai
yang “kemuruyuk”, penuh sesak, penerangan yang minimal di sana-sini, karena tak
ada pembenahan yang serius selama bertahun-tahun. Kita belum punya Galeri
Nasional yang membuat kita menaruh rasa hormat. Bertahun-tahun rencana
pembangunan gedung baru yang “hanya” sekitar Rp 500 miliar terus tertunda
bahkan terbengkalai tidak jelas juntrungannya. Kita kalah dengan galeri
nasional India yang sama-sama Negara berkembang. Apalagi bila dibandingkan
dengan galeri nasional Singapura atau China, malu teramat sangatlah kita karena
bagai bumi dan langit perbedaannya. Tak perlu deh untuk dibandingkan dengan
Negara-negara Eropa dan Amerika.
Rencana patung Yesus di Papua itu memang
sebuah ironi. Apalagi kalau masih ribut soal dana. Ah, jadi ingat ketika seorang
kolektor seni asal Indonesia, Budi Raharjo Tek, tahun 2010 nge-bid dan membeli sebuah
(ya, sebuah) lukisan karya Zhang Xiaogang bertajuk Chapter of a New
Century-Birth of the People’s Republic of China II (1992) dibalai lelang
Sotheby’s, Hong Kong. Dia nge-bid dengan harga tertinggi: HK$ 52,18 juta
atau sekitar Rp 56 miliar. Seorang warga Indonesia pun telah keranjingan karya
seni hingga menghabiskan dana pribadi yang luar biasa besar. Mungkin
perbandingan itu terasa kurang “nyambung”, namun sungguh ironis kalau Negara
masih pelit untuk mengeluarkan dana demi karya seni seperti yang diambisikan
oleh pemprov Papua.
Aduh, jadi ingat juga pada seniman Bandung Nyoman Nuarta yang
masih belum sukses mewujudkan megaproyek patung GWK (Garuda Wisnu Kencana)
sesuai rencana. Patung yang rencananya berdiri setinggi 120 meter yang tersusun
dari sekitar 4.000 ton logam itu sampai sekarang masih terberai di perbukitan
Tanjung Nusa Dua, Badung, Bali. Megaproyek seharga Rp 450 miliar itu
terbengkalai setelah pemerintah Soeharto jatuh, dan belum ada campur tangan
Negara yang sangat serius untuk ikut menuntaskannya.
Patung Yesus di bumi Papua, semoga jadi
ambisi yang bisa direalisasi. Biarlah teman seniman saya tadi pusing. Toh
rencana menarik ini juga masih di sini, negeri yang kaya seniman luar biasa!
Ayo, tak ada yang tak mungkin! ***