Seratan Luru Raos
Lukisan "Bring the Spirit" karya Astuti Kusumo, 200 x 300 cm2016
"Seri Merapi IV", 50 x 60 cm, ail on canvas, 2017
[perca-perca pembacaan atas gagasan
dan karya Astuti Kusumo]
Oleh Kuss Indarto
MENYIMAK pameran tunggal pertama Astuti Kusumo ini adalah menyimak, setidaknya, tiga hal penting. Pertama, perihal posisinya sebagai seniman yang menghadirkan diri mencari eksistensi dalam pusaran dinamika seni rupa Yogyakarta dari jalur otodidak. Kedua, problem perempuan yang dibawa oleh seniman ini, dari perkara personal yang melekat dalam dirinya dan perkara substansial yang menempel pada sebagian karya-karya yang dipresentasikannya kali ini. Ketiga, ihwal “perburuan rasa” yang telah dan terus dilakukannya sebagai seorang seniman—sebagaimana tema pameran ini, “Seratan Luru Raos”, catatan perihal perburuan rasa.
Mengenai hal pertama, yakni kenyataan bahwa Astuti berangkat sebagai seniman dari jalur otodidak, saya tidak akan memberi tekanan lebih jauh pada kerangka pandang oposisi biner (binary opposition) antara otodidak dan akademik. Realitas yang ada memberi gambaran bahwa keduanya hadir saling melengkapi satu sama lain. Bahwa dewasa ini, khususnya di Yogyakarta, peran dan sepak terjang para seniman dari jalur akademik sangatlah dominan, tentu tak bisa dipungkiri. Seniman akademik atau seniman yang terdidik dari lembaga pendidikan formal seni rupa ini, di Yogyakarta, cikal-bakalnya telah terbentuk lama, yakni berawal ketika Presiden pertama RI, Sukarno, mendirikan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) pada 17 Januari 1950 atau 67 tahun lalu (di kemudian hari menjadi Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta—setelah mendirikan Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar pada 1 Agustus 1947, yang kelak menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB.
Kehadiran lembaga pendidikan tinggi formal seni rupa yang kemudian disusul oleh lembaga pendidikan menengah atas formal seni rupa, yakni SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia) mulai tahun April 1963, secara evolutif—setelah berlangsung selama puluhan tahun—telah mengubah peta perkembangan seni rupa di Yogyakarta sendiri, bahkan di Indonesia. Jakarta bukan lagi pusat seni rupa, kecuali sebagai pasar yang cukup riuh, sementara Yogyakarta telah berdiri kokoh sebagai zona kekuatan seni rupa di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Di dalamnya, di Yogyakarta sendiri, konstelasinya juga berubah. Berbeda dengan kondisi pada dasawarsa 1950 dan 1960an yang dinamika perkembangan seni rupanya diwarnai oleh sanggar-sanggar seni, kini diriuh-rendahi oleh para seniman (atau calon seniman) yang terdidik secara akademik oleh lembaga pendidikan formal seni rupa. Mereka, baik yang bergerak secara individual ataupun yang tergabung secara kolektif dalam sebuah wadah komunitas seni, banyak menggerakkan berbagai aktivitas seni rupa di berbagai ruang-ruang seni yang juga banyak berdiri di kawasan ini. Mereka juga berusaha membangun jejaring kerja di level nasional, regional bahkan global. Realitas yang ada mengindikasikan dengan kuat bahwa para perupa akademik ini telah banyak memberi pengaruh besar pada dunia pewacanaan seni rupa. Realitas ini juga merembet pada aspek yang lain, yakni pasar (art market) yang menaruh kepercayaan terhadap perkembangan dan pencapaian para seniman akademik. Gejala ini tidak saja terjadi pada level global, namun juga di ranah lokal. Tidak jarang para pelaku pasar yang turun di lapangan mempertanyakan asal-usul seniman yang tengah berpameran di sebuah ruang seni: “seniman A itu lulusan kampus seni mana?”, dan semacamnya. Kadang terasa tak kurang fair, namun itulah yang sesekali terjadi.
Di celah sepak terjang para perupa akademik yang sangat dinamis di Yogyakarta inilah, tentu tidak mudah bagi para seniman non-akademik atau otodidak untuk berkiprah. Astuti Kusumo termasuk salah satu orang yang berupaya keras untuk menghadirkan diri menembus dominasi itu. Pasti tak akan mudah, dan tidak perlu mematok ekspektasi atas pencapaian yang terlalu tinggi. Jangankan Astuti yang berlatar belakang pendidikan tinggi ekonomi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, bahkan para calon seniman yang berasal dari kampus seni rupa lain di Yogyakarta pun—seperti dari UNY (dulu IKIP Yogyakarta), Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, dan lainnya—hingga sekarang sulit menembus dominasi anak-anak ISI Yogyakarta.
Pada sisi “kekurangan” inilah yang tengah ditempuh oleh Astuti untuk ditambal dengan pembelajaran diri dari banyak segi. Menjadi pembelajar yang gigih dan tekun dengan mengabaikan usia serta berbagai keterbatasan. Salah satu yang saya ingat adalah ketika suatu hari, 19 Februari 2012, Astuti Kusumo sengaja terbang ke Jakarta hanya untuk menyaksikan pembukaan pameran tunggal seniman Yogyakarta asal Bali, Made Toris Mahendra. Pameran yang bertajuk kuratorial “Hidden Passion” itu berlangsung di Apik Gallery di bilangan Radio Dalam, Jakarta Pusat. Saya tak tahu persis apakah dia betul-betul bertolak ke Jakarta hanya untuk keperluan itu atau ada aktivitas yang lain. Namun, hal yang masih saya ingat betul, Astuti banyak bertanya menggali pengetahuan tentang berbagai hal seputar praktik dan proses penciptakan kepada Toris sebagai seniman yang tengah berpameran, dan kepada saya sebagai kurator pameran tersebut. Kalau melihat rentang waktu antara kedatangan Astuti dalam pameran tunggal Made Toris (tahun 2012) dan pameran tunggalnya yang pertama kali ini (tahun 2017)—yang berjarak 5 tahun—kita bisa membopong kesimpulan masing-masing, antara lain bahwa ada dugaan keseriusan dari Astuti sebagai sang pembelajar yang berusaha mengejar pencapaian.
Dalam jengkal waktu sepanjang itu, dia berusaha keras membangun relasi yang tepat dan efektif untuk menempatkan posisi dirinya dengan baik. Ya, ini masalah eksistensi dan positioning yang tak bisa dielakkan dalam peta seni rupa—sekecil apapun keberadaannya. Maka, pameran tunggalnya kali ini, kiranya, menjadi lompatan penting atas hasil belajar menimba pengetahuan dan ketelatenan selama bertahun-tahun dengan jalur yang dia kukuhi. Dan ini adalah pencapaian yang pantas untuk diapresiasi, meski asupan kritik masih sangat perlu untuk menata perkembangan ke depan.
Sebagai Perempuan
Jalur pilihan hidup yang dikukuhi Astuti dengan bergiat di dunia seni rupa ini, sesungguhnya, bukanlah jalur yang pertama dan utama. Namun dia, dunia seni itu, bagai energi atau spirit yang terus melambai-lambai merajuk Astuti secara laten dalam bawah sadarnya. Sebenarnya, sejak kecil, minatnya terhadap dunia seni rupa telah mengemuka. Ketika Astuti mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar (SD), dia sudah mulai menekuninya meski dalam ranah yang berbeda. Tiap kali ada lomba menggambar atau melukis untuk anak-anak, Astuti kecil relatif cukup sering menyabet gelar juara. Sebagai missal, pada lomba menggambar Sirkit Piala Affandi yang diadakan di tiga kota yaitu Jogja, Solo dan Surabaya misalnya, Astuti meraih juara II. Berikutnya, lomba melukis pada rangkaian HUT Dewi Sartika, kembali Astuti meraih jenjang tertinggi, juara I. Tercatat karyanya pernah mengikuti kompetitisi pameran keliling Asia. Bahkan karyanya pernah membuatnya meraih silver medal dalam rangka Children Art Competition di Shankar India.
Bertahun-tahun lalu, selepas menjadi anak SMA, dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Ekonomi, UPN “Veteran” Yogyakarta (hingga lulus). Selepas itu, Astuti berkarier pada sebuah lembaga perbankan sampai bertahun-tahun, hingga secara struktural posisi jabatannya relatif cukup mapan. Secara finansial pun, relatif cukup bisa “mengamankan” diri dan keluarganya.
Di tengah kemapanan yang telah lama dibangunnya sendiri itu, kemudian Astuti justru “meruntuhkan” begitu saja. Dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya di sebuah lembaga perbankan, dan kemudian memulai dari nol sama sekali dengan menceburkan diri di dunia seni rupa yang dirinya nyaris tanpa banyak memiliki “bekal”, kecuali niat, mungkin seberkas bakat, dan itu tadi: energi dan spirit yang sekian lama hadir sebagai obsesi personal untuk berkehendak menjadi pelaku seni rupa. Keputusan besar dalam diri Astuti itu sudah barang pasti banyak mempunyai risiko yang tidak kecil. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dirinya sudah sekian lama menjadi single parent bagi dua putrinya. Astuti adalah sosok ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Sosok yang menghadirkan diri di depan anak-anaknya dalam feminitas dan “maskulitas”-nya sekaligus pada satu waktu.
Keberanian (= kenekatan) Astuti untuk mencoba keluar dari zona nyaman itu seperti mengingatkan kembali konsep hidup orang Jawa yang tentang “Dadi Wong”—seperti yang pernah dibahas dengan detil oleh Risa Permanadeli dalam “Dadi Wong, Kerangka yang Menjabarkan Pemikiran Jawa dan Representasi Modernitas” (2015). Banyak orang memiliki pemahaman tentang “Dadi Wong” sebagai orang yang: mentas, mandiri, mapan, dan mulyo. Secara harafiah kata mentas berarti keadaan ketika seseorang keluar dari air/sungai setelah berendam di dalamnya, namun mentas dalam konteks ini bermakna sebagai sebuah kesiapan mental dan fisik juga finansial untuk melanjutkan perjalanan hidup. Kata mandiri berarti kemampuan untuk mengurus diri sendiri, tanggung jawab dengan hidupnya sendiri. Mapan artinya tidak memiliki keurangan apapun dan mampu membantu orang lain, serta kata mulyo yang artinya kaya secara sosial juga finansial, dan itu bisa terlihat dari banyaknya harta benda yang dimiliki.
Dalam pemahaman orang dan kultur Jawa konsep “Dadi Wong” tersebut kurang lebih bisa diringkas dengan menyajikan tiga atribut yang paling dominan, yakn: kegigihan, keberhasilan, dan keterbukaan rohani dengan tujuan untuk membantu orang lain. Kualitas-kualitas itu mengukur kedalaman dan kebesaran jiwa pada seseorang yang dianggap sudah “Dadi Wong”. Maka, atribut tentang kegigihan itu menemukan titik sambungnya dengan nasihat para orang (yang lebih) tua yang menyatakan: “ajar prihatin, supaya bisa “Dadi Wong” atau orang harus belajar bersusah-susah, supaya bisa menjadi orang”. Atribut tentang keberhasilan bertemu dengan ungkapan “wah uripe wis mapan, wonge wis “Dadi Wong” (kehidupannya sudah berhasil, karena dia sudah “Dadi Wong”), serta atribut keterbukaan rohani yang selaras dengan ungkapan “wong iki “Dadi Wong” yo kudu isa disambati” yang artinya “kalau sudah jadi orang maka orang tersebut harus bisa dimintai tolong”.
“Gangguan-gangguan” tentang konsep “Dadi Wong” tersebut tampaknya cukup memberi daya dorong bagi Astuti Kusumo untuk “dadi wong” dengan caranya sendiri. Bukan lagi menjadikan diri sebagai karyawan atau wanita karier yang sukses di jalur perbankan, misalnya, yang selaras dengan disiplin ilmu yang telah dikenyamnya. Namun dengan menjadi seniman. Pancapaian dan standarnya pasti berbeda, setidaknya bukan sekadar dari problem ekonomi dan finansial, namun dari soal kepuasan batin. Ini tentu sangat sulit diukur dengan angka-angka statistik.
“Gangguan” tersebut kemudian turun (derivated) sebagai gagasan-gagasan dasar yang kemudian dieksekusi sebagai karya kreatif, ya karya lukisan yang ada dalam pameran ini. Ada sekian banyak karya yang membopong tema perihal perempuan dengan upaya kemandirian dan kekuatannya untuk tidak menjadi subordinat laki-laki. Saya tidak mengatakan bahwa sebagian karya-karya Astuti dalam pameran ini memuat tema perihal feminisme. Sama sekali tidak, karena dia pun pasti juga enggan menyentuh perbincangan tentang itu.
Sebut misalnya karya bertajuk “Bring the Spirit” yang sebagian besar bernuansa biru. Di tengah dominasi biru itu Astuti sengaja menorehkan warna yang berbeda, yakni warna cerah, pada sesosok perempuan tengah menunggang kuda. Ada citra heroisme di sana: perempuan di atas kuda tengah bersiap menghela busur untuk melepaskan anak panah menuju sasaran. Bangunan narasi heroik ini terasa kuat karena di sekeliling perempuan tersebut ada sekian banyak citra manusia yang tampak gelap dan dalam berbagai posisi serta ekspresi terpinggirkan. Mereka, sosok-sosok tersebut, seperti menengadahkan kepala, menatap nanar, dan menanamkan banyak harapan pada srikandi yang tengah memanah itu. Apakah itu gambaran obsesif dari senimannya yang sekarang ini (selama bertahun-tahun) menjadi single parent, harus mandiri dari ketergantungan pihak lain, dan ada sekian banyak kepala menaruh harapan pada pencapaiannya? Bisa jadi.
Tentang Rasa, Juga Lelaku
Pameran tunggal Astuti ini sendiri mengambil tema “Seratan Luru Raos”. Ini merupakan hasil penggalian atas kata-kata dalam bahasa Jawa, sebuah pengantar komunikasi yang sejatinya banyak penganutnya namun kini lambat laun mulai surut karena ditinggalkan. Maka, ada nilai moral dari penggalian teks berbahasa Jawa ini, yakni upaya kecil untuk kembali karib dengan kultur Jawa.
Secara etimologis, kata “luru” memuat arti memburu. Tetapi kemudian memiliki perluasan makna dan konteks sehingga kurang lebih dipahami sebagai “belajar atau memburu ilmu”. Jika dijadikan secara diglosif maka arti pada bahasa pustakanya hampir sama dengan kata “ngudi”. Namun kata “ngudi“ terasa agak kurang dinamis jika dibandingkan dengan “luru”. Sedangkan terminology atau kata “raos” dalam bahasa Jawa merupakan bentuk halus atau eufemisme dari kata “rasa” atau “roso”. Nilai rasanya bahkan lebih dalam dari sekadar kata “rasa“. Raos itu merasakan dengan atma atau jiwa, jadi tidak sekadar merasakan indera, tetapi juga secara empati(k). Umpamanya, andai seseorang mencubit bagian dari tubuh kita, seketika itu yang dirasakan adalah sakit pada kulit yang dicubit, bahkan dalam hal ini juga meliputi emosi orang mencubit, mengapa dia mencubit. Jadi “raos” itu lebih dalam di mana ada berpikir metafisik. Sementara kata “seratan” juga merupakan bentuk penghalusan dari kata “cathetan” atau catatan. Dengan demikian, tema pameran “Seratan Luru Raos“ ini diandaikan memiliki makna yang dalam sebagai catatan atau upaya pencatatan dalam proses belajar dengan, melalui, tentang dan dalam rasa seseorang.
Astuti sendiri menumpukan harapan bahwa karya-karya ini merupakan titik tertinggi dari “raos” terhadap diri sendiri, juga raos terhadap proses maupun produk sosial yang saat ini selalu bergejolak. Maka, melalui raos, seniman yang memiliki satu petera dan dua puteri ini ingin membaca lebih jauh segenap gejala dan dinamika dunia—mulai dari perkara social, budaya, kemasyarakatan dan lainnya. Tentu dari sudut pandang personal Astuti, dan dari kerangka dasar seni rupa.
Tentang “rasa” ini kiranya juga menarik diperbincangkan karena juga bisa bertautan erat dengan problem “lelaku”. Bagi masyarakat Jawa, kata “lelaku” itu menjadi kata kerja aktif ketika tertulis sebagai “nglakoni”, dan ini—bagi masayarakat modern dewasa ini—terasa menjadi sebuah praktik mistik yang dianggap menjauhi logika. Namun justru di sini letak titik menariknya. Di Jawa, orang yang sedang “nglakoni”, misalnya dengan melakukan “laku” prihatin, bermeditasi, membiasakan diri berkonsentrasi di tempat sepi sering mendapatkan pengalaman atau firasat akan kehadiran (“dzat”) yang Ilahi. Kehadiran “dzat” yang menyapa orang Jawa itu bukan muncul melalui akal budi dan pancaindera manusia, melaui rasa, sebagai indera keenam. Masyarakat Jawa tradisional memberi tempat begitu penting atas kehadiran rasa. Indera rasa ini sungguh-sungguh sangat dilibatkan dalam kepribadian Jawa, tidak kalah pentingnya dengan pikiran, sehingga ia sangat berperan untuk melihat laku dan perilaku orang Jawa secara umum. Seseorang bisa disebut sebagai sudah dewasa ketika ia mampu mengendalikan dan menghadikan rasa dalam berkomunikasi dengan orang lain, dalam mengungkapkan dirinya dan dalam komunikasi dengan Gusti Allah, sebagai Rasa Sejati. Tak heran bila ada frasa yang cukup populer bagi orang Jawa, yakni “… yen tak rasak-rasakke..”, sebagai alternatif dari frasa “…yen tak pikir-pikir…”—yang lebih berorientasi pada aspek logika saja. Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) juga memberi penegasan bahwa “makin halus rasa seseorang, makin mendalam pengertiannya, makin luhur sikap moralnya, dan indah segi luarnya”. Dugaan-dugaan atas dunia batin orang Jawa inilah yang kemudian dikorelasikan oleh realitas pada hasil proses penghalusan dunia lahir seperti tarian klasik, music gamelan, tembang macapat, batik dan lainnya. Itu semua adalah artifak penting yang lahir dari dunia batin orang Jawa dengan kepemilikan atas rasa yang telah mendewasakan mereka. Dan rasa itu merupakan hasil dari upaya “lelaku”.
Gunung di Kanvas Astuti
Ada sepuluhan karya lukis Astuti Kusumo yang menggambarkan gunung. Bagi orang Jawa seperti Astuti, citra gunung memiliki makna yang mendalam. Kerajaan Mataram Hindhu dulu hidup di sekitar gunung Merapi, membangun peradaban dan kebudayaannya bersama gunung. Ketika terdesak, mereka lari ke arah timur, dan lalu berdiam di kawasan pegunungan Tenggerlah. Atau sebagian lagi berpindah ke pulau Bali dan menjadikan gunung Agung sebagai bagian penting dari perikehidupan spiritualnya. Demikian pula dengan kerajaan Mataram Islam, posisi gunung Merapi menduduki garis penting dalam laku spiritual para pendirinya, dan diyakini sebagai satu kesatuan alam yang tak bisa diceraikan sebagaimana posisi laut atau segara kidul di sisi selatan.
Ketika Mataram Islam telah pecah dan salah satunya menjadi Ngayogyakarta Hadiningrat, kini, keberadaan gunung (Merapi) juga masih menjadi situs penting. Gunung Merapi yang merupakan gunung berapi paling aktif di dunia, dan tentu membahayakan bagi manusia ketika terjadi eksplosi, ternyata ta menyurutkan jutaan manusia di sekitarnya untk beranjak pergi. Kawasan sekitar gunung Merapi justru teramat subur dengan perkembangan peradaban dan kebudayaannya. Tidak sekadar tumbuh merayap namun senantiasa terjadi dinamika di sana. Gunung ternyata menjadi energi positif yang bisa berdiam bersama manusia, apalagi ketika manusia mampu menghormatinya. Itulah yang terjadi kenapa kemudian sesepuh penjaga Merapi, dulu, menyebut Merapi sebagai “kiai”—sebutan yang memuliakan sesosok apappun, termasuk gunung.
Dalam dunia pewayangan—salah satu pencapaian kultural masyarakat Jawa—representasi atas gunung digambarkan lewat bentuk gunungan. Secara visual, dalam gunungan terdapat banyak secara figur satwa dan flora yang semuanya mewakili banyak perikehidupan alam. Gunungan sangat penting kehadirannya karena dia selalu muncul pada awal (bedhol kayon) dan ujung dari cerita wayang (tancep kayon). Gunungan juga dihadirkan sebagai pembatas antaradegan, sekaligus untuk penggambar(an) situasi seperti datangnya hujan, badai, air, hingga mewakili daya kesaktian tokoh tertentu. Dengan demikian gunungan dalam wayang begitu vital untuk menghidupkan narasi pada wayang, kisah dalam kehidupan.
Astuti, yang mengkreasi banyak karya berwujud gunung ini pantas untuk diapresiasi lebih jauh. Dia menyatakan bahwa: “Gunung-gunung merupakan anganku, yaitu tercapainya titik yang tertinggi, juga sebagai instrumen dalam rangka mengintropeksi diri, dalam hal ini gunung ibarat hati, ketinggian gunung tak ada yang bisa menandingi. Di kala Sang Ego sedang melanda manusia, seperti kemarahan luapan emosi atau apapun bentuk perilaku negatif, akan menghancurkan manusia itu sendiri.”
Lebih jauh seniman ini membilang bahwa “Beberapa makhluk adalah jiwaku juga raos-ku sendiri yang kadang tidak stabil, kadang juga belum pernah kujumpai. Warna kesempurnaan pun sedang kucari melalui instrumen raos-ku. Aku tetap luru raos lewat kawruh dan luru kawruh tentang dunia, alam dan kehidupan melalui raos-ku.” Bahkan problem ini dikaitkan lebih jauh dengan relasinya pada anak-anak atau dengan sosok ibu: “Dalam karyaku yang lain aku luru spirit perjuangan wanita pun ketika saat kutemui sosok wanita, yaitu ibuku, kucoba raos-ku membaca raos ibu karena aku juga seorang ibu yang harus memberi raos kepada anak-anakku.”
Pameran tunggal yang pertama bagi Astuti ini, merupakan momentum sekaligus pencapaian yang penting, monumental, layak untuk ditegaskan dengan statemen yang menguatkan makna berkeseniannya. Astuti menyatakan bahwa “Momentum tanggal 21 April 2017 ini, aku mencoba membaca sosok wanita melalui raos, dengan spirit perjuangannya. Dan dengan lukisan ini pula ingin kubeberkan raos: raos angan, raos sedih, raos gembira/suka maupun raos kegelisahan. Semoga raos-ku bisa kubaca sendiri sebagai refleksi atas hidupku. Kucoba juga temui Gusti melalui raos.”
Selamat datang di medan seni rupa (Yogyakarta), Astuti! Siaplah masuk dalam ruang pertarungan yang penuh kompleksitas. Ada banyak pujian yang tulus, ada pula yang bisa menyungkurkanmu. Ada kritik yang menyehatkan laju kreativitasmu, ada pula yang membuatmu gagu tak mampu mengisi relung daya ciptamu. Ada peluk erat yang lalu membetahkanmu, ada pula pelukan sayang namun membuatmu bisa terjengkang. Maka, selamat pula untuk mengelola sensivitasmu! Salam! ***
Kuss Indarto, penulis seni rupa, tinggal di Yogyakarta.
Oleh Kuss Indarto
MENYIMAK pameran tunggal pertama Astuti Kusumo ini adalah menyimak, setidaknya, tiga hal penting. Pertama, perihal posisinya sebagai seniman yang menghadirkan diri mencari eksistensi dalam pusaran dinamika seni rupa Yogyakarta dari jalur otodidak. Kedua, problem perempuan yang dibawa oleh seniman ini, dari perkara personal yang melekat dalam dirinya dan perkara substansial yang menempel pada sebagian karya-karya yang dipresentasikannya kali ini. Ketiga, ihwal “perburuan rasa” yang telah dan terus dilakukannya sebagai seorang seniman—sebagaimana tema pameran ini, “Seratan Luru Raos”, catatan perihal perburuan rasa.
Mengenai hal pertama, yakni kenyataan bahwa Astuti berangkat sebagai seniman dari jalur otodidak, saya tidak akan memberi tekanan lebih jauh pada kerangka pandang oposisi biner (binary opposition) antara otodidak dan akademik. Realitas yang ada memberi gambaran bahwa keduanya hadir saling melengkapi satu sama lain. Bahwa dewasa ini, khususnya di Yogyakarta, peran dan sepak terjang para seniman dari jalur akademik sangatlah dominan, tentu tak bisa dipungkiri. Seniman akademik atau seniman yang terdidik dari lembaga pendidikan formal seni rupa ini, di Yogyakarta, cikal-bakalnya telah terbentuk lama, yakni berawal ketika Presiden pertama RI, Sukarno, mendirikan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) pada 17 Januari 1950 atau 67 tahun lalu (di kemudian hari menjadi Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta—setelah mendirikan Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar pada 1 Agustus 1947, yang kelak menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB.
Kehadiran lembaga pendidikan tinggi formal seni rupa yang kemudian disusul oleh lembaga pendidikan menengah atas formal seni rupa, yakni SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia) mulai tahun April 1963, secara evolutif—setelah berlangsung selama puluhan tahun—telah mengubah peta perkembangan seni rupa di Yogyakarta sendiri, bahkan di Indonesia. Jakarta bukan lagi pusat seni rupa, kecuali sebagai pasar yang cukup riuh, sementara Yogyakarta telah berdiri kokoh sebagai zona kekuatan seni rupa di Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Di dalamnya, di Yogyakarta sendiri, konstelasinya juga berubah. Berbeda dengan kondisi pada dasawarsa 1950 dan 1960an yang dinamika perkembangan seni rupanya diwarnai oleh sanggar-sanggar seni, kini diriuh-rendahi oleh para seniman (atau calon seniman) yang terdidik secara akademik oleh lembaga pendidikan formal seni rupa. Mereka, baik yang bergerak secara individual ataupun yang tergabung secara kolektif dalam sebuah wadah komunitas seni, banyak menggerakkan berbagai aktivitas seni rupa di berbagai ruang-ruang seni yang juga banyak berdiri di kawasan ini. Mereka juga berusaha membangun jejaring kerja di level nasional, regional bahkan global. Realitas yang ada mengindikasikan dengan kuat bahwa para perupa akademik ini telah banyak memberi pengaruh besar pada dunia pewacanaan seni rupa. Realitas ini juga merembet pada aspek yang lain, yakni pasar (art market) yang menaruh kepercayaan terhadap perkembangan dan pencapaian para seniman akademik. Gejala ini tidak saja terjadi pada level global, namun juga di ranah lokal. Tidak jarang para pelaku pasar yang turun di lapangan mempertanyakan asal-usul seniman yang tengah berpameran di sebuah ruang seni: “seniman A itu lulusan kampus seni mana?”, dan semacamnya. Kadang terasa tak kurang fair, namun itulah yang sesekali terjadi.
Di celah sepak terjang para perupa akademik yang sangat dinamis di Yogyakarta inilah, tentu tidak mudah bagi para seniman non-akademik atau otodidak untuk berkiprah. Astuti Kusumo termasuk salah satu orang yang berupaya keras untuk menghadirkan diri menembus dominasi itu. Pasti tak akan mudah, dan tidak perlu mematok ekspektasi atas pencapaian yang terlalu tinggi. Jangankan Astuti yang berlatar belakang pendidikan tinggi ekonomi di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, bahkan para calon seniman yang berasal dari kampus seni rupa lain di Yogyakarta pun—seperti dari UNY (dulu IKIP Yogyakarta), Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, dan lainnya—hingga sekarang sulit menembus dominasi anak-anak ISI Yogyakarta.
Pada sisi “kekurangan” inilah yang tengah ditempuh oleh Astuti untuk ditambal dengan pembelajaran diri dari banyak segi. Menjadi pembelajar yang gigih dan tekun dengan mengabaikan usia serta berbagai keterbatasan. Salah satu yang saya ingat adalah ketika suatu hari, 19 Februari 2012, Astuti Kusumo sengaja terbang ke Jakarta hanya untuk menyaksikan pembukaan pameran tunggal seniman Yogyakarta asal Bali, Made Toris Mahendra. Pameran yang bertajuk kuratorial “Hidden Passion” itu berlangsung di Apik Gallery di bilangan Radio Dalam, Jakarta Pusat. Saya tak tahu persis apakah dia betul-betul bertolak ke Jakarta hanya untuk keperluan itu atau ada aktivitas yang lain. Namun, hal yang masih saya ingat betul, Astuti banyak bertanya menggali pengetahuan tentang berbagai hal seputar praktik dan proses penciptakan kepada Toris sebagai seniman yang tengah berpameran, dan kepada saya sebagai kurator pameran tersebut. Kalau melihat rentang waktu antara kedatangan Astuti dalam pameran tunggal Made Toris (tahun 2012) dan pameran tunggalnya yang pertama kali ini (tahun 2017)—yang berjarak 5 tahun—kita bisa membopong kesimpulan masing-masing, antara lain bahwa ada dugaan keseriusan dari Astuti sebagai sang pembelajar yang berusaha mengejar pencapaian.
Dalam jengkal waktu sepanjang itu, dia berusaha keras membangun relasi yang tepat dan efektif untuk menempatkan posisi dirinya dengan baik. Ya, ini masalah eksistensi dan positioning yang tak bisa dielakkan dalam peta seni rupa—sekecil apapun keberadaannya. Maka, pameran tunggalnya kali ini, kiranya, menjadi lompatan penting atas hasil belajar menimba pengetahuan dan ketelatenan selama bertahun-tahun dengan jalur yang dia kukuhi. Dan ini adalah pencapaian yang pantas untuk diapresiasi, meski asupan kritik masih sangat perlu untuk menata perkembangan ke depan.
***
Jalur pilihan hidup yang dikukuhi Astuti dengan bergiat di dunia seni rupa ini, sesungguhnya, bukanlah jalur yang pertama dan utama. Namun dia, dunia seni itu, bagai energi atau spirit yang terus melambai-lambai merajuk Astuti secara laten dalam bawah sadarnya. Sebenarnya, sejak kecil, minatnya terhadap dunia seni rupa telah mengemuka. Ketika Astuti mengenyam pendidikan di bangku sekolah dasar (SD), dia sudah mulai menekuninya meski dalam ranah yang berbeda. Tiap kali ada lomba menggambar atau melukis untuk anak-anak, Astuti kecil relatif cukup sering menyabet gelar juara. Sebagai missal, pada lomba menggambar Sirkit Piala Affandi yang diadakan di tiga kota yaitu Jogja, Solo dan Surabaya misalnya, Astuti meraih juara II. Berikutnya, lomba melukis pada rangkaian HUT Dewi Sartika, kembali Astuti meraih jenjang tertinggi, juara I. Tercatat karyanya pernah mengikuti kompetitisi pameran keliling Asia. Bahkan karyanya pernah membuatnya meraih silver medal dalam rangka Children Art Competition di Shankar India.
Bertahun-tahun lalu, selepas menjadi anak SMA, dia memutuskan untuk kuliah di Fakultas Ekonomi, UPN “Veteran” Yogyakarta (hingga lulus). Selepas itu, Astuti berkarier pada sebuah lembaga perbankan sampai bertahun-tahun, hingga secara struktural posisi jabatannya relatif cukup mapan. Secara finansial pun, relatif cukup bisa “mengamankan” diri dan keluarganya.
Di tengah kemapanan yang telah lama dibangunnya sendiri itu, kemudian Astuti justru “meruntuhkan” begitu saja. Dia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya di sebuah lembaga perbankan, dan kemudian memulai dari nol sama sekali dengan menceburkan diri di dunia seni rupa yang dirinya nyaris tanpa banyak memiliki “bekal”, kecuali niat, mungkin seberkas bakat, dan itu tadi: energi dan spirit yang sekian lama hadir sebagai obsesi personal untuk berkehendak menjadi pelaku seni rupa. Keputusan besar dalam diri Astuti itu sudah barang pasti banyak mempunyai risiko yang tidak kecil. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dirinya sudah sekian lama menjadi single parent bagi dua putrinya. Astuti adalah sosok ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Sosok yang menghadirkan diri di depan anak-anaknya dalam feminitas dan “maskulitas”-nya sekaligus pada satu waktu.
Keberanian (= kenekatan) Astuti untuk mencoba keluar dari zona nyaman itu seperti mengingatkan kembali konsep hidup orang Jawa yang tentang “Dadi Wong”—seperti yang pernah dibahas dengan detil oleh Risa Permanadeli dalam “Dadi Wong, Kerangka yang Menjabarkan Pemikiran Jawa dan Representasi Modernitas” (2015). Banyak orang memiliki pemahaman tentang “Dadi Wong” sebagai orang yang: mentas, mandiri, mapan, dan mulyo. Secara harafiah kata mentas berarti keadaan ketika seseorang keluar dari air/sungai setelah berendam di dalamnya, namun mentas dalam konteks ini bermakna sebagai sebuah kesiapan mental dan fisik juga finansial untuk melanjutkan perjalanan hidup. Kata mandiri berarti kemampuan untuk mengurus diri sendiri, tanggung jawab dengan hidupnya sendiri. Mapan artinya tidak memiliki keurangan apapun dan mampu membantu orang lain, serta kata mulyo yang artinya kaya secara sosial juga finansial, dan itu bisa terlihat dari banyaknya harta benda yang dimiliki.
Dalam pemahaman orang dan kultur Jawa konsep “Dadi Wong” tersebut kurang lebih bisa diringkas dengan menyajikan tiga atribut yang paling dominan, yakn: kegigihan, keberhasilan, dan keterbukaan rohani dengan tujuan untuk membantu orang lain. Kualitas-kualitas itu mengukur kedalaman dan kebesaran jiwa pada seseorang yang dianggap sudah “Dadi Wong”. Maka, atribut tentang kegigihan itu menemukan titik sambungnya dengan nasihat para orang (yang lebih) tua yang menyatakan: “ajar prihatin, supaya bisa “Dadi Wong” atau orang harus belajar bersusah-susah, supaya bisa menjadi orang”. Atribut tentang keberhasilan bertemu dengan ungkapan “wah uripe wis mapan, wonge wis “Dadi Wong” (kehidupannya sudah berhasil, karena dia sudah “Dadi Wong”), serta atribut keterbukaan rohani yang selaras dengan ungkapan “wong iki “Dadi Wong” yo kudu isa disambati” yang artinya “kalau sudah jadi orang maka orang tersebut harus bisa dimintai tolong”.
“Gangguan-gangguan” tentang konsep “Dadi Wong” tersebut tampaknya cukup memberi daya dorong bagi Astuti Kusumo untuk “dadi wong” dengan caranya sendiri. Bukan lagi menjadikan diri sebagai karyawan atau wanita karier yang sukses di jalur perbankan, misalnya, yang selaras dengan disiplin ilmu yang telah dikenyamnya. Namun dengan menjadi seniman. Pancapaian dan standarnya pasti berbeda, setidaknya bukan sekadar dari problem ekonomi dan finansial, namun dari soal kepuasan batin. Ini tentu sangat sulit diukur dengan angka-angka statistik.
“Gangguan” tersebut kemudian turun (derivated) sebagai gagasan-gagasan dasar yang kemudian dieksekusi sebagai karya kreatif, ya karya lukisan yang ada dalam pameran ini. Ada sekian banyak karya yang membopong tema perihal perempuan dengan upaya kemandirian dan kekuatannya untuk tidak menjadi subordinat laki-laki. Saya tidak mengatakan bahwa sebagian karya-karya Astuti dalam pameran ini memuat tema perihal feminisme. Sama sekali tidak, karena dia pun pasti juga enggan menyentuh perbincangan tentang itu.
Sebut misalnya karya bertajuk “Bring the Spirit” yang sebagian besar bernuansa biru. Di tengah dominasi biru itu Astuti sengaja menorehkan warna yang berbeda, yakni warna cerah, pada sesosok perempuan tengah menunggang kuda. Ada citra heroisme di sana: perempuan di atas kuda tengah bersiap menghela busur untuk melepaskan anak panah menuju sasaran. Bangunan narasi heroik ini terasa kuat karena di sekeliling perempuan tersebut ada sekian banyak citra manusia yang tampak gelap dan dalam berbagai posisi serta ekspresi terpinggirkan. Mereka, sosok-sosok tersebut, seperti menengadahkan kepala, menatap nanar, dan menanamkan banyak harapan pada srikandi yang tengah memanah itu. Apakah itu gambaran obsesif dari senimannya yang sekarang ini (selama bertahun-tahun) menjadi single parent, harus mandiri dari ketergantungan pihak lain, dan ada sekian banyak kepala menaruh harapan pada pencapaiannya? Bisa jadi.
***
Pameran tunggal Astuti ini sendiri mengambil tema “Seratan Luru Raos”. Ini merupakan hasil penggalian atas kata-kata dalam bahasa Jawa, sebuah pengantar komunikasi yang sejatinya banyak penganutnya namun kini lambat laun mulai surut karena ditinggalkan. Maka, ada nilai moral dari penggalian teks berbahasa Jawa ini, yakni upaya kecil untuk kembali karib dengan kultur Jawa.
Secara etimologis, kata “luru” memuat arti memburu. Tetapi kemudian memiliki perluasan makna dan konteks sehingga kurang lebih dipahami sebagai “belajar atau memburu ilmu”. Jika dijadikan secara diglosif maka arti pada bahasa pustakanya hampir sama dengan kata “ngudi”. Namun kata “ngudi“ terasa agak kurang dinamis jika dibandingkan dengan “luru”. Sedangkan terminology atau kata “raos” dalam bahasa Jawa merupakan bentuk halus atau eufemisme dari kata “rasa” atau “roso”. Nilai rasanya bahkan lebih dalam dari sekadar kata “rasa“. Raos itu merasakan dengan atma atau jiwa, jadi tidak sekadar merasakan indera, tetapi juga secara empati(k). Umpamanya, andai seseorang mencubit bagian dari tubuh kita, seketika itu yang dirasakan adalah sakit pada kulit yang dicubit, bahkan dalam hal ini juga meliputi emosi orang mencubit, mengapa dia mencubit. Jadi “raos” itu lebih dalam di mana ada berpikir metafisik. Sementara kata “seratan” juga merupakan bentuk penghalusan dari kata “cathetan” atau catatan. Dengan demikian, tema pameran “Seratan Luru Raos“ ini diandaikan memiliki makna yang dalam sebagai catatan atau upaya pencatatan dalam proses belajar dengan, melalui, tentang dan dalam rasa seseorang.
Astuti sendiri menumpukan harapan bahwa karya-karya ini merupakan titik tertinggi dari “raos” terhadap diri sendiri, juga raos terhadap proses maupun produk sosial yang saat ini selalu bergejolak. Maka, melalui raos, seniman yang memiliki satu petera dan dua puteri ini ingin membaca lebih jauh segenap gejala dan dinamika dunia—mulai dari perkara social, budaya, kemasyarakatan dan lainnya. Tentu dari sudut pandang personal Astuti, dan dari kerangka dasar seni rupa.
Tentang “rasa” ini kiranya juga menarik diperbincangkan karena juga bisa bertautan erat dengan problem “lelaku”. Bagi masyarakat Jawa, kata “lelaku” itu menjadi kata kerja aktif ketika tertulis sebagai “nglakoni”, dan ini—bagi masayarakat modern dewasa ini—terasa menjadi sebuah praktik mistik yang dianggap menjauhi logika. Namun justru di sini letak titik menariknya. Di Jawa, orang yang sedang “nglakoni”, misalnya dengan melakukan “laku” prihatin, bermeditasi, membiasakan diri berkonsentrasi di tempat sepi sering mendapatkan pengalaman atau firasat akan kehadiran (“dzat”) yang Ilahi. Kehadiran “dzat” yang menyapa orang Jawa itu bukan muncul melalui akal budi dan pancaindera manusia, melaui rasa, sebagai indera keenam. Masyarakat Jawa tradisional memberi tempat begitu penting atas kehadiran rasa. Indera rasa ini sungguh-sungguh sangat dilibatkan dalam kepribadian Jawa, tidak kalah pentingnya dengan pikiran, sehingga ia sangat berperan untuk melihat laku dan perilaku orang Jawa secara umum. Seseorang bisa disebut sebagai sudah dewasa ketika ia mampu mengendalikan dan menghadikan rasa dalam berkomunikasi dengan orang lain, dalam mengungkapkan dirinya dan dalam komunikasi dengan Gusti Allah, sebagai Rasa Sejati. Tak heran bila ada frasa yang cukup populer bagi orang Jawa, yakni “… yen tak rasak-rasakke..”, sebagai alternatif dari frasa “…yen tak pikir-pikir…”—yang lebih berorientasi pada aspek logika saja. Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) juga memberi penegasan bahwa “makin halus rasa seseorang, makin mendalam pengertiannya, makin luhur sikap moralnya, dan indah segi luarnya”. Dugaan-dugaan atas dunia batin orang Jawa inilah yang kemudian dikorelasikan oleh realitas pada hasil proses penghalusan dunia lahir seperti tarian klasik, music gamelan, tembang macapat, batik dan lainnya. Itu semua adalah artifak penting yang lahir dari dunia batin orang Jawa dengan kepemilikan atas rasa yang telah mendewasakan mereka. Dan rasa itu merupakan hasil dari upaya “lelaku”.
***
Ada sepuluhan karya lukis Astuti Kusumo yang menggambarkan gunung. Bagi orang Jawa seperti Astuti, citra gunung memiliki makna yang mendalam. Kerajaan Mataram Hindhu dulu hidup di sekitar gunung Merapi, membangun peradaban dan kebudayaannya bersama gunung. Ketika terdesak, mereka lari ke arah timur, dan lalu berdiam di kawasan pegunungan Tenggerlah. Atau sebagian lagi berpindah ke pulau Bali dan menjadikan gunung Agung sebagai bagian penting dari perikehidupan spiritualnya. Demikian pula dengan kerajaan Mataram Islam, posisi gunung Merapi menduduki garis penting dalam laku spiritual para pendirinya, dan diyakini sebagai satu kesatuan alam yang tak bisa diceraikan sebagaimana posisi laut atau segara kidul di sisi selatan.
Ketika Mataram Islam telah pecah dan salah satunya menjadi Ngayogyakarta Hadiningrat, kini, keberadaan gunung (Merapi) juga masih menjadi situs penting. Gunung Merapi yang merupakan gunung berapi paling aktif di dunia, dan tentu membahayakan bagi manusia ketika terjadi eksplosi, ternyata ta menyurutkan jutaan manusia di sekitarnya untk beranjak pergi. Kawasan sekitar gunung Merapi justru teramat subur dengan perkembangan peradaban dan kebudayaannya. Tidak sekadar tumbuh merayap namun senantiasa terjadi dinamika di sana. Gunung ternyata menjadi energi positif yang bisa berdiam bersama manusia, apalagi ketika manusia mampu menghormatinya. Itulah yang terjadi kenapa kemudian sesepuh penjaga Merapi, dulu, menyebut Merapi sebagai “kiai”—sebutan yang memuliakan sesosok apappun, termasuk gunung.
Dalam dunia pewayangan—salah satu pencapaian kultural masyarakat Jawa—representasi atas gunung digambarkan lewat bentuk gunungan. Secara visual, dalam gunungan terdapat banyak secara figur satwa dan flora yang semuanya mewakili banyak perikehidupan alam. Gunungan sangat penting kehadirannya karena dia selalu muncul pada awal (bedhol kayon) dan ujung dari cerita wayang (tancep kayon). Gunungan juga dihadirkan sebagai pembatas antaradegan, sekaligus untuk penggambar(an) situasi seperti datangnya hujan, badai, air, hingga mewakili daya kesaktian tokoh tertentu. Dengan demikian gunungan dalam wayang begitu vital untuk menghidupkan narasi pada wayang, kisah dalam kehidupan.
Astuti, yang mengkreasi banyak karya berwujud gunung ini pantas untuk diapresiasi lebih jauh. Dia menyatakan bahwa: “Gunung-gunung merupakan anganku, yaitu tercapainya titik yang tertinggi, juga sebagai instrumen dalam rangka mengintropeksi diri, dalam hal ini gunung ibarat hati, ketinggian gunung tak ada yang bisa menandingi. Di kala Sang Ego sedang melanda manusia, seperti kemarahan luapan emosi atau apapun bentuk perilaku negatif, akan menghancurkan manusia itu sendiri.”
Lebih jauh seniman ini membilang bahwa “Beberapa makhluk adalah jiwaku juga raos-ku sendiri yang kadang tidak stabil, kadang juga belum pernah kujumpai. Warna kesempurnaan pun sedang kucari melalui instrumen raos-ku. Aku tetap luru raos lewat kawruh dan luru kawruh tentang dunia, alam dan kehidupan melalui raos-ku.” Bahkan problem ini dikaitkan lebih jauh dengan relasinya pada anak-anak atau dengan sosok ibu: “Dalam karyaku yang lain aku luru spirit perjuangan wanita pun ketika saat kutemui sosok wanita, yaitu ibuku, kucoba raos-ku membaca raos ibu karena aku juga seorang ibu yang harus memberi raos kepada anak-anakku.”
Pameran tunggal yang pertama bagi Astuti ini, merupakan momentum sekaligus pencapaian yang penting, monumental, layak untuk ditegaskan dengan statemen yang menguatkan makna berkeseniannya. Astuti menyatakan bahwa “Momentum tanggal 21 April 2017 ini, aku mencoba membaca sosok wanita melalui raos, dengan spirit perjuangannya. Dan dengan lukisan ini pula ingin kubeberkan raos: raos angan, raos sedih, raos gembira/suka maupun raos kegelisahan. Semoga raos-ku bisa kubaca sendiri sebagai refleksi atas hidupku. Kucoba juga temui Gusti melalui raos.”
Selamat datang di medan seni rupa (Yogyakarta), Astuti! Siaplah masuk dalam ruang pertarungan yang penuh kompleksitas. Ada banyak pujian yang tulus, ada pula yang bisa menyungkurkanmu. Ada kritik yang menyehatkan laju kreativitasmu, ada pula yang membuatmu gagu tak mampu mengisi relung daya ciptamu. Ada peluk erat yang lalu membetahkanmu, ada pula pelukan sayang namun membuatmu bisa terjengkang. Maka, selamat pula untuk mengelola sensivitasmu! Salam! ***
Kuss Indarto, penulis seni rupa, tinggal di Yogyakarta.