Museum RA Kartini
26 Maret lalu, saya dan keluarga berkunjung ke pendapa kabupaten Rembang, Jawa Tengah yang sekarang menjadi Museum RA Kartini. Sisa keanggunan bangunan tersebut masih terasa kuat. Tapi saya merasakan kalau perawatan gedung dan sekitarnya belum optimal meski pasti sudah serius pembenahannya.
Di ruang kediaman di belakang pendapa itulah ruang utama Museum RA Kartini. Pengunjung dikenakan retribusi Rp 2.000,- (dua ribu rupiah). Sama dengan biaya parkir mobil di kota-kota di Indonesia. Bagi saya ini terlalu murah, dan secara pelahan tidak membangun "budaya bermuseum" bagi masyarakat. Menurut saya retribusi setidaknya antara Rp 7.500 s/d Rp 10.000 TAPI pengunjung diberi booklet perihal isi museum. Booklet bisa antara 8-20 halaman berisi kilasan narasi dan sejarah ihwal RA Kartini dan museum itu sendiri. Disain booklet yang bagus, dan dicetak full colour akan lebih baik.
Begitu masuk museum, atmosfir seram cukup menyergap dalam perasaan saya. Bukan karena bangunan yang tua, namun karena lampu penerang yang terlalu minimal, bahkan ada satu dua lampu mati. Pada ruang tertentu malah lampu tidak dinyalakan oleh petugas, padahal saya masuk ke museum masih jam buka museum. Saya harus menyalakan sendiri lampunya.
Kesan seram saya kira perlu dikurangi dengan penataan cahaya yang lebih memadai. Kualitas lampu perlu dipertimbangkan untuk menggunakan yang lebih baik. Pengunjung datang ke museum tentu tidak berkeinginan untuk melakukan uji nyali dan siapa tahu berbonus melihat penampakan hantu. Bukan. Tapi datang ke museum ya mencoba merawat ingatan, energi dan spirit masa lalu untuk pijakan pengetahuan masa kini dan ke depan.
Belum lagi dengan pendisplaian berbagai artifak yang ada. Ada panel-panel berisi foto-foto yang muatan sejarah tentang RA Kartini dan keluarga. Ini perlu dipikirkan ulang tentang, misalnya, menekankan sosok ke-Kartini-annya yang lebih eksploratif. Sudah bagus, namun perlu juga digali kenapa Kartini studi ke Belanda, lalu apa jasa Haji Agus Salim terhadap keberangkatan Kartini ke Negeri Kincir Angin tersebut, dan lainnya. Masih banyak bisa digali.
Ya, museum ini adalah cerminan dari semua museum di Indonesia (yang dikelola oleh negara): serba minimal.