Garuda Journey: Menguji Kepekaan, Menakar Kesetiaan




SECARA historis, perjalanan seni rupa Indonesia banyak berhimpitan dengan konteks sosial politik yang tengah terjadi di sekitarnya. Ini dapat dibaca dan disimak dari artifak karya seni yang ada dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Kalau kita bersepakat bahwa seni rupa modern Indonesia bertitik pijak dari munculnya seniman Raden Saleh Sjarief Boestaman (1811-1880), dari sanalah kita bisa menemukan sekian banyak karya seniman asal Terboyo, Semarang ini yang menyoal tentang dunia keterkaitan karya seni rupa dan konteksnya dengan kondisi sosial politik yang terjadi (waktu itu). Kita bisa melihat, misalnya, karya puncak Raden Saleh, “Penangkapan Diponegoro” (1857). Karya ini menjadi antitesis terhadap karya Nicolaas Pieneman yang dibuat 22 tahun sebelumnya, bertajuk “Penaklukan Diponegoro” (1835). Karya Raden Saleh tersebut oleh banyak kalangan disebut menjadi masterpiece dari seluruh karya yang pernah diciptakannya karena secara substansial memuat gagasan dan persoalan yang kuat. Karya itu bukan saja sebagai lukisan, namun juga sebagai sebuah perlawanan kultural dari seorang anak jajahan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang telah menjajah selama berabad-abad.

Dalam perjalanan sejarah seni rupa berikutnya, tak pelak, kita akan menyaksikan rentetan catatan yang setara dengan apa yang dilakukan oleh Raden Saleh, meski dengan gradasi dan perspektif yang berbeda. Pada masa perjuangan kemerdekaan, banyak seniman Hindia Belanda (sebelum bernama Indonesia) yang turut memberi kontribusi atas perjuangan bangsanya lewat karya seni. Mereka yang tergabung dalam Persagi (Persatoean Achlie Gambar Indonesia) atau di luar organisasi tersebut banyak menghasilkan karya-karya seni rupa yang memiliki bobot perjuangan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Ada Affandi, S.Soedjojono, Hendra Gunawan, Emiria Soenasa, dan sekian banyak nama lain yang terlibat dalam gerak perjuangan lewat karya seni.

Pada kurun waktu berikutnya, setelah Indonesia merdeka, kepekaan banyak seniman Indonesia terhadap segenap persoalan di lingkungannya diungkapkan kembali lewat karya seni. Bentuk ungkap lewat ekspresi seni rupa itu beragam modus dan motivasinya. Ada yang secara tegas memotret sisi-sisi yang bersahaja namun menghadirkan kondisi yang memprihatinkan dari kondisi Indonesia di awal kemerdekaan. Banyak seniman dari sanggar Pelukis Rakyat yang secara kritis mempresentasikan keadaan sosial politik Indonesia senyatanya. Pun dengan kelompok atau komunitas lain, seperti Lekra, dan sebagainya. Tentu saja ada pula sekelompok seniman yang memiliki perspektif sendiri dalam berkarya seni, yang dianggap tidak memiliki sensibilitas sosial sehingga karyanya terasa turistik, cosmetically, dan hanya mengeksploitasi dimensi keindahan semata. Pada masa menjelang kemerdekaan Indonesia, karya seniman yang yang masuk dalam kategori demikian diasumsikan dengan olok-olok sebagai karya “mooi indie” atau Indie (Indonesia) yang molek, yang hanya memotret sisi kecantikan alam Indonesia saja.

Demikian seterusnya. Pada kurun dasawarsa 1970-an ada “geger” Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia yang salah satu intinya adalah menghasratkan karya seni rupa bisa dijadikan perangkat penting untuk mengemukakan substansi persoalan yang bertalian dengan geliat dan dinamika kehidupan sosial politik. Spirit pencarian estetik dan artistik pun juga dieksplorasi lebih jauh dan radikal pada masa itu. Dan itu memberi sumbangan penting bagi perjalanan kreatif dunia seni rupa Indonesia.

PAMERAN “Garuda Journey” ini berupaya untuk mengingatkan kembali kepada publik bahwa salah satu substansi penting dari kehadiran karya seni rupa adalah problem sensibilitasnya dalam meneropong gejala dan dinamika sosial yang tengah terjadi di lingkungan sekitarnya. Bagi sementara seniman, juga yang ada dalam pameran ini, desakan untuk mengekspresikan tema-tema sosial politik dalam karya seni tampaknya keluar dari problem internal dan eksternal. Problem internal karena dari dalam diri seniman seperti memiliki antena yang memantau dan memberi sinyal kreatif ketika menyaksikan kondisi sosial di luar dirinya dianggap bermasalah. Problem eksternal karena kondisi dan situasi pada realitas sosial yang ada memang bermasalah dan tepat untuk dijadikan subyek kreatif bagi karya seni.

Subtema “Menakar Cinta Terhadap NKRI” memberi penegasan atas tema “Garuda Journey” bahwa tampaknya ada persoalan yang mesti dikemukakan. Garuda, kita tahu, menjadi simbol negara setelah “komunitas yang terbayang” ini (imagined community, meminjam istilah Indonesianis Ben Anderson) bersepakat menyatu dengan identitas bersama bernama Indonesia. Tak mudah menyatukan ratusan suku dengan sekian ratus dialek bahasa yang berbeda yang dimiliki oleh (kini) sekitar 260 juta manusia. Secara geografis pun tak terbayangkan bisa memiliki rasa yang sama sebagai satu komunitas. Ini berbeda dengan, misalnya, India, Rusia atau China yang jauh lebih banyak populasinya, namun secara geografis terkumpul dalam satu kontinen yang menyatu. Tantangan dan potensi untuk pecah jauh lebih besar bila melihat fakta geografis yang ada di Indonesia. Namun nyatanya hingga masuk ke dasawarsa 70 usia Republik Indonesia, keutuhan wilayah masih terjaga—kecuali Timor Timur yang “hilir mudik” masuk menjadi bagian dari Indonesia tahun 1975, dan memisahkan diri menjadi Negara Timor Leste tahun 1999. Berbeda dengan Rusia yang 30 tahun lalu masih bernama Uni Sovyet dan lalu buyar berkeping-keping menjadi puluhan Negara kecil dengan Rusia sebagai negara paling besar wilayah geografisnya. Pun dengan India yang setelah merdeka dari Inggris, tak lama kemudian ada bagian dari “tubuhnya” yang memisahkan diri menjadi Pakistan dan Bangladesh.

Indonesia masih utuh. Namun di era teknologi informasi yang luar biasa cepat perkembangannya seperti sekarang ini memiliki tantangan tersendiri. Ada gelagat gerakan trans-nasional yang menggerakkan sentimen agama sebagai potensi untuk mengeroposkan sendi bahkan tulang punggung kesatuan Indonesia. Ada kemajuan teknologi internet yang bisa menjadi pisau bermata dua yang positif dan negatif bahkan fatalistik.

Ini semua merupakan hal yang tengah dicermati sebagai subyek pameran seni rupa. Pada titik ini pameran “Garuda Journey” seperti sedang (1) melakukan rememorasi atau memberi pengingatan ulang tentang simbol pemersatu, dan (2) memetakan dan mengagendakan persoalan tentang kekayaan kosa simbol pemersatu Indonesia berikut implementasinya dalam konteks ekspresi seni rupa kekinian. ***

Kuss Indarto, kurator seni rupa.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?