“Jasmerah”: Kesaksian dan Interpretasi
Sebuah karya Agoes Djaja, koleksi Nasirun.
Oleh Kuss Indarto
PAMERAN seni rupa “Jasmerah” ini memuat banyak makna. Pertama, ditinjau dari materi karya dan substansinya, sedikit banyak memuat potongan peristiwa yang bertalian dengan sejarah tertentu. Entah itu sejarah perjuangan bangsa, sejarah sosial sebuah kawasan, sejarah personal dan komunal, dan lainnya. Pada konteks ini, artifak dan konten karya seni bisa dibaca sebagai perangkat dokumentasi, juga sebagai sebuah kemungkinan alternatif “alat baca sejarah” di luar bentuk artifak sejarah yang lain dan mainstream.
Kedua, pameran ini menyadarkan kembali kepada publik seni rupa akan betapa pentingnya sebuah dokumentasi. Dokumentasi tak bisa dilihat sebagai sekumpulan benda-benda lawas, lama dan mungkin kuno, namun sebagai segepok sejarah yang bisa dihidupkan kembali untuk membaca gerak peradaban dan kebudayaan pada kurun waktu jauh di belakang. Ketiga, pameran “Jasmerah” juga mengingatkan kembali pentingnya budaya pengkoleksian karya seni. Ini sebuah hobi, passion, hasrat yang belum banyak dilakukan oleh banyak orang, termasuk dalam dunia seni rupa, ketika seorang seniman menjadi kolektor karya seni rupa. Nasirun dengan kepemilikan hasrat dan modal mampu melakukannya hingga mengoleksi sekian banyak karya seni yang tak ternilai bobot sejarahnya.
Mengurai kembali poin pertama di atas, materi karya seni rupa yang berkaitan dengan sejarah dapat dicermati dalam beberapa hal. Antara lain, seniman menjadikan karya seni itu sebagai alat perekam peristiwa, sebagai saksi, dan bisa juga sebagai perangkat opini dengan segala interpretasinya. Dalam karya klasiknya The Interpretation of Culture (1973), antropolog Clifford Geertz mengatakan bahwa interpretasi adalah cara seseorang untuk memberi makna pada dunia di sekelilingnya. Dalam kajian antropologi dapat dinyatakan bahwa interpretasi selalu menjadi bagian dari praktik kebudayaan, dan setiap praktik kebudayaan adalah kegiatan sosial yang melibatkan relasi antara dua orang atau lebih. Makna tentang sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu ruang waktu dan tempat yang khusus merupakan negosiasi antara berbagai macam kemungkinan interpretatif yang dilakukan oleh aktor sosial.
Keterangan Geertz tersebut seperti mengonfirmasi posisi seniman dan karyanya yang pada sebagian karyanya—seperti yang terpapar dalam pameran ini—mengindikasikan ke arah itu. Seniman menjadi saksi atas sebagian peristiwa sosial dan kemudian lewat karyanya melakukan interpretasi atas persitiwa tersebut. Ada banyak sekali seniman yang melakukan hal itu, dan sebagian karyanya ada dalam pameran “Jasmerah” ini.
Penangkapan Diponegoro
SALAH satu karya yang secara kuat terindikasi melakukan upaya interpretasi itu adalah pada sebuah sketsa menarik. Sketsa itu dibuat dengan perspektif, kalkulasi, dan komposisi yang begitu terukur. Raden Saleh Sjarief Boestaman membuat sketsa tersebut dari pensil dengan medium kertas berukuran 24 x 31,5 cm. Tidak jelas persisnya tanggal dan bulan pembuatan sketsa itu. Tapi dipastikan pada tahun 1857, sama persis dengan tahun pembuatan karya lukisan yang menjadi karya puncak Raden Saleh: “Penangkapan Diponegoro”. Sketsa itu memang sebuah rancangan karya untuk lukisan “Penangkapan Diponegoro”.
Lukisan tersebut secara umum menggambarkan pemandangan sebuah peristiwa dramatis, yakni penangkapan oleh Kapten de Kock yang mewakili pemerintah Hindia yang menimpa diri Pangeran Diponegoro. Ada satu-dua perbedaan antara sketsa sebagai rancangan lukisan dengan lukisan yang akhirnya dibuat oleh seniman keturunan Arab kelahiran Terboyo, Semarang tahun 1911 tersebut. Pada sketsa terlihat ada sosok perempuan yang bersimpuh di kaki kiri Diponegoro. Namun dalam lukisan posisi perempuan itu berpindah di kaki kanan Diponegoro. Saya menduga ini bagian dari upaya menyempurnakan aspek “dramaturgi” dari lukisan tersebut. Kalau perempuan itu berada di kaki kiri seperi dalam sketsa, maka adegan dramatis antara Pangeran Diponegoro dan Kapten de Kock pasti terkurangi karena keberadaan sosok perempuan di antara dua lelaki yang tengah bersitegang.
Karya sketsa dan lukisan “Penangkapan Diponegoro” ini—menurut analisis kurator Werner Krauss dalam Raden Saleh, Awal Seni Lukis Modern Indonesia (2012)—memiliki acuan pada lukisan karya Louis Gallait yang bertajuk “Pengunduran Diri Kaisar Charles V Demi Putranya Philippe II Menuju Brussel pada 25 Oktober 1555”. Hal yang diacu oleh Raden Saleh itu berdampak pada kemiripannya, terutama menyangkut susunan lukisan diagonal yang meningkat bertahap, pada kelompok orang di sebelah kanan dan kiri garis diagonal, pada pembukaan peristiwa dramatis di kanan atas dan—ini yang paling penting—berdasarkan spirit lukisan Gallait. Seperti hanya semangat kebangkitan nasional yang digambarkan pada lukisan Belgia tersebut, Raden Saleh juga menggambarkan kemarahan terhadap pengkhianatan Belanda.
Dalam konteks laku kreatif sekarang ini, karya sketsa Raden Saleh bisa menjadi contoh menarik tentang metode atau metodologi kerja kreatif yang melewati tahapan yang tidak sederhana. Saleh terlihat sangat serius menyiapkan sebuah sketsa dengan pertimbangan visual berikut ukuran-ukuran yang sangat rigid, penuh kalkulatif, dan penuh detail. Dewasa ini, kerja kreatif Raden Saleh berikut pembuatan sketsa atau rancangan kerja ini sudah tidak banyak dilakukan lagi oleh seniman. Mereka ada yang lebih mengedepankan kerja penuh spontanitas yang penuh surprised. Mungkin ada yang melakukan hal tersebut, namun modus dan caranya berbeda. Mungkin memanfaatkan bantuan teknis perangkat teknologi.
Koleksi Karya, Koleksi Cerita
SEKUMPULAN karya dalam pameran ini hanya sebagian kecil dari segunduk koleksi karya seni Nasirun yang dikumpulkan sekian tahun. Di balik karya-karya tersebut, ada sekian banyak narasi, atau kisah yang menggelayuti dan memiliki titik relevansi dengan beragam hal, banyak orang, komunitas, kelompok, atau generasi tertentu. Ada yang bisa dikuak dan dibagi sebagai kisah yang menarik dan layak ditimba sebagai sumber pengalaman dan pengetahuan. Ada pula yang terpaksa off the record, tak layak untuk disebarluaskan, karena menyangkut problem yang mesti dirahasiakan, menjadi wadi atau pamali bagi sebagian yang lain, dan sebagainya.
Seperti kisah sketsa karya Raden Saleh yang seperti “datang sendiri” ke rumahnya, yakni ketika sang kurator pameran tunggal Raden Saleh, Werner Krauss yang berkunjung ke rumah Nasirun khusus untuk mengantarkan sktesa penuh sejarah itu. Itu terjadi setelah Werner Krauss selesai menghelat pameran tunggal dalam kerangka peringatan 200 tahun lahirnya Raden Saleh yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, tahun 2011.
Ada pula kisah tentang karya-karya (almarhum) Ahmad Sadali, seorang pelukis abstrak asal Bandung yang namanya kini menyejarah. Nasirun mengaku seperti mendapatkan durian runtuh ketika pada suatu waktu ditelepon oleh seseorang yang merasa simpatik dengan Nasirun karena telah sanggup menghibahkan sebagian dananya untuk mengoleksi karya seni—termasuk seniman yang tidak cukup mendapatkan nama terhormat dalam panggung seni rupa Indonesia. Kisah berlanjut dengan manis ketika orang yang menelpon dan telah sekian tahun tinggal di New Zealand itu kemudian menghibahkan sekian banyak karya Ahmad Sadali. Sebuah hal yang luar biasa bagi Nasirun, tentu juga bagi potongan sejarah seni rupa Indonesia.
Dalam prosesnya, pameran ini juga berpotensi menguak narasi-narasi kecil dan tersembunyi yang layak untuk dibuka lebar-lebar sebagai perca informasi untuk kepentingan sejarah seni rupa di Indonesia. Misalnya, tentang karya patung Gatot Subroto. Dalam pameran ini ada replika patung Jenderal Gatot Subroto tersebut. Replika tersebut adalah “rancangan” yang kemudian betul-betul dibuat sebagai patung berukuran besar dan diletakkan di pertigaan Berkoh, di depan Rumah Sakit Margono, kota Purwokerto. Awalnya, saya meyakini bahwa patung itu karya seniman lulusan ITB yang juga kelahiran Kober, Purwokerto, yakni Sunaryo. Namun beberapa seniman lain menolak keyakinan saya itu, dan menyebut bahwa Sunarto PR (almarhumlah) yang membuat patung itu. Kemudian saya berinisiatif mengontak pak Sunaryo yang juga pemilik ruang seni Selasar Sunaryo untuk mempertanyakan duduk persoalan tersebut.
Lewat pesan Whatsapp saya mendapatkan jawaban yang jernih dan bijak: “Halo.. mas Indarto yg aik, Sejak menjadi mahasiswa SR sy bercita cita bikin patung (monumen) sosok tokoh Banyumas, putera daerah. Dan pak Bupati (waktu itu bupati Rudjito. ~ kuss) pas menunjuk saya untuk bikin patung pak Gatot. Segera kubuat konsep dan modelnya sekaligus. Serta merta bupati setuju, dan kutentukan lokasinya di Berkoh. Kubuat maket dgn usul jalan yang dilebarkan (skala urban). Waktu itu jalan yang menghubungkan Purwokerto-Sokaraja teramat sempit… shg akan lebih teras dignity pak Gatot di simpang 3 jalan yang dilebarkan cukup besar itu. Dan ini kutekankan ke pak Bupati sbg syaratnya. Krn dana tidak cukup tersedia, saya 2x diminta pak Bupati untuk presentasi dlm rangka fundrising di depan public pengusaha di pendipo kabupaten Purwokerto. Setelah goal kuminta bantuan pak Narto (Sunarto PR) sg kebanggaan rekan putra daerah untuk bikin skala 1:1 sesuai yang kubayangkan. Prosesnya di Kebonjeruk, Jkt, di pak Narto. Krn sy tahu dan percaya pada mas Narto, sy cuma 2 x meng asistensi pelaksanaannya, antara lain: gesture, teksture, proporsinya.. Kerjasama sangat baik. Mas Narto pun sangat proaktifsering ke Bandung. Dan begitu selesai kumintakan mas Gardono ngecor perunggu, installationnya pun beberapa hr kutungguin di lokasi untuk menentukan posisi/arahnya. Dan di bawah sempat kutulis pematung: Sunaryo bersama tim Sunarto PR. Semoga penjelasan ini jelas ya. Matur nuwun. Salam.”
Pesan dari pak Sunaryo itu kiranya bagian dari narasi kecil yang mungkin selama ini kita abai untuk hal-hal yang akan bermasalah di kemudian hari. Ini bukan hanya menyangkut masalah karya patung pak Sunaryo atau pak Sunarto PR, namun juga menyoal pada narasi sejarah lain yang masih bejibun tenggelam dalam rasa lupa dan abai kita akan pentingnya sejarah, pendokumentasian, dan tradisi pengkoleksian karya seni yang relatif masih sangat miskin. Apa akan terus dibiarkan seperti ini? ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa.
Oleh Kuss Indarto
PAMERAN seni rupa “Jasmerah” ini memuat banyak makna. Pertama, ditinjau dari materi karya dan substansinya, sedikit banyak memuat potongan peristiwa yang bertalian dengan sejarah tertentu. Entah itu sejarah perjuangan bangsa, sejarah sosial sebuah kawasan, sejarah personal dan komunal, dan lainnya. Pada konteks ini, artifak dan konten karya seni bisa dibaca sebagai perangkat dokumentasi, juga sebagai sebuah kemungkinan alternatif “alat baca sejarah” di luar bentuk artifak sejarah yang lain dan mainstream.
Kedua, pameran ini menyadarkan kembali kepada publik seni rupa akan betapa pentingnya sebuah dokumentasi. Dokumentasi tak bisa dilihat sebagai sekumpulan benda-benda lawas, lama dan mungkin kuno, namun sebagai segepok sejarah yang bisa dihidupkan kembali untuk membaca gerak peradaban dan kebudayaan pada kurun waktu jauh di belakang. Ketiga, pameran “Jasmerah” juga mengingatkan kembali pentingnya budaya pengkoleksian karya seni. Ini sebuah hobi, passion, hasrat yang belum banyak dilakukan oleh banyak orang, termasuk dalam dunia seni rupa, ketika seorang seniman menjadi kolektor karya seni rupa. Nasirun dengan kepemilikan hasrat dan modal mampu melakukannya hingga mengoleksi sekian banyak karya seni yang tak ternilai bobot sejarahnya.
Mengurai kembali poin pertama di atas, materi karya seni rupa yang berkaitan dengan sejarah dapat dicermati dalam beberapa hal. Antara lain, seniman menjadikan karya seni itu sebagai alat perekam peristiwa, sebagai saksi, dan bisa juga sebagai perangkat opini dengan segala interpretasinya. Dalam karya klasiknya The Interpretation of Culture (1973), antropolog Clifford Geertz mengatakan bahwa interpretasi adalah cara seseorang untuk memberi makna pada dunia di sekelilingnya. Dalam kajian antropologi dapat dinyatakan bahwa interpretasi selalu menjadi bagian dari praktik kebudayaan, dan setiap praktik kebudayaan adalah kegiatan sosial yang melibatkan relasi antara dua orang atau lebih. Makna tentang sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu ruang waktu dan tempat yang khusus merupakan negosiasi antara berbagai macam kemungkinan interpretatif yang dilakukan oleh aktor sosial.
Keterangan Geertz tersebut seperti mengonfirmasi posisi seniman dan karyanya yang pada sebagian karyanya—seperti yang terpapar dalam pameran ini—mengindikasikan ke arah itu. Seniman menjadi saksi atas sebagian peristiwa sosial dan kemudian lewat karyanya melakukan interpretasi atas persitiwa tersebut. Ada banyak sekali seniman yang melakukan hal itu, dan sebagian karyanya ada dalam pameran “Jasmerah” ini.
Penangkapan Diponegoro
SALAH satu karya yang secara kuat terindikasi melakukan upaya interpretasi itu adalah pada sebuah sketsa menarik. Sketsa itu dibuat dengan perspektif, kalkulasi, dan komposisi yang begitu terukur. Raden Saleh Sjarief Boestaman membuat sketsa tersebut dari pensil dengan medium kertas berukuran 24 x 31,5 cm. Tidak jelas persisnya tanggal dan bulan pembuatan sketsa itu. Tapi dipastikan pada tahun 1857, sama persis dengan tahun pembuatan karya lukisan yang menjadi karya puncak Raden Saleh: “Penangkapan Diponegoro”. Sketsa itu memang sebuah rancangan karya untuk lukisan “Penangkapan Diponegoro”.
Lukisan tersebut secara umum menggambarkan pemandangan sebuah peristiwa dramatis, yakni penangkapan oleh Kapten de Kock yang mewakili pemerintah Hindia yang menimpa diri Pangeran Diponegoro. Ada satu-dua perbedaan antara sketsa sebagai rancangan lukisan dengan lukisan yang akhirnya dibuat oleh seniman keturunan Arab kelahiran Terboyo, Semarang tahun 1911 tersebut. Pada sketsa terlihat ada sosok perempuan yang bersimpuh di kaki kiri Diponegoro. Namun dalam lukisan posisi perempuan itu berpindah di kaki kanan Diponegoro. Saya menduga ini bagian dari upaya menyempurnakan aspek “dramaturgi” dari lukisan tersebut. Kalau perempuan itu berada di kaki kiri seperi dalam sketsa, maka adegan dramatis antara Pangeran Diponegoro dan Kapten de Kock pasti terkurangi karena keberadaan sosok perempuan di antara dua lelaki yang tengah bersitegang.
Karya sketsa dan lukisan “Penangkapan Diponegoro” ini—menurut analisis kurator Werner Krauss dalam Raden Saleh, Awal Seni Lukis Modern Indonesia (2012)—memiliki acuan pada lukisan karya Louis Gallait yang bertajuk “Pengunduran Diri Kaisar Charles V Demi Putranya Philippe II Menuju Brussel pada 25 Oktober 1555”. Hal yang diacu oleh Raden Saleh itu berdampak pada kemiripannya, terutama menyangkut susunan lukisan diagonal yang meningkat bertahap, pada kelompok orang di sebelah kanan dan kiri garis diagonal, pada pembukaan peristiwa dramatis di kanan atas dan—ini yang paling penting—berdasarkan spirit lukisan Gallait. Seperti hanya semangat kebangkitan nasional yang digambarkan pada lukisan Belgia tersebut, Raden Saleh juga menggambarkan kemarahan terhadap pengkhianatan Belanda.
Dalam konteks laku kreatif sekarang ini, karya sketsa Raden Saleh bisa menjadi contoh menarik tentang metode atau metodologi kerja kreatif yang melewati tahapan yang tidak sederhana. Saleh terlihat sangat serius menyiapkan sebuah sketsa dengan pertimbangan visual berikut ukuran-ukuran yang sangat rigid, penuh kalkulatif, dan penuh detail. Dewasa ini, kerja kreatif Raden Saleh berikut pembuatan sketsa atau rancangan kerja ini sudah tidak banyak dilakukan lagi oleh seniman. Mereka ada yang lebih mengedepankan kerja penuh spontanitas yang penuh surprised. Mungkin ada yang melakukan hal tersebut, namun modus dan caranya berbeda. Mungkin memanfaatkan bantuan teknis perangkat teknologi.
Koleksi Karya, Koleksi Cerita
SEKUMPULAN karya dalam pameran ini hanya sebagian kecil dari segunduk koleksi karya seni Nasirun yang dikumpulkan sekian tahun. Di balik karya-karya tersebut, ada sekian banyak narasi, atau kisah yang menggelayuti dan memiliki titik relevansi dengan beragam hal, banyak orang, komunitas, kelompok, atau generasi tertentu. Ada yang bisa dikuak dan dibagi sebagai kisah yang menarik dan layak ditimba sebagai sumber pengalaman dan pengetahuan. Ada pula yang terpaksa off the record, tak layak untuk disebarluaskan, karena menyangkut problem yang mesti dirahasiakan, menjadi wadi atau pamali bagi sebagian yang lain, dan sebagainya.
Seperti kisah sketsa karya Raden Saleh yang seperti “datang sendiri” ke rumahnya, yakni ketika sang kurator pameran tunggal Raden Saleh, Werner Krauss yang berkunjung ke rumah Nasirun khusus untuk mengantarkan sktesa penuh sejarah itu. Itu terjadi setelah Werner Krauss selesai menghelat pameran tunggal dalam kerangka peringatan 200 tahun lahirnya Raden Saleh yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, tahun 2011.
Ada pula kisah tentang karya-karya (almarhum) Ahmad Sadali, seorang pelukis abstrak asal Bandung yang namanya kini menyejarah. Nasirun mengaku seperti mendapatkan durian runtuh ketika pada suatu waktu ditelepon oleh seseorang yang merasa simpatik dengan Nasirun karena telah sanggup menghibahkan sebagian dananya untuk mengoleksi karya seni—termasuk seniman yang tidak cukup mendapatkan nama terhormat dalam panggung seni rupa Indonesia. Kisah berlanjut dengan manis ketika orang yang menelpon dan telah sekian tahun tinggal di New Zealand itu kemudian menghibahkan sekian banyak karya Ahmad Sadali. Sebuah hal yang luar biasa bagi Nasirun, tentu juga bagi potongan sejarah seni rupa Indonesia.
Dalam prosesnya, pameran ini juga berpotensi menguak narasi-narasi kecil dan tersembunyi yang layak untuk dibuka lebar-lebar sebagai perca informasi untuk kepentingan sejarah seni rupa di Indonesia. Misalnya, tentang karya patung Gatot Subroto. Dalam pameran ini ada replika patung Jenderal Gatot Subroto tersebut. Replika tersebut adalah “rancangan” yang kemudian betul-betul dibuat sebagai patung berukuran besar dan diletakkan di pertigaan Berkoh, di depan Rumah Sakit Margono, kota Purwokerto. Awalnya, saya meyakini bahwa patung itu karya seniman lulusan ITB yang juga kelahiran Kober, Purwokerto, yakni Sunaryo. Namun beberapa seniman lain menolak keyakinan saya itu, dan menyebut bahwa Sunarto PR (almarhumlah) yang membuat patung itu. Kemudian saya berinisiatif mengontak pak Sunaryo yang juga pemilik ruang seni Selasar Sunaryo untuk mempertanyakan duduk persoalan tersebut.
Lewat pesan Whatsapp saya mendapatkan jawaban yang jernih dan bijak: “Halo.. mas Indarto yg aik, Sejak menjadi mahasiswa SR sy bercita cita bikin patung (monumen) sosok tokoh Banyumas, putera daerah. Dan pak Bupati (waktu itu bupati Rudjito. ~ kuss) pas menunjuk saya untuk bikin patung pak Gatot. Segera kubuat konsep dan modelnya sekaligus. Serta merta bupati setuju, dan kutentukan lokasinya di Berkoh. Kubuat maket dgn usul jalan yang dilebarkan (skala urban). Waktu itu jalan yang menghubungkan Purwokerto-Sokaraja teramat sempit… shg akan lebih teras dignity pak Gatot di simpang 3 jalan yang dilebarkan cukup besar itu. Dan ini kutekankan ke pak Bupati sbg syaratnya. Krn dana tidak cukup tersedia, saya 2x diminta pak Bupati untuk presentasi dlm rangka fundrising di depan public pengusaha di pendipo kabupaten Purwokerto. Setelah goal kuminta bantuan pak Narto (Sunarto PR) sg kebanggaan rekan putra daerah untuk bikin skala 1:1 sesuai yang kubayangkan. Prosesnya di Kebonjeruk, Jkt, di pak Narto. Krn sy tahu dan percaya pada mas Narto, sy cuma 2 x meng asistensi pelaksanaannya, antara lain: gesture, teksture, proporsinya.. Kerjasama sangat baik. Mas Narto pun sangat proaktifsering ke Bandung. Dan begitu selesai kumintakan mas Gardono ngecor perunggu, installationnya pun beberapa hr kutungguin di lokasi untuk menentukan posisi/arahnya. Dan di bawah sempat kutulis pematung: Sunaryo bersama tim Sunarto PR. Semoga penjelasan ini jelas ya. Matur nuwun. Salam.”
Pesan dari pak Sunaryo itu kiranya bagian dari narasi kecil yang mungkin selama ini kita abai untuk hal-hal yang akan bermasalah di kemudian hari. Ini bukan hanya menyangkut masalah karya patung pak Sunaryo atau pak Sunarto PR, namun juga menyoal pada narasi sejarah lain yang masih bejibun tenggelam dalam rasa lupa dan abai kita akan pentingnya sejarah, pendokumentasian, dan tradisi pengkoleksian karya seni yang relatif masih sangat miskin. Apa akan terus dibiarkan seperti ini? ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa.