Ke Arah Mana Kita Nge-Shout Out!


Oleh Kuss Indarto
(Teks ini telah dimuat dalam buklet pameran "Shout Out" FKY 2007, sebelum dibikin katalog post-event)
1/
Yah, FKY lagi, FKY lagi!
Apa boleh buat, perhelatan pameran bertajuk kuratorial Shout Out! (Berteriaklah!) ini tergelar kembali. Sejumlah 36 nama seniman dan kelompok seniman (16 nama di dalamnya adalah undangan), siap “bertarung” beradu perhatian di depan publik seni rupa di Yogyakarta. Jelas bukan perkara mudah untuk menentukan dan memilih nama-nama yang akhirnya jadi peserta pameran ini. Sejarah kreatif mereka yang menjadi dasar pertimbangan, dan tentu saja progres kreatif terakhirlah yang kemudian mengerucutkan nama-nama yang ada dalam pameran ini. Sudah barang pasti, relativitas dan dugaan adanya unsur subyektivitas akan mewarnai reaksi publik terhadap hasil pemilihan dan seleksi ini. Ah, ini masalah wajar yang nyaris menjadi “hikayat” tersendiri dan senantiasa menyertai perhelatan yang menerapkan sistem seleksi. Di manapun di dunia!
Tapi bukan apa-apa kalau untuk sementara problem itu dilupakan, ketimbang kita menghamburkan waktu untuk mencereweti hal yang (bisa jadi) kurang produktif. So, sebenarnya ngapain lagi dengan FKY? Ke manakah arah pameran seni rupa FKY ini akan didorong?
Kalau dicermati, bisa jadi tema kuratorial FKY kali ini tak begitu spesifik. Yah, kata Shout Out masih berasa “netral” ketimbang kata Barcode atau Kotakatikotakita seperti yang ditawarkan sebagai tema kuratorial FKY tahun 2004 dan 2005. Namun sebenarnya dalam tema Shout Out dengan tegas dihasratkan sebagai forum bagi seniman muda di bawah 35 tahun untuk mengetengahkan berbagai eksperimentasi kreatif, terutama pada pencarian kemungkinan ragam medium ekspresi kreatif. Medium yang dipakai pun diangankan dipakai dengan landasan cara berpikir dan cara pandang berbeda ketimbang cara berpikir “linier” yang konservatif. Inilah forum yang dimungkinkan untuk meneriakkan (tema) apapun dengan cara (atau medium) apapun! Tidak mudah memang untuk mengaplikasikan gagasan seperti ini. Namun, dengan melihat banyak karya yang tereksposisi pada pameran ini, hasrat kami sebagai kurator untuk menampilkan karya yang penuh eksperimentasi sedikit banyak telah terpenuhi. Meski, terus terang, masih jauh dari 100 persen. Hehe, apa boleh buat! Semua metode, cara, modus atau apapun pasti punya risiko masing-masing.
Setidaknya, dengan pameran ini, kami mencoba memberi celah kemungkinan bahwa pameran seni rupa tidak selalu berarti pameran lukisan semata. Lalu, indikasi keberhasilan sebuah pameran seni rupa tidak mesti terindikasi dari seberapa banyak karya-karya dalam pameran tersebut berpindah tangan ke tangan kolektor dengan angka-angka (price) rupiah yang membubung. Modalitas kreatif yang dimiliki oleh seniman tak bisa dikerucutkan secara eksak (harus) bertukar nilai dengan modalitas kapital semata. Itulah “mitos-mitos” baru (atau sudah klasik ya?) yang coba digugat lewat perhelatan kali ini. Artinya, pameran ini tidak serta-merta mengetengahkan karya seni dengan paramater keindahan yang dipahami secara “konservatif” dan “konvensional”. “Keindahan” dalam seni pun tidak dimutlakkan sebagai sesuatu yang melekat dalam sebuah karya seni. Kita bisa meneropong lebih luas jangkauan karya seni ini sebagai sebuah karya (atau artefak) kebudayaan yang tidak sekadar dipertanyakan sebagai karya yang “indah atau tidak indah”, melainkan juga sebagai karya yang mau “berbicara dan berpihak kemana”. Lebih jauh, karya seni pun bisa diposisikan sebagai salah satu etalase dan “alat baca” bagi pergerakan, pergeseran, kecenderungan sebuah kebudayaan tertentu.
2/
Sesungguhnya, tema Shout Out juga ditawarkan sebagai salah satu alat untuk memetakan garis kecenderungan kreatif seniman/anak muda dewasa ini, sekaligus membandingkannya dengan kecenderungan estetik yang dibawa oleh seniman/anak muda 30 tahun lalu ketika muncul Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) 1977. GSRB, yang waktu itu gaungnya menasional, juga muncul dan dipelopori oleh seniman/anak muda Yogyakarta yang berproses di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang sekarang menjadi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Mereka antara lain Bonyong Munni Ardi, F.X. Harsono, Hardi, dan lainnya, yang bergabung dengan seniman muda dari Fakultas Seni Rupa ITB, seperti Jim Supangkat, dan sebagainya.
Tentu tak menarik kalau penyandingan karya-karya anak muda dewasa ini dan eksponen GSRB sebatas dipahami sebagai upaya “mempertandingkan” capaian estetik mereka. Sungguh! Karena justru dengan menyimak karya mereka secara keseluruhan dan sembari membuka ingatan atas konteks waktu mereka dan karya mereka lahir, kita bisa melihat semangat jaman yang memberi warna anak karakter karya, kecenderungan kreatif, trend proses kreatif tertentu, dan lainnya.
Oleh karena itu pameran Shout Out memang hendak ditendensikan untuk membuka semua kemungkinan dan capaian estetik yang saat ini tengah digeluti dan menjadi trend positif bagi seniman dan anak muda jaman ini. Bentuk ungkap estetik semacam street art, toys art, fashion, object art, video art, moving image, komik, seni instalasi, dan lainnya, akhirnya, sangat dimungkinkan untuk masuk sebagai material pameran. Meski demikian, karya seni konvensional seperti lukisan juga masih dimungkinkan mendapat tempat, tentu diharapkan dengan pendekatan konsep dan penyajian yang lebih “baru” bahkan “radikal”. Dengan maksud itu pula, maka pameran ini akan memberi batasan usia (calon) peserta maksimal 35 tahun. Ini sesuai dengan misi pameran FKY tiga tahun terakhir (Barcode, 2004; Kotakatikotakita: Yang Muda Melihat Kota, 2005; dan Homy Family, 2006 tapi batal karena gempa bumi) yang lebih mengedepankan perhelatan ini sebagai sebuah laboratorium proses bagi laku kreatif seniman muda usia.
3/
Perhelatan ini, dengan segenap kelebihan dan kekurangannya, tentu hendak didedikasikan bagi perkembangan seni rupa di Yogyakarta, bahkan mungkin di Indonesia. Pameran Festival Kesenian Yogyakarta ini tak akan bergegabah sebagai “alat ukur” bagi perkembangan seni rupa di Yogyakarta dewasa ini, namun sebagai forum kecil yang dimungkinkan sebagai “alat baca” (mungil) untuk membaca gelagat dan geliat yang tengah dialami oleh pelaku seni rupa di kawasan ini. Siapapun bisa dengan tegas tidak bersetuju dengan pola, metode kuratorial berikut nama dan hasil karya rupa yang terpampang di ruang pajang Taman Budaya Yogyakarta kali ini. Atau mungkin sebaliknya.
Pro-kontra inilah, bagi kami, secara sadar justru memberi imbas paling penting bagi dinamika di jagad seni rupa Yogyakarta. Karena laju kreatif seniman yang terus bergerak pasti akan memberi kontribusi penting bagi pola kuratorial yang juga dimungkinkan penuh eksperimentasi. Di sinilah sintesis sebuah kebudayaan diniscayakan akan terus mencari kebaruan. Walah, walah! Wuih!

Comments

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?