Jejaring Kerja Tanpa Negara
Suasana ruang workshop seni rupa di Kindlemajor, di dusun Kisrecse, Nagykanizsa, Hongaria. (foto: kuss)
Oleh Kuss
Indarto
BERSAMA perupa
Yogyakarta, Valentinus Rommy Iskandar, saya memenuhi undangan simposium dan workshop seni rupa di ruang seni Kendlimajor,
di Kisrecse, Nagykanizsa, Hongaria, 30 Mei hingga 14 Juni 2015 lalu. Perhelatan
yang berlangsung di sebuah desa yang indah dan sunyi itu dihadiri oleh 32
seniman dari 12 negara, yakni Hongaria (tuan rumah), lalu Austria, Jerman, Rusia,
Belgia, Bulgaria, Italia, Spanyol, Irak, Kuwait, Oman, dan Indonesia. Acara
serupa di tempat itu—yang jaraknya 200-an kilometer dari ibukota Budapest—sudah
dihelat 23 kali dalam 16 tahun terakhir. Untuk pertama kalinya, tahun ini, ada
seniman dari Indonesia sebagai peserta.
Saya merasa perlu untuk
hadir karena Hongaria sendiri merupakan salah satu negara dengan suprastruktur
dan infrastruktur seni rupa yang relatif kuat—meski mungkin masih berada di
bawah bayang-bayang dominannya Eropa Barat seperti Perancis, Inggris, Jerman
dan lainnya. Secara historis pun negeri ini memiliki nama-nama penting dalam
perkembangan seni rupa, mulai dari era renaisans, barok, hingga art nouveau, art brut dan seterusnya
hingga kini.
Motor penyelenggara
perhelatan ini adalah pasangan suami-istri, Zoltan dan Klara Ludvig, seniman
sekaligus pemilik ruang seni Kendlimajor. Mereka memiliki tanah sekitar satu
hektar yang dikepung ladang gandum nan menghijau, berikut beberapa bangunan
yang bisa menampung tiga puluhan seniman untuk kepentingan tinggal, berkarya,
dan berpameran.
Dalam acara tersebut semua
peserta dihimpun untuk melakukan diskusi non-formal tentang seni rupa, berkarya
bersama, dan kemudian diakhiri dengan pameran karya yang dibuat selama workshop. Dalam rentang waktu dua pekan
itu para seniman berkarya (seni rupa) antara 2-6 karya—tergantung kemampuan tiap
seniman. Pembukaan pameran dihadiri oleh sekitar 200-an tamu. Untuk ukuran
Eropa, jumlah tetamu itu sudah masuk kategori perhelatan yang relatif meriah
dan besar.
Dari pengalaman
mengikuti perhelatan tersebut, saya menimba beberapa persoalan yang mendasar
namun penting untuk ditularkan lebih meluas. Pertama, acara (seni) berlabel internasional tidak mesti berformat gigantik
dan mementingkan aspek seremonial saja, namun lebih menyusur pada aspek
substansial. Ini dapat dirasakan di semua aktivitas dari hari ke hari selama
dua pekan. Tak ada upacara megah dengan menghadirkan pejabat untuk menandai
perhelatan. Tak ada tebaran sampah visual di sekitar venue untuk merayakan perhelatan. Semuanya tampil wajar. Semua
peserta saling ditempa untuk berkomunikasi dan berdiskusi dengan intensif,
meski informal, dan berkarya seni dengan kedisiplinan tinggi.
Kedua, ada pola manajemen perhelatan yang memanfaatkan kebersamaan sebagai
basis pendukungan atau sponsorship. Meskipun
penyelenggara memiliki sponsor utama untuk menggerakkan kegiatan, namun ada
pendukung tambahan yang datang dari kolektor, sesama seniman hingga simpatisan
yang menetap di kota itu. Dukungan itu kecil namun sangat berarti dan
mengesankan. Misalnya, pengadaan makan malam. Pada kesempatan makan tersebut
para donator diundang dan diperkenalkan kepada semua peserta. Ini hal
sederhana, namun mampu memberi tambahan amunisi bagi suasana kekariban satu
sama lain. Di sini, pengertian sponsorship bukanlah sesuatu yang besar, selalu
berarti uang, dan tidak berakhir dengan pola relasi patron-klien antara pihak
sponsor dan yang disponsori.
Ketiga, durasi dua pekan memungkinkan interaksi yang intensif antarseniman.
Dari sinilah muncul persebaran ide baru, unik, dan menarik yang bisa ditularkan
ke seniman berikut komunitas di negaranya masing-masing. Di samping itu, tentu,
jejaring kerja (networking) baru
dengan sendirinya meruyak meluas, seperti rhizoma
yang terus bergerak membuat cabang, ranting dan dahan yang berlapis-lapis.
Keempat, seringnya ruang seni Kendlimajor membuat perhelatan tersebut, lambat
laun telah menciptakan ikon kawasan tersebut sebagai kawasan seni, yang
sebelumnya jauh dari identitas seperti itu. Maka, sebenarnya, problem ikon atau
identitas kawasan tertentu pun bisa dikonstruksi oleh kedisiplinan dan keajegan
melakukan sebuah peristiwa.
Akhirnya, kita bisa
becermin dari sini bahwa perhelatan seni berskala internasional pun bisa
dilakukan dengan mandiri tanpa ketergantungan dengan negara dari segi pendanaan
atau regulasi sekalipun. Namun, sebaiknya, negara berkewajiban untuk membuat
kebijakan yang bias menyamankan dunia kreatif. Dan seniman pun idealnya terus
bergerak tanpa harus selalu merengek pada negara. ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa,
tinggal di Yogyakarta.(Catatam ini telah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi Minggu, 19 Juli 2015)