SMKN 3 Kasihan, Bergeser Bersama Zaman
Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN) 3 Kasihan, Bantul, Yogyakarta—tak pelak—adalah salah satu kawah candradimuka bagi banyak perupa atau seniman seni rupa Indonesia. Sejak lama sekolah ini telah menelurkan bibit-bibit perupa atau seniman level nasional bahkan dunia. Para alumninya antara lain Butet Kartaredjasa, Nasirun, Dadang Christanto, Jumaldi Alfi, Budi Ubrux, Ivan Sagita, Eko Nugroho, Lucia Hartini, Dede Eri Supria, Wedhar Riyadi, hingga kurator Suwarno Wisetrotomo, dan sekian banyak nama populer lain dalam pelataran seni rupa Indonesia.
Sihono, Kepala SMKN 3 Kasihan kini—pada siang yang cukup terik itu—banyak berkisah tentang almamaternya yang legend pada Padma News. Dulu, SMKN 3 Kasihan bernama SSRI atau Sekolah Seni Rupa Indonesia. Tempatnya berada di kampung Gampingan, Wirobrajan, Yogyakarta, berbarengan dengan kampus ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia, sekarang menjadi Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta). SSRI dibuka mulai tahun 1963. Para mahasiswa ASRI kuliah pagi hari, sedang siswa-siswi SSRI dapat jatah masuk kelas sore hari. Tak lama kemudian pindah ke Kuningan, Karangmalang. Lalu jadilah SMSR. Tahun 1983 dari Karangmalang kampus pindah ke Bugisan. Karena sekolah berada di daerah Kasihan, Bantul, maka sekolah menjadi SMKN 3 Kasihan. Ini berurutan bersama sekolah seni lain, yakni SMKI atau SMKN 1, SMM atau SMKN 2 dan SMSR jadi SMKN 3.
SMKN 3 Kasihan atau SMSR Yogyakarta mampu menghasilkan banyak alumni dengan level tinggi, menurut Sihono, karena banyak faktor. Salah satunya karena dulu masa studi di sekolah tersebut durasinya hingga empat tahun. Beda dengan sekolah menengah atas pada umumnya. Ini memungkinkan siswa mendapatkan modal pembelajaran lebih banyak.
Di samping itu, proses pembelajaran memberi porsi banyak pada kebebasan berekspresi terhadap para siswa. Juga pendalaman pada beberapa mata pelajaran yang memberi kesan bagi anak didik. Sembari bernostalgia, Sihono mengisahkan masa-masa dirinya saat menjadi siswa SMSR tahun 1980-an dulu. “Saya merasakan hal yang berbeda ya antara pelajaran sejarah seni rupa dulu dengan sekarang. Dulu kalau pelajaran sejarah seni rupa siswa diajak mengunjungi langsung candi-candi yang ada di D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, dan di Jawa Timur. Kunjungan ke candi-candi itu diiurut, sehingga siswa bisa tahu langsung kronologi peradaban yang dipreresentasikan secara fisik oleh sejarah lewat bangunan candi. Waktu itu siswa SMSR keliling benda purba, dari melihat relief, patung, hingga galeri-galeri seni di jakarta, Bali, dan tentu Yogyakarta sendiri. Ini sulit dilupakan bagi saya. Kalau dipraktekkan sekarang ini sulit waktunya. Masa studi hanya 3 tahun dan mata kuliah tambah banyak. Pengunaaan dana juga terbatas. Belum lagi tidak diijinkannya pemungutan iuran di luar SPP. Sekarang sulit. Dulu juga ada camping yang bukan pramuka. Tempat camping di lingkungan dekat candi” tutur Sihono panjang lebar.
Zaman terus berubah. Kurikulum yang diberlakukan—termasuk untuk sekolah seni rupa ini—juga berubah. Sekarang diberlakukan kurikulum 2013, sebelumnya 2006, dan 1984. Dari beberapa kurikulum itu, dulu banyak pelajaran praktiknya. Sementara sekarang ilmu lain, misalnya Matematika diajarkan sampai kelas 3.
Zaman yang berubah itu juga berimbas di lingkungan SMKN 3 Kasihan. Menjadi pemimpin atas puluhan guru dan 896 siswa (dari kelas 1-3), Sihono mesti mengikuti perkembangan zaman dan aturan yang dibakukan oleh kementerian. Visi sekolah ini kini bergeser, yakni menekankan anak didiknya pada aspek kompetitif, punya kompetensi di dunia global, punya wawasan global, tetap memiliki kearifan lokal, dan juga akhlak perlu dibekali di bangku sekolah.
Sihono sadar, kemajuan sekolah yang dipimpinnya tak mungkin hanya menyandarkan masa lalu. Dan tidak berhenti di titik masa lalu. Masa kini pasti memiliki spirit, tantangan, dan strategi yang berbeda. Di sekolahnya kini ada 7 jurusan. Di seni rupa terpilah 2 jurusan: Seni Lukis dan Seni Patung. Di disain ada Jurusan Disain Komunikasi Visual (DKV) dan Jurusan Animasi. Sedangkan di kriya ada Jurusan Kriya Kayu, Jurusan Tekstil dan Jurusan Keramik. Kalau di masa lalu Jurusan Seni Lukis menjadi primadona jadi andalan dan primadona, sekarang ini mulai ada “kompetitornya”. Seiring perkembangan zaman, Jurusan Animasi telah muncul sebagai jurusan yang banyak “dikejar” oleh para calon siswa baru tiap tahun. Seleksi untuk masuk di jurusan itu begitu ketat. Demkian pula dengan Jurusan DKV.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, lulusan Jurusan DKV dan Animasi banyak diserap di pasar kerja. Atau setidaknya 2 jurusan tersebut banyak menjalin kerjasama profesional dengan beberapa lembaga lain. Menurut pengakuan Sihono, ada beberapa lembaga profesional seperti advertising yang dengan terbuka meminta anak-anak SMKN 3 Kasihan untuk magang (PKL, Praktek Kerja Lapangan) di lembaganya. Kepercayaan ini tumbuh karena pihak sekolah mampu menjaga kontinuitas mutu para siswanya. Bukti lain tentang prestasi anak-anak SMKN 3 adalah kompetisi bernama “Asian Skill” yang menempatkan anak didik Sihono berada di level tinggi. Siswa yang terpilih itu kini dibimbing di UBINUS (Universitas Bina Nusantara) untuk persiapan event. Terakhir ada siswa bernama Bayu yang akan ikut “Asian Skill” di Thailand 2020. Sekarang dia tengah di-training selama 8 bulan di Ubinus. Sebelum ini, ada siswa SMKN 3 Kasihan yang bernama Ganjar pada tahun 2014 memenangi ajang “World Skill” di kota Leipzig, Jerman.
Sementara Jurusan Seni Lukis dan Seni Patung, meski telah mulai mendapat kompetitor yang kuat, masih tetap menjadi kekuatan penting di Yogyakarta bahkan di level nasional. Beberapa tahun terakhir, tiap kali ada perhelatan kompetisi seni lukis antarsekolah menengah se-Indonesia nyaris selalu mendapatkan posisi terhormat. Kalau tidak Juara 1 ya Juara 2.
Mengapa mereka mampu secara rutin dan terus-menerus mencetak para juara? Salah satu kemungkinan jawabannya adalah adanya penghargaan Pratita Adi Karya. Penghargaan ini diberikan tiap akhir tahun ajaran dengan mengompetisikan semua karya para siswa semua kelas. Jadi antara siswa kelas 1, 2 dan 3 saling berkompetisi satu sama lain. Jurinya dari para guru SMKN 3 Kasihan sendiri, dan mengundang para seniman dan kurator dari luar sekolah sebagai juri tamu.
Tradisi ini sudah terentang panjang. Tokoh pengonsep penghargaan ini adalah Setiadi. Kira-kira bermula tahun 1970 dengan nama “Piagam Penghargaan”. Baru pada tahun 1972 beralih nama menjadi Pratita Adi Karya. Waktu itu narasumber yang turut menentukan pemenangnya adalah Supono PR dan Mahyar. Semuanya seniman yang juga guru SMSR. Untuk menjaga kualitas biar tidak terkesan mengobral penghargaan, panitia hanya memilih 6 karya/orang sebagai pemenang (tanpa hierarkhi atau penjenjangan). Dan pola tersebut diberlakukan hingga sekarang. Baik penentuan jumlah pemenangnya, atau komposisi jurinya.
Hal lain yang juga turut mendukung penaikan kualitas anak-anak SMKN 3, terutama Jurusan Seni Lukis dan Seni Patung adalah adanya program magang (PKL). Mereka diuntungkan karena bisa langsung magang di studio-studio para seniman yang sudah punya kelas tersendiri di Yogyakarta. Para seniman itu banyak yang sudah memiliki reputasi nasional hingga internasional—yang bertebaran di seantero Yogyakarta. Ketika anak-anak muda tersebut masuk dalam lingkungan para seniman profesional, sedikit banyak mereka bisa menyerap cara dan pola kerja yang berbeda. Hal-hal yang telah dipelajari di bangku sekolah bisa langsung diamati dan dipraktikkan ketika menghadapi dan bekerja di lingkungan seniman tersebut.
Hanya saja, melakukan PKL di studio seniman tidak bisa disetarakan ketika anak-anak Jurusan DKV magang di lembaga kerja/advertising. Menghadapi seniman berarti menghadapi personalitas seseorang yang tidak terlembagakan, dengan mood yang berbeda antarseniman satu sama lain. Ini hal yang merepotkan karena kalau anak-anak yang magang tidak mampu beradaptasi dengan pribadi senimannya, sangat mungkin akan menghadapi kendala psikologis. Ya, magang di kantor advertising sudah jelas jam kerjanya. Misalnya sehari bekerja selama 7 jam, dari Senin sampai Jumat. Sementara magang di studio seniman (pelukis pematung atau perupa secara umum), pola rutinitasnya tdak seperti di sebuah kantor. Dia bisa hanya bekerja seminggu selama 3 hari dengan jam kerja yang berubah-ubah.
Proses magang ke seniman, kini bisa terkoordinasi dengan baik. Misalnya dengan bekerjasama dengan IKASSRI (Ikatan Alumni Sekolah Seni Rupa Indonesia). Lembaga ini bisa menjadi bagian penting dari upaya almamater membangun jejaring kerja. Alumni bisa membangun sistem koordinasi dalam menempatkan siswa untuk ditempati sebagai tempat PKL. Atau sebagai narasumber untuk memotivasi siswa. PKL itu sangat penting karena siswa bisa betul-betul langsung ikut mengalami proses kerja dan berproses kreatif di lokasi tempat kerja. “Ada DKV yang PKL di tempat pencetakan barang-barang cetakan. Ini kan konkret bagi siswa karena mereka tahu teori dan praktek,” papar Sihono.
Di samping program magang, ada pula ada program sekolah yang disesuaikan dengan zaman. Namanya program “Bakti Seni”. Atau Outing Class. Di sini para siswa Jurusan Seni Lukis turba (turun ke bawah) mengajari cara melukis atau membatik pada anak-anak kampung.
Butet Kertaradjasa, aktor teater dan budayawan yang juga salah seorang alumnus SSRI (SMKN 3 Kasihan) mengingat betul bahwa sekolah ini memberi kebebasan berekspresi bagi para siswanya dengan sangat memadai. Tapi sebaliknya, kebebasan yang diakomodasi penuh oleh pihak sekolah harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Secara konkret dia mengalami sendiri. Yakni suatu ketika—ceritanya pada Padma News—dia membuat sebuah event seni di SSRI. Di luar ekspektasi, peristiwa seni bikinannya itu tidak balik modal. Maka, dia tidak meminta pihak sekolahnya untuk menanggung kerugian. Butet nomboki sendiri, meski event itu memakai nama sekolahnya. ***
(Kuss Indarto)