Sawu







Hari ini, Jumat, 14 Agustus 2020 di depan Sidang Tahunan MPR, Presiden Jokowi mengenakan pakaian adat suku atau pulau Sawu. Saya baru tahu pakaian dan aksesorisnya seperti itu. Ternyata indah dan keren.
Lalu, dimana dan bagaimanakah Sawu? Bila kita terbang dari Denpasar atau Surabaya menuju Kupang, pesawat terbang akan melintas di atas laut Sawu, atau sisi utara pulau Sawu. Persisnya di titik koordinat 10°39'0""LS (Lintang Selatan) dan 121°53′0″BT (Bujur Timur). Pulau ini tak terlalu besar. Menyebut pulau Sawu sebetulnya menyebut "paket" sebuah kepulauan yang terdiri dari pulau Sawu, Raijua, dan pulau Dana. Yang disebut terakhir itu berada paling barat dan tidak berpenghuni. Sawu kira-kira seluas 540 km², sedang Raijua hanya sepersepuluhnya, yakni 54,9 km², sementara Dana lebih kecil lagi. Sebelah utara dan barat Sawu dikelilingi Laut Sawu, dan selatan serta timur dikepung Samudera Hindia. Jumlah penduduk Sawu kini diperkirakan sekitar 92.000 orang.
Pulau Sawu terbentuk dari karang koral yang membentuk daratan setinggi 300 meter dari permukaan laut, sama seperti dua pulau di sekitarnya. Pulau ini juga dikenal dengan sebutan Sabu atau Savu. Tetapi penduduk asli pulau ini menyebut dengan Rai Hawu atau "Tanah dari Hawu".
Bagian utara pulau Sawu lebih hijau ketimbang bagian selatan. Pulau ini memiliki beberapa sungai hujan, yang berair ketika musim hujan, dan kerontang saat kemarau, kecuali di bagian utara yang memiliki mata air, sehingga air sungai mengalir sepanjang tahun.
Ada dua pelabuhan di Sawu, yakni Haba di bagian barat, yang dipergunakan saat musim kemarau, dan pelabuhan Bolou yang banyak dipakai saat musim penghujan. Keduanya memiliki jalur pelayaran rakyat menuju ke Kupang, Sumba dan Ende (Flores). Di pulau ini ada bandara kecil yang dapat untuk mendarat pesawat terbang ukuran kecil. Namanya Terdamo. Tapi rute ke pulau ini belum tiap hari ada.
Cuplikan sejarah mengisahkan bahwa penguasaan VOC atas Sawu tahun 1756 mewajibkan penduduk pulau ini menyediakan tentara untuk membantu kompeni (VOC) dalam perang di pulau Timor serta untuk memperkuat benteng di Kupang. Tentara asal Sawu juga dimanfaatkan untuk menghentikan serangan orang-orang Ende yang mendapatkan budak di Sumba pada tahun 1838. Pada kurun waktu itu sebagian orang Sawu beremigrasi menuju Sumba timur dan membentuk perkampungan di sana. Catatan tahun 1876 menyebutkan ada peningkatan dalam jumlah cukup besar penduduk Sumba asal Sawu. Diduga, ini tidak lepas dari adanya wabah kolera pada tahun 1874 yang membuat orang Sawu banyak meninggal atau bergerak meninggalkan pulau tersebut.
Orang Sawu menganggap pulau mereka, Rai Haru, seperti makhluk hidup yang membujur dengan kepala di sebelah barat (di Mahara), perut di tengah pulau (daerah Haba dan Liae), serta ekor di bagian timur (kawasan Dimu). Mereka juga menganggap Sawu seperti perahu: wilayah Mahara di barat yang bergunung-gunung disebut "duru rae" atau anjungan, dan daerah Dimu yang dataran rendah sebagai "wui rae" atau buritan.
Filosofi atau aturan perahu juga terlihat dalam pengaturan bagian kampung. Misalnya, nama sebutan kampung secara lengkap disebut kampung perahu atau rae kowa. Bagian kampung yang lebih tinggi disebut anjungan atau duru rae. Sedang bagian yang lebih rendah sisebut wui rae (buritan), dan di bagian buritan kampung disebut kemudi kampung (uli rae).
Seperti halnya daerah lain di kawasan Nusa Tenggara Timur, di pulau Sawu ini juga memiliki kekayaan wastra (kain) dengan motif yang khas dan indah. Termasuk seperti yang dikenakan oleh Presiden Jokowi. Secara umum orang juga mengenal bahwa pulau ini penghasil gula merah dari pohon nira yang sangat manis.
Pemunculan pakaian adat Sawu yang dikenakan Presiden pasti memiliki banyak dugaan tendensi dan motif, termasuk politik. Bagi saya sih ini juga menerbitkan dugaan kultural: bahwa "tubuh" Sawu yang "kecil" secara geografis itu memiliki kekayaan besar secara kultural, dan sekian lama bangsa ini mengabaikan kekayaan dan keindahan "tubuh" kita sendiri.
Di Nusa Tenggara Timur saja ada puluhan kekayaan bahasa utama dengan ratusan dialek yang berbeda. Demikian pula dengan keragaman motif kain tenun yang luar biasa indahnya. Jokowi seperti kembali memberi sinyal betapa kita perlu kembali menguatkan "rasa cinta yang keras kepala" kepada tubuh kebudayaan sendiri. Bukan memunggungi bahkan meninggalkannya. Indonesia kita itu sebenarnya kaya.

14 Agustus 2020

(Sebagian catatan saya cuplik dari buku "Pelayaran dan Perdagangan Kawasan Laut Sawu: Abad ke-19 hingga Awal Abad ke-20, tulisan Didik Pradjoko dan Friska Indah Kartika).

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?