(Calon) Presiden dan Aku
Kalau
berpikir egosentrik, memang, siapapun presidennya tidak akan
berpengaruh pada kehidupan seseorang (secara langsung). Tapi kalau
berpikir bahwa tiap individu adalah jaring-jaring utama dari sebuah
komunalisme besar bernama negara-bangsa, maka relasi antara siapa
presidennya akan terasa pada (tiap) warga negara. Misalnya, andaikan
Jokowi jadi presiden, dia akan merekrut orang-orang profesional di bidangnya dalam kabinet kelak.
Bukan seperti SBY yang gagah tapi luar biasa lembek keika dibawah tekanan. Maka, antara lain, dia (SBY) menunjuk Tifatul Sembiring menjadi Menkominfo yang sepertinya tidak dia kuasai. Publik pernah teriak tentang akses internet di Indonesia yang lelet, tapi direspons oleh Tifatul bahwa: "Untuk apa internet cepat? Untuk buka situs yang enggak-enggak?" Inilah respon fatalistik seorang pejabat dari kabinet kompromistik yang busuk.
Saya masih optimis kalau Jokowi jadi RI-1, dia akan mencari Menkominfo yang cerdas dan berintegritas di bidangnya. Maka, akses internet di Indonesia yang rata-rata hanya 1,6 Mbps bisa dinaikkan. Tak perlulah seperti di Korea Selatan yang mencapai 21,9 Mbps sehingga menjadi negara dengan akses internet tercepat di dunia. Cukuplah seperti di Taiwan yang mencapai 8,3 Mbps, atau di Thailand yang menyentuh di kecepatan 4,8 Mbps.
Kalau kemampuan internet di Indonesia sangat memadai, pekerjaanku yang sangat berhubungan dengan kecepatan akses internet tentu jadi sangat terbantu. Ini ada hubungannya dengan ketika saya memilih presiden yang sudah kelihatan komitmen dan integritasnya dalam bekerja, dan visinya tentang kamajuan untuk Indonesia. Itu sebuah harapan yang penting bagiku. Jadi, sekali lagi, kalau kita tidak berpikir egosentrik saja, maka melilih presiden itu kelak akan ada hubungannya dengan kehidupan kita, minimal 5 tahun ke depan.
Apa boleh buat, saya tidak butuh capres yang hanya dicitrakan sebagai seolah "sok tegas" tapi belum teruji. Negeri ini terlalu lelah diisi oleh pemimpin yang penuh omong kosong. Maaf saja!
Bukan seperti SBY yang gagah tapi luar biasa lembek keika dibawah tekanan. Maka, antara lain, dia (SBY) menunjuk Tifatul Sembiring menjadi Menkominfo yang sepertinya tidak dia kuasai. Publik pernah teriak tentang akses internet di Indonesia yang lelet, tapi direspons oleh Tifatul bahwa: "Untuk apa internet cepat? Untuk buka situs yang enggak-enggak?" Inilah respon fatalistik seorang pejabat dari kabinet kompromistik yang busuk.
Saya masih optimis kalau Jokowi jadi RI-1, dia akan mencari Menkominfo yang cerdas dan berintegritas di bidangnya. Maka, akses internet di Indonesia yang rata-rata hanya 1,6 Mbps bisa dinaikkan. Tak perlulah seperti di Korea Selatan yang mencapai 21,9 Mbps sehingga menjadi negara dengan akses internet tercepat di dunia. Cukuplah seperti di Taiwan yang mencapai 8,3 Mbps, atau di Thailand yang menyentuh di kecepatan 4,8 Mbps.
Kalau kemampuan internet di Indonesia sangat memadai, pekerjaanku yang sangat berhubungan dengan kecepatan akses internet tentu jadi sangat terbantu. Ini ada hubungannya dengan ketika saya memilih presiden yang sudah kelihatan komitmen dan integritasnya dalam bekerja, dan visinya tentang kamajuan untuk Indonesia. Itu sebuah harapan yang penting bagiku. Jadi, sekali lagi, kalau kita tidak berpikir egosentrik saja, maka melilih presiden itu kelak akan ada hubungannya dengan kehidupan kita, minimal 5 tahun ke depan.
Apa boleh buat, saya tidak butuh capres yang hanya dicitrakan sebagai seolah "sok tegas" tapi belum teruji. Negeri ini terlalu lelah diisi oleh pemimpin yang penuh omong kosong. Maaf saja!