Tegas, Tega...

oleh Kuss Indarto

Dalam kerumunan dan keriuhan itu, aku berdiri sekitar 15 meter dari podium tempat tokoh-tokoh berorasi. Siang itu, sekitar pukul 10.00 wib, 11 Maret 1998, di sisi utara gedung Balairung, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ribuan manusia menyemut. Mereka, kami, menyerukan gerakan reformasi dan menurunkan Soeharto dari tahta presiden yang telah didudukinya 32 tahun. Aksi itu bersamaan dengan pelantikan kembali Soeharto sebagai Presiden RI periode 1998-2003 oleh Harmoko sebagai Ketua DPR-MPR.

Setelah beberapa orasi dari sekian banyak tokoh, lalu, muncullah sang tokoh yang dianggap bintang: Prof. Dr. H. Amien Rais. Tempik sorak ribuan orang bergemuruh menyambutnya. Dia berbicara cukup tenang tapi lantang, dengan alur kalimat yang sistematis ala akademisi. Hingga akhirnya sikap politik “sang bintang” itu mengemuka untuk merespon pelantikan Soeharto sebagai Presiden oleh MPR RI siang itu. Kurang lebih dia berteriak: “Kita beri waktu 6 bulan bagi Soeharto untuk memimpin kembali. Kalau gagal, kita akan turunkan…”

Respon pun terbelah. Ada yang bertepuk tangan riuh. Namun banyak pula yang tidak puas dengan sikap Amien Rais, lalu teriak “huuuuuuuuu…”. Aku termasuk yang teriak “huuuuuu…” dan bergegas menjauhi panggung, lalu bersama teman-teman aktivis lain membuat “podium” tandingan sendiri di seputar halaman Balairung itu. Di sekitar itu pulalah, bermenit-menit kemudian ada aksi pembakaran patung bergambar (poster) wajah Soeharto. Diduga berkait dengan itulah, sore harinya, aparat militer menjadi begitu beringas hingga masuk kelas-kelas kampus untuk melakukan sweeping atas kegiatan para aktivis. Namun, anak-anak muda aktivis dan rakyat terus bergerak hingga kemudian, akhirnya, Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998. Jauh lebih cepat (kurang dari 6 bulan) ketimbang “ancaman” Amien Rais yang terlalu lembek dan kelihatan penakut itu.

Dari momen itulah tampak betapa terlalu agung untuk memahkotai bapak penakut tersebut sebagai “Bapak Reformasi”. Tampak pula bahwa dia yang lantang dan seolah tegas dalam berpidato ternyata, secara substansial, bernyali tipis, bahkan menjadi antitesis atas gerakan reformasi. Maka, sekarang, aku tidak gampang percaya pada orang yang licin lidahnya saat berpidato. Seolah dia tegas bersikap, tapi kelak tega membekap(mu). ***

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?