Logika Jokowi
oleh Kuss Indarto
Mari bermain logika yang sangat-sangat sederhana. Pencapaian
tertinggi Prabowo adalah sebagai Danjen Kopassus, berpangkat Letjen (bukan
jenderal bintang 4 lho, ya), memimpin sekitar 50 ribu pasukan. Itu terakhir
terjadi 15 tahun lalu, lalu dipecat (dihaluskan menjadi
"diberhentikan") oleh institusi tempat dia bernaung.
Jokowi dalam 10 tahun terakhir memimpin kota Solo yg cukup plural dengan populasi sekitar 500 ribu orang (10 kali lipat Kopassus), lalu bersambung, terpilih secara demokratis oleh rakyat DKI, yang populasinya sekitar 9 juta jiwa.
Prabowo diduga kuat bisa menjadi Letjen karena menantu Soeharto. Beberapa kalangan menganggap sulit baginya untuk menjadi jenderal (minimal bintang 1) karena rekam jejak indiplinernya termasuk tinggi. Jokowi terpilih lewat Pilkada yang relatif demokratis. Pilkada kedua di Solo dimenangkannya dengan raupan suara 90%.
Fakta ini memberikan gambaran awal bahwa Jokowi punya akseptabilitas (tingkat penerimaan oleh publik) dan kapabilitas (kemampuan) yang memadai. Sementara Prabowo sama sekali belum teruji karena belum pernah masuk dalam struktur birokrasi. Dia hanya menjadi Danjen Kopassus yang ditunjuk (urut kacang, bahkan "melompat" karena nepotisme), bukan dipilih secara demokratis. Bawahan yang dikomandoinya relatif homogen, tentara semua. Maka, bagi saya, sangat berisiko memilih orang yang tidak punya pengalaman, atau anak manis-manja yang aman hidup dan kariernya karena fasilitas orang tua-mertuanya--untuk dijadikan sosok presiden. Terlalu mubazir bila bangsa yang sakit ini menunggu begitu lama di ruang pasien, lalu disodorkan seorang culun namun uzur yang bercita-cita menjadi dokter--karena bangsa ini butuh dokter yang sesungguhnya. ***