BPJS yang Nunggak Itu...
Beberapa detik setelah terjatuh dari sepeda motor, Minggu pagi, 9 September lalu, saya tercenung di pinggir jalan. Meski tulang bahu kiri (clavicula) patah, rasa syukur tetap harus kupanjatkan: saya tidak menabrak atau mencelakai orang lain, dan kepala tetap utuh meski sempat terbentur cukup keras ke aspal. Helm standar yang kupakai tidak terlepas dari kepala.
Saya tercenung karena pasti banyak rencana yang telah kususun untuk beberapa waktu ke depan pasti buyar, batal, dan terbengkalai. Misalnya, sekitar 2 jam sebelum kecelakaan saya barusan booking tiket untuk pergi ke luar kota hari Senin esoknya. Belum lagi janjian dengan banyak orang, praktis tertunda karenanya. Ya sudah, tak apa. Gusti Allah pasti sudah mengatur banyak hal yang jauh lebih terencana, Maha Terencana, ketimbang rencanaku itu.
Saya berhenti tercenung karena orang-orang dengan baik hati mengantarku ke rumah. Saya juga tak sanggup lagi mengendarai motor karena tangan kiri sulit digerakkan akibat tulang yang patah di bahu kiri.
Waktu-waktu berikutnya saya kembali tercenung, dan pertanyaan pun mengerucut: apakah negara bisa menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menolong kondisi saya ini? Pertanyaan ini muncul karena saya mengalami kecelakaan tunggal, tak ada yang menabrak saya sehingga yang menabrak mesti bertanggung jawab pada saya. Ya, itu logika sederhana.
Saya pun menggantungkan harapan pada keanggotaan BPJS yang sudah kulakukan sekitar 5-6 tahun lalu. Tapi saya malu dan harus tahu diri: sudah sekitar 2 tahun terakhir saya abai dan tidak membayar angsuran bulanan. Apa hak saya masih diakui dan bisa diklaim sementara kewajiban tidak saya tunaikan.
Istri saya pun bergerak cepat. Merunut dari urusan ke kantor polisi, menemui saksi saat peristiwa terjadi, ke kantor Jasa Rahardja dan memastikan bahwa saya tidak mendapat santunan di sana karena ini murni kecelakaan tunggal, lalu dialihkan ke BPJS sebagai penanggungjawab pembiayaan atas kecelakaan.
Karena sudah sudah tidak mengangsur iuran selama 2 tahun, urusan jadi sedikit tambah panjang. Saya tak enak dan sempat bilang pada istri: "Sudahlah, ma, kita membayar sendiri saja semua biaya kalau memang hak BPJS tak bisa diklaim. Itu salahku yang nunggak iuran sampai 2 tahun."
"Tunggakan 2 tahun sudah kulunasi. Tinggal nunggu aktivasinya saja. Tapi tak bisa dilakukan hari Selasa (11 September 2018) karena pas libur nasional," tutur istriku. Ya, saya masuk opname di RS Panti Rapih, Yogyakarta pada hari Minggu, 9 September. Lalu saya dioperasi tulang bahu kiri pada hari Senin, dan dokter langsung mengizinkan saya untuk pulang hari Selasa.
Akhirnya saya minta izin memundurkan jadwal pulang jadi hari Rabu pada pihak rumah sakit karena menunggu proses re-aktivasi keanggotaanku di BPJS. Mereka setuju. Dan semuanya tak meleset dari harapan. Rabunya keanggotaan saya di BPJS langsung aktif, dan saya bisa pulang tanpa membayar tagihan selama opname yang jumlahnya sudah melambung tinggi. Hanya melunasi tunggakan yang dua tahun. Dengan hanya membayar tagihan BPJS 2 tahun dan biaya adminstrasi RS, berarti saya HANYA membayar sekitar 18% dari biaya keseluruhan (bila tanpa BPJS). Atau, bila tidak menunggak utang iuran selama 2 tahun, saya hanya membayar sekitar 3,7% dari tagihan keseluruhan (bila tanpa BPJS).
Saya masih cukup takjub merasakan keajaiban "kecil" itu. Kok bisa cepat ya prosesnya? Ah, mungkin saya masih terbayang-bayang pada pola kerja birokrasi zaman Orde Baru lalu. Saya merasakan ketika keluarga pindah ke kampung (puluhan tahun lalu), kami harus menunggu waktu lebih dari setahun untuk memasang listrik. Kami menanti hingga lebih dari 3 tahun hanya untuk memasang telpon di rumah. Atau ketika sudah zaman Reformasi pun, bertahun-tahun lalu saya harus berhari-hari ngurus surat nikah: yang mau nikah sudah kebelet, tapi birokrasi kerjanya lelet dan gremat-gremet.
Pengalaman ini menerbitkan asumsi yang kuat pada diri saya: "Oh, sekarang negara sudah hadir, dan menjadi salah satu wakil Tuhan untuk membantuku. Terima kasih." Sudah pasti saya harus berterima kasih pada Gusti Allah, istri dan anak-anakku, keluarga besar, saudara, handai taulan dan semua teman yang telah membantu dan mendukung secara langsung atau tidak langsung untuk proses kesembuhan dan pemulihan kesehatan saya. Sekali lagi: TERIMA KASIH. Gusti Ora Sare. Tuhan Tidak Tidur. (Tapi fotonya saya lagi tidur, seminggu lalu).
Tentu saya tak boleh bilang: "ini gara-gara reformasi birokrasi gaya Jokowi", karena pasti saya akan dituduh sebagai pasien yang partisan. Baiklah, Terima Kasih untuk semuanya.
(Catatan 16 September 2018)