Kostum Ma'ruf Amin
Saya tak tahu, ini alay atau tidak. Saya hanya ingin mendahului dengan pertanyaan: apakah tampilan K.H. Ma'ruf Amin sudah tak bisa dieksplorasi lagi? Karena saat acara Kampanye Damai di hari Minggu, 23 September 2018 pun tampilannya masih terlalu bersahaja. Tim sukses sepertinya belum bergerak "mendadani" meski sekadarnya.
Saya membayangkan citra tentang figur dengan nilai keulamaan dan keislaman yang menempel pada diri K.H. Ma'ruf Amin sebetulnya bisa dilengkapi dengan citra kultural dan kenusantaraan secara bersamaan. Dan kostum bisa memuat dua "kutub" itu dalam satu ruang dan waktu.
Coba saja mengandaikan sosok Pak Yai sepuh itu secara bervariasi memakai kain sarung berbahan kain ulos Samosir atau Batak pada umumnya. Di lain waktu mengenakan sarung dari kain songket Pande Sikek, Sumatera Barat, atau songket Palembang, songket Labuan Bajo, kemudian esoknya bersarung tenun ikat khas pulau Sawu atau Sumba atau Timor atau berbagai variasi dari NTT dan NTB yang luar biasa ragamnya. Disambung lagi dengan kain batik megamendung khas Cirebon, lalu batik motif flora yang rumit khas Lasem. Aduh, Nusantara kan luar biasa kaya budaya wastra (sandang)-nya? Kita perlu banyak waktu untuk mengurai pluralitas jagat wastra Nusantara dengan segenap detailnya.
Maka, tak salah saya kira bila K.H. Ma'ruf tampil sekaligus memperkenalkan kekayaan budaya bangsa ini lewat kain sarungnya. Ya, cukup kain sarungnya saja. Jas tetap yang formal, kemeja koko dan kain yang menyelempang di lehernyapun tetaplah seperti sedia kala. Saya menduga, itu sudah mampu mengubah persepsi publik tentang kemungkinan daya fleksibilitas atau keluwesan sosok eyang sepuh ini pada kemampuannya menyerap dan mengakomodasi banyak kultur dan kebaruan di sekitarnya.
Mungkin lho ya! Hahaha.
(Catatan 23 September 2018)