Lafal
Diduga sudah sekitar 5 abad lidah orang Jawa yang beragama Islam melafalkan kata "sekaten" yang "semestinya" adalah "syahadatain". Syahadatain adalah persaksian untuk mengucapkan dua kalimat syahadat bagi seseorang yang hendak memeluk agama Islam. Momen syiar agama itu, dulu, tidak sekadar jadi peristiwa keagamaan tapi oleh para penyebar Islam di tanah Jawa menjadi peristiwa kebudayaan. Ini sebuah kreativitas ala Jawa atau Nusantara yang belum tentu atau berbeda bentuknya dengan yang terjadi di belahan dunia yang lain.
Sekaten adalah adaptasi lidah orang Jawa dari istilah Arab, syahadatain. Pada perkembangannya, dari pelbagai referensi kita bisa mendapati fakta bahwa perluasan makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah "sahutain" (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng), "sakhatain" (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan), "sakhotain" (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), "sekat" (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk, dan Sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Pada prinsipnya, orang Jawa atau Indonesia pada umumnya tahu dan sadar kata awalnya, namun memiliki lidah yang cara ungkapnya jadi bergeser. Tapi maksudnya sama. Itu terjadi ketika menyerap bahasa apapun.
Sekitar seabad lalu ketika pemerintah Hindia Belanda membangun bengkel kereta api di Yogyakarta, maka orang bule itu menyebut buruhnya sebagai "koeli train". Dan kampung tempat para "koeli train" itu indekos masih membekas dengan nama baru, yakni kampung Klitren. Lidah leluhur kita menyimpan keunikan, dan tak bisa disalahkan begitu saja. Itu sama dengan kasus di Jakarta ketika pemerintah Hindia Belanda menamai salah satu lajur jalan sebagai "Financial St." Kini orang karib menyebut kawasan itu sebagai "jalan Pinangsia". Pasti masih banyak contoh lain yang serupa.
Perkara ini juga mirip dengan penggunaan istilah tertentu. Misalnya, sebagian orang Jawa dulu tidak jarang memberi tanda pada anak laki-lakinya yang mulai masuk usia remaja dengan dikhitan atau disunat. Mereka, sebagian, menyebutnya dengan begitu eufemistik: "putranipun punapa sampun dipun Islamaken?" Putranya apa sudah diIslamkan? Bahkan bagi orang di kawasan Banyumas lebih unik: "punapa putrane pun diselamaken?" Ya, "selam" untuk menyebut kata Islam.
Mereka sudah memberi identifikasi yang tunggal meski belum tentu seluruhnya "benar". Maksud saya, tradisi khitan atau circumsition bukanlah tradisi milik Islam saja. Dan secara historis, bahkan ada kajian yang menyebutkan bahwa bangsa Yahudi Kunolah yang diduga pertama kali melakukan praktik circumsition. Wah, bisa sengsitip ini.
Tapi begitulah. Lidah semua bangsa di dunia ini memiliki karakter yang berbeda-beda cara berekspresinya. Jadi kalau cuma Al Fatihah lalu terlafalkan sebagai "Al Fatekah", percayalah, Tuhan pasti jauh lebih Maha Mengetahui ketimbang orang-orang yang ingin nyambi sebagai calo surga itu. Mereka justru mulai meruntuhkan nilai-nilai Ketuhanan dari Allah yang coba diturunkan derajat pengetahuannya sebatas derajat manusia. Ya nggak level dong! ***