Kethak
Orang Yogya dan sekitarnya menyebut penganan ini dengan: "kethak". Dengan pelafalan yang sedikit bergeser, orang Kebumen atau area karesidenan Banyumas menamainya "kêthêk". Di kawasan lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur ada yang menyebutnya sebagai "blondho"
Penganan atau kudapan tradisional ini merupakan ampas dari proses panjang pembuatan minyak kelapa. Pembuatan minyak kelapa sendiri memakan waktu hingga sekitar 7 jam. "Sisa" parutan kelapa yang bergumpal di bawah minyak tersebutlah yang dinamakan kethak.
Kethak yang baik harus dipisahkan dari unsur minyak sama sekali. Kalau langsung dimakan rasanya "sengar" meski gurih. Maka perlu dicampur gula, dihaluskan, lalu dibentuk sesuai keinginan. Misalnya seperti yang terlihat dalam gambar. Kethak yang berukuran 5 cm ini termasuk kethak basah yang dibungkus dengan daun pisang hijau/biasa. Ada pula kethak kering yang dibungkus dengan klaras atau daun pisang yang sudah kering. Kethak kering lebih awet umur pengonsumsiannya.
Penganan ini memang tidak begitu populer (lagi). Pertama, memproduksi kethak hanyalah tujuan sekunder atau bahkan tersier. Tujuan primernya ya membuat minyak kelapa. Kedua, ada beragam penganan lain yang bisa dibuat dari bahan ampas minyak kelapa ini, dan berharga lebih tinggi. Misalnya "aréh" untuk gudheg. Maka agenda untuk membuat kethak tersisih karenanya. Ketiga, kian populer dan murahnya minyak kelapa sawit di pasaran membuat produksi minyak kelapa (yang harga jualnya lebih tinggi) menurun drastis. Maka, produksi kethak pun menyertai penurunan tersebut.
Yang pasti, kethak itu enaaakkk... Cocok untuk teman ngopi sambil begadang, atau sembari nonton para politisi berlidah silit, eh bersilat lidah.
(Catatan 14 September 2018)