Festival Kampung Nitiprayan-Jomegatan
Oleh Kuss Indarto
Pertama
Hingga kini belum ada catatan sejarah yang layak dijadikan sebagai acuan pasti untuk merujuk aspek etimologis (asal-usul kata) atas kampung Nitiprayan dan Jomegatan. Salah seorang pengamat budaya Jawa, Raden Pangeran Adipati (RPA) Suryanto Sastroatmojo – dalam sebuah percakapan pribadi dengan penulis pada tahun 2004 – menduga bahwa dari nama sosok Ngabehi Nitipraya-lah sebutan kampung Nitiprayan bermula.
Sosok ini menjadi pimpinan sebuah pasukan kecil yang kemudian dipercaya sebagai “lurah" di lingkungan baru tersebut. Dia menjabat lurah pada jaman kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang memerintah pada kisaran 1877 hingga 1921. Sultan yang dijuluki sebagai “Sultan Sugih” ini – karena banyak memiliki pabrik hingga 17 buah seiring dengan mulainya modernisasi di Mataram, juga sugih (kaya) anak karena memiliki keturunan hingga 79 anak dari permaisuri dan beberapa selir – banyak melakukan perombakan dan penyempurnaan sistem pengelolaan pemerintahan. Dan diduga, Ngabehi Nitipraya ini menjadi satu dari sekian banyak orang yang mendistribusikan gagasan pengelolaan pemerintahan Sultan HB VII.
Pada rentang jarak dan waktu yang tak berjauhan, ada sosok Ngabehi Joyo Manggata yang berposisi sama, sebagai panglima atas pasukan kecil dan lurah. Dari nama tokoh ini kemudian diduga muncul nama kampung Jomegatan, peleburan atas kata “Joyo Manggata” dan akhiran “an” yang dalam bahasa Jawa menunjukkan sebuah keterangan tempat. Dugaan ini, tentu bisa dipercaya atau sebaliknya boleh dinafikkan. Tapi setidaknya masih bisa dijadikan sebagai bahan kajian sejarah lebih lanjut.
Sedang dalam tilikan geografis, lanskap kampung Nitiprayan dan Jomegatan sendiri tidak jauh lebih istimewa ketimbang dusun-dusun lain di sepanjang tlatah Ngestiharjo, kecamatan Kasihan. Relatif bersahaja. Apalagi dibandingkan dengan kampung-kampung lain di wilayah kabupaten Bantul yang secara alamiah, dalam beberapa perspektif, masih banyak menyuguhkan panorama “mooi indie”, Hindia Belanda nan molek.
Ada memang segaris sungai yang membelah dan menjadi pembatas antara dua kampung tersebut. Tapi malah mengalirkan masalah. Sungai itu Lonthe namanya. Entahlah, saya tak tahu bagaimana asal-usul kisahnya hingga muncul nama yang begitu “sadis” untuk menandai keberadaannya. Mungkin itu sekadar pisuhan atau umpatan yang bergeser menjadi tetenger karena memang nyaris tak ada lanskap nan elok pada jelujur tubuh sungai itu. Air dan aroma yang dialirkannya sangat tidak bersahabat. Berkilo-kilometer sebelum akhirnya merambah wilayah Nitiprayan-Jomegatan, air sungai ini telah dititipi dengan beragam limbah yang mengeruhkan warna air dan bau yang begitu menyengat hidung. Ada limbah dari peternakan babi, pabrik tahu, sampah rumah tangga dan home industry lainnya yang berbaur dan tumpah-ruah menggelontor sungai ini. Barangkali karena air berlimbah dengan bau busuk menusuk itulah membuat orang yang melewati sungai ini lantas secara spontan berucap kata “lonthe” sebagai wujud “tegur-sapa”, dan lambat-laun kemudian menjadi tetenger.
Dua kampung ini, terutama Nitiprayan, juga memiliki berpetak-petak sawah menghampar yang masih produktif. Dari luas dua kampung yang secara keseluruhan sekitar 64,5 hektar, sepertiga di antaranya – sekitar 20-21 hektar – terdiri dari lahan persawahan. Namun dalam beberapa tahun terakhir arealnya terus terkurangi oleh kehadiran rumah juga perumahan yang dibangun oleh perorangan atau developer. Sebuah gejala umum yang terjadi pada banyak wilayah pedesaan. Ini bagai sebuah lingkaran waktu dengan keniscayaan sejarah yang harus terberikan (given) tanpa bisa ditolak. Populasi penduduk yang terus bertambah, tak terelakkan lagi, berimbas pada kebutuhan yang menaik akan permukiman.
Namun kawasan pedusunan yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer ke arah barat-daya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini masih cukup menyimpan kilasan eksotisme ala pedusunan Jawa. Rumah-rumah dengan arsitektur tradisional Jawa, terutama berjenis limasan yang bersahaja dengan berbagai variasinya, masih banyak dijumpai. Tentu telah diimpit oleh banyak rumah baru berarsitektur “modern” yang (celakanya) dianggap sebagai simbol perkembangan jaman dan status sosial bagi pemiliknya. Beberapa rumah di antaranya, meski telah kian menyusut, masih memiliki artifak kesenian tradisional, semisal perangkat gamelan, wayang (meski tak lengkap), juga lesung, dan lainnya.
Kekayaan lain yang tak tampak (intangible) di antara dua kampung yang dihuni oleh sekitar 800-an KK (Kepala Keluarga) dan 3.102 warga dalam lingkup 14 Rukun Tetangga (RT) ini adalah ihwal tingkat akomodasi sosial yang cukup tinggi dari warga “pribumi” terhadap “pendatang”. Ini melengkapi kekayaan intangible lain seperti bahasa tutur Jawa yang kuat mewarnai keseharian, pengetahuan penguasaan terhadap tembang-tembang Jawa, lakon ketoprak, dan semacamnya.
Dua kata yang cukup sensitif, “pribumi” dan “pendatang” terpaksa harus saya sandingkan di atas semata-mata untuk “mengidentifikasi” pembauran antar-warga di dalam dusun ini, bukan pada kerangka untuk membandingkan, memilah dan memperhadapkan satu sama lain secara diametral. Akomodasi dan keguyuban dimungkinkan terjadi karena, antara lain, “pendatang” tidak menciptakan komune tersendiri yang terpisah dan eksklusif. Hampir tak ada kos-kosan dengan penghuni puluhan kamar tanpa didampingi induk semang yang lalu cuek dengan lingkungan atawa asosial. Demikian juga yang “pribumi”, dengan sadar meniscayakan kebersamaan lewat cara menempatkan mental sebagai “induk semang” yang egaliter, bukan “juragan kos-kosan” yang acap sekadar mengedepankan aspek untung-rugi ekonomis. Mentalitas sebagai “induk semang” semacam inilah yang banyak terkikis di belahan wilayah lain di Yogyakarta kini.
***
Kedua
Kalau pada perkembangan berikutnya kampung Nitiprayan dan Jomegatan diasumsikan memiliki “atmosfir seni” yang cukup terasa dibandingkan dengan dusun lain di sekitarnya, tentu bukan tanpa sebab. Di wilayah ini banyak sekali para seniman atau calon seniman – dengan beragam disiplin seni – bertempat tinggal.
Ada seniman yang menjadi warga setempat dengan “modus” indekos. Ada yang mengontrak rumah sak gluntung yang ditempati sendiri atau berbarengan beramai-ramai. Pun ada yang mengawali dengan indekos, sukses jadi seniman kondhang, lalu mulai kaya dan kemudian membeli tanah serta mendirikan rumah di atasnya. Ada pula yang masuk sebagai anak kos untuk selanjutnya dipek mantu (menjadi menantu) oleh warga setempat. Atau ada pula yang sempat “mampir” tinggal untuk berproses beberapa lama di sini, untuk kemudian menetap di tempat lain. Sebut saja misalnya nama-nama perupa Dadang Christanto yang sekarang tinggal di Darwin Australia. Atau almarhum pelawak Pak Bendhot Srimulat. Juga perupa Entang Wiharso, Made Sukadana, Faisal, Budi Ubrux, dan masih sederet panjang nama-nama lain.
Sedang mereka yang hingga saat ini masih menetap di kawasan ini di antaranya perupa Ong Hari Wahyu, Putu Sutawijaya, Hedi Hariyanto, Teguh Wiyatno, Gusti Ngurah Udiantara, Yogie Setyawan, praktisi multimedia Bambang J.P., teaterawan Heru Kesawamurti, Whani Darmawan, koreografer Lies Apriani, komunitas Rumah Panggung, aktivis LSM Toto Rahardjo, dan masih sederet nama lainnya. Juga bermukim di sini puluhan calon seniman yang tengah bergelut dengan proses kreatif di jalur akademik dan praktik berkesenian yang sesungguhnya bersama kehidupan di sekitarnya.
Mereka – para seniman dan calon seniman itu – umumnya adalah anak sekolahan yang berkesempatan untuk menimba ilmu di sekolah seni dan perguruan tinggi seni. Maklum, di tengah ketiga dusun ini ada sebuah SMKN (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri) 2 Kasihan Bantul yang merupakan penggabungan dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Sekolah Menengah Musik (SMM), dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Juga, satu setengah kilometer arah utara dari dusun ini – di bilangan Gampingan, Wirobrajan – ada bekas gedung kampus Fakultas Seni Rupa ISI (dulu STSRI “ASRI”) sebelum ditutup tahun 1997 dan bergabung di kampus ISI (Institut Seni Indonesia) terpadu di Sewon Bantul. Kampus ISI Yogyakarta sendiri berjarak sekitar 7 km dari kampung ini. Situs-situs tersebut memiliki andil besar untuk memberi warna dan atmosfir seni di kampung Nitiprayan dan Jomegatan.
Tetapi, tentu, hal yang juga memberi saham pada karakter dasar dan iklim berkesenian di sini adalah garis sejarah cukup panjang yang telah ditorehkan oleh para pendahulunya yang telah lama hidup dan bermukin sebelumnya. Mereka merupakan para sesepuh kampung yang banyak di antaranya bergelut dan berprofesi sebagai seniman, khususnya dari disiplin seni tradisi. Misalnya seniman ketoprak, pedalangan, mandra wanara (wayang orang), jathilan bahkan dhagelan (lawak).
Di kampung ini ada nama-nama penting yang bisa disebut, semisal, sosok Karto Togen, Ngadimin Hadi Prabowo alias Darso, juga Atmo Sanyoto atau yang lebih dikenal sebagai Atmo Sipun. Semuanya telah almarhum. Mereka merupakan penggiat seni tradisi pada kurun waktu 1960-an hingga 1970-an. Mungkin mereka tak terlampau terkenal, namun memiliki mobilitas cukup tinggi karena reputasi kesenimanannya hingga ditanggap ke sana-sini. Para pendhagel (pelawak) ala Mataraman papan atas seperti Basiyo dan Junedi banyak disangga kelegendaannya oleh Karto Togen atau Ngadimin yang bermitra ketika berpentas di panggung-panggung terbuka atau di studio rekaman (kaset) dan RRI Nusantara II Yogyakarta dulu. Dalam banyak lakon yang dimainkan, sosok semacam Karto Togen berperan penting sebagai “pemancing” sementara Basiyo atau Junedi-lah bintang panggungnya. Ini pola relasi yang sudah lazim dan “tersistem” dalam dunia panggung.
Pada perkembangan berikutnya, modernitas yang menerobos nyaris di semua jengkal kehidupan, apa boleh buat, memberi andil besar untuk meminggirkan keberadaan dan nasib kesenian tradisi. Ini bagai keniscayaan sejarah. Seperti halnya dalam dunia bisnis dikenal hukum law of deminishing return yakni suatu produk kian lama akan kian kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk-produk pesaing yang lebih baik. Maka sebuah produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu andaikata seni tradisi tidak melakukan inovasi dan tidak berani membawa angin perubahan, cepat atau lambat akan ditenggelamkan oleh sang kala.
Seperti sekarang, misalnya, modernisme membopong perkembangan teknologi televisi dan film, yang kemudian beranak-pinak melahirkan budaya menonton film, video dan televisi. Maka apabila kesenian tradisional semacam ketoprak, wayang, dhagelan Mataraman, atau jathilan tidak mengendus denyut perubahan, tak pelak, lambat-laun tertepikan oleh perhatian masyarakatnya sendiri.
Alhasil, mereka yang sebelumnya menghidupi diri sebagai seniman seni tradisi mulai tergerus zaman dan – mau tak mau – beralih mencari penghidupan di lahan lain yang bisa membuatnya bertahan hidup. Denyut kesenian bagi sosok seperti Karto Togen, Ngadimin atau Atmo Sipun dan para keturunannya kini telah bergeser dari lahan profesi menjadi klangenan yang nostalgik ketika ada jeda waktu senggang di celah kesibukan hariannya. Kesenian barangkali telah beralih format dengan diugemi dan ditempatkan oleh mereka sebagai cara hidup juga daya hidup dalam bersiasat membangun mental untuk melakoni kehidupan sehari-hari. Bukan lagi sebagai alat untuk menghidupi diri.
***
Ketiga
Modal kultural yang dimiliki oleh dusun Nitiprayan dan Jomegatan relatif telah cukup sarat. Ada kondisi fisik yang beragam seperti kawasan permukiman, lahan terbuka, dan persawahan. Juga – ini yang penting meski bisa dianggap abstrak – ada situasi mental sebagian besar warganya yang mengikatkan diri dalam keguyuban sosial ala masyarakat tradisional yang egaliter dan belum terangkul kuat oleh individualisme. Dan tentu saja mengendapnya kepemilikan modal atas “sistem pengetahuan” terhadap bentuk kreasi seni yang membuat iklim apresiasi bisa dikembangkan. Poin-poin inilah yang sedikit banyak bisa dipetakan untuk dijadikan bekal ketika memandang Nitiprayan dan Jomegatan tidak sekadar sebagai wilayah sosial dan hukum namun juga sebagai “panggung, galeri, atau pun laboratorium kreatif”.
Begitulah. Semua lanskap realitas sosial tersebut kiranya menempel kuat dalam pikiran sosok seperti Ong Hari Wahyu, perupa jebolan Seni Grafis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang lebih dikenal sebagai disainer grafis. Sebagai “pendatang” yang telah menetap di Nitiprayan sekitar awal 1990-an, dia kurang lebih telah cukup memahami betul lekuk-liku problematika, isi perut dan kebutuhan yang ada di kampungnya itu.
Maka, kemudian, ada titik-kait yang melekat kalau kemudian muncul gagasan untuk menjadikan dusun Nitiprayan dan Jomegatan sebagai “panggung, galeri sekaligus laboratorium kreatif” yang diimplementasikan lewat perhelatan bernama festival. Ya, Ong Hari Wahyu sebagai sosok sentral dalam perhelatan ini tentu saja mengais seutuhnya realitas yang mengemuka di lingkungannya untuk diapresiasi kembali dalam wujud yang lebih populis (karena dapat oleh banyak warga) dan egaliter (karena dapat dikomunikasikan dengan menghilangkan sekat-sekat sosial), yakni dengan format festival itu.
Untuk mewujudkan itu jelas perlu rentang waktu dan jalan yang tak mulus. Ini perkara klasik, “gampang-gampang sulit”. Gampang karena kebutuhan mendasar sebuah perhelatan festival sudah dimiliki. Sumber daya alam, oke. SDM (khususnya bidang seni), no problem. Kegiatan mengoordinasi dan mengorganisasi, itulah persoalannya. Ratusan warga dengan banyak ide tapi mandeg di implementasi. Atau sebaliknya, warga dengan semangat besar tapi masih minus gagasan, menjadikan tugas untuk mengorganisasikannya perlu waktu cukup lama.
Pada titik inilah saya kira keberadaan dan peran Ong sebagai fasilitator dan motor penggerak warga menjadi sangat penting. Format “pesta kampung” yang selama ini masih terus berlangsung dengan respons bagus, yakni acara “tujuhbelasan” pada peringatan Kemerdekaan RI (yang juga lazim terjadi hampir di semua kampung di Indonesia), dicomot dan “dipindahkan” spirit dan waktunya menjadi bulan September.
Gagasan ini juga berangkat dari potongan-potongan peristiwa kesenian atau kebudayaan lain yang secara sporadis telah berlangsung sebelumnya di kampung ini. Misalnya perhelatan “Ruwatan Bumi” yang berlangsung untuk memperingati Hari Bumi, awal April 1998. Acara ini menampilkan beberapa performance dari seniman seperti Dadang Christanto, Ong Hary Wahyu sendiri, kelompok Jathilan Kudho Kinasih dan musik Nyai Kanjeng. Waktu itu Dadang Chistanto menampilkan happening art tunggal di sela karya instalasinya dengan mengambil tema Suara dari Dalam Tanah. Karya instalasi tersebut mengambil tema-tema recycling dan kekerasan. Pesan moral yang hendak disampaikan berkisar pada problem kekerasan yang masih sering terjadi di mana-mana.
Setelah beberapa kali mengadakan perhelatan “pemanasan” dan “perintis” semacam di atas, maka tahun 2003, saya kira menjadi tahun penting bagi perjalanan perhelatan di kampung Nitiprayan-Jomegatan. Sore itu, Sabtu 18 September 2003, Bupati Bantul Idham Samawi secara resmi membuka perhelatan “Kenduri Rakyat Minta Hujan”. Acara yang melibatkan ratusan warga setempat itu dihadiri oleh sekian banyak lurah se-Bantul dan ribuan masyarakat dari luar kampung Nitiprayan-Jomegatan. Acara itu berlangsung selama tiga hari dengan menampilkan beragam jenis seni pertunjukan.
Perhelatan ini menjadi penting karena negara, dalam hal ini Pemda Bantul, mampu merespons dan mengakomodasi kepentingan acara yang gagasannya muncul dari bawah (bottom-up). Pengakomodasian berujud dukungan dana dan seremoni pembukaan yang langsung dilakukan oleh Bupati, telah menegaskan pentingnya keberadaan perhelatan ini, minimal bagi warga kampung setempat. Dan seperti diakui oleh Idham Samawi sendiri, gagasan menarik ini pantas diterapkan di kampung-kampung lain. Tentu bukan berupaya memunculkan heroisasi terhadap Nitiprayan-Jomegatan kalau selanjutnya pada waktu-waktu berikutnya banyak kampung di kawasan lain juga menyelenggarakan acara serupa. “Wabah” festival desa menyebar di ruang-ruang yang lebih luas.
“Kenduri Rakyat Minta Hujan” ini menjadi kian menarik karena pada waktu yang hampir bersamaan berlangsung Biennalle Seni Rupa Yogyakarta VII/2003 bertajuk kuratorial “Country-bution” yang pembukaannya berlangsung sehari sebelumnya. Dari dua event dengan format dan target berbeda ini publik (seni) langsung diberi bahan komparasi untuk bisa mengantongi pola pemaknaan tersendiri atas pentingnya kehadiran dan kemanfaatan seni di tengah masyarakat. “Kenduri Rakyat Minta Hujan” diakhiri dengan acara ketoprak yang tak bisa tuntas karena tiba-tiba hujan lebat pun bagai ditumpahkan oleh Tuhan untuk mengguyur bumi, menggenangi areal persawahan yang menjadi panggung ketoprak itu...
Tahun berikutnya, perhelatan bertajuk “Festival Seni Desa” melibatkan secara utuh warga Dusun VII kelurahan Ngestiharjo, yakni kampung Nitiprayan, Jomegatan dan Gumuk. Event yang berlangsung 4-7 September 2004 ini kembali difasilitasi oleh Pemda Bantul, dan tentu saja, pertama-tama, oleh hasrat dan antusiasme warga tiga kampung itu. Ribuan publik Yogyakarta juga penuh minat menyaksikan perhelatan ini karena di antara sekian banyak acara yang dipergelarkan di beberpa venues, tampil juga teater musik semi-kolosal yang menjadi magnet perhelatan, berlakon “Kembalinya Legenda Sawunggaling”. Pentas ini disuguhkan oleh seniman Sawung Jabo dan Don Mamouney yang mengolaborasikan antara kelompok Sidetrack Perfomance Group (Australia) dan Wot Cross-Cultural Synergy (Indonesia).
Selanjutnya, untuk tahun 2005, festival ini semakin berkembang. Setidaknya ada dua hal. Pertama, ada pihak lain di luar Pemda Bantul yang menaruh minat untuk berperan membantu keberlangsungan acara ini dengan menjadi penyandang dana. Kedua, ada dua daerah lain – dari Wonosobo dan Batu (Malang) – yang secara komunal tampil membawa nama daerahnya. Oleh karenanya, tajuk perhelatan ini pun menjadi “Festival Tiga Saudara”. Gagasan untuk menampilkan kelompok kesenian dari dua daerah lain itu murni datang dari bawah yang selanjutnya difasilitasi oleh Pemda masing-masing. Selanjutnya, untuk tahun 2006 ini perhelatan untuk sementara absen.
***
Keempat
Perhelatan kesenian ini – sebagai subsistem dari peristiwa kebudayaan – tentu menjadi hal menarik yang pantas dicermati karena keterlibatan sebagian besar warga kampung, mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak sebagai bagian yang integral dan organik. Sekat-sekat sosial, agama, kelas, kesukuan atau hal-hal yang berbau primordial telah cair diretas oleh kepentingan akan kebersamaan. Secara kooperatif mereka berpadu mulai dari proses pemrakarsaan, pengembangkan gagasan, membuat alokasi tempat-waktu-dana bagi cabang kesenian yang akan tampil, hingga tahap eksekusi di lapangan. Bahkan hingga detil ihwal keamanan, prediksi atas membludaknya penonton, alternatif pemarkiran kendaraan pengunjung, semuanya dirancang dan diimplementasikan begitu baik dengan melibatkan seluruh warga, terutama tim panitia yang aktif sejak awal hingga perhelatan usai.
Dari perspektif lain, bukanlah berlebihan kalau dikatakan bahwa kebutuhan estetik warga telah begitu mengemuka mengiringi pemenuhan akan kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan integratif lainnya. Realitas ini – betapa pun sederhananya tuntutan akan ihwal estetik – dalam pemahaman Geertz (1973), telah memposisikan kesenian sebagai model kognisi atau sistem simbol bagi masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan, menghubungkan pengetahuan, dan bertindak untuk memenuhi kebutuhan integratif yang berkait dengan pengungkapan dan penghayatan estetiknya. Maka, persentuhan selera, pemahaman, dan penghayatan yang menumbuhkan rasa pesona itu akan memperoleh maknanya jika yang terlibat di dalamnya menggunakan simbol-simbol yang dipahami bersama dalam konteks kebudayaan dan komunitasnya.
Suguhan kesenian ketoprak, misalnya, menjadi magnet yang begitu menarik sampai menyedot ratusan penonton meski berlangsung mulai jam 21.30 hingga bubar pukul 01.00 dini hari. Demikian juga beberapa pertunjukan seni lain. Di samping mengkristalnya pemahaman atas simbol yang dihadirkan oleh penampil terhadap penonton, juga karena munculnya spirit komunalitas yang kental di dalamnya. Para pemain ketoprak sehari-harinya adalah tetangga, kakak, anak kos, menantu, teman kongko-kongko, atau sahabat curhat bagi para penontonnya sendiri, sehingga mampu memutuskan garis batas klasik-formal antara kreator yang tengah manggung dan apresiator yang berupaya melakukan re-kreasi sekaligus memproduksi makna. Tak heran, pertunjukan begitu cair, interaktif serta menjadi medium komunikasi yang karib sebagai bagian dari sistem sosial yang telah dibangun sebelumnya. Alur cerita ketoprak terkadang “rusak” karena pemain tak hafal teks dan cengengesan, atau teriakan-teriakan penonton yang ngerjain pemain sehingga konsentrasi buyar lantaran sibuk merspons balik penonton.
Dalam perspektif lain, kenyataan ini sekaligus mengisyaratkan pentingnya praktik kesenian, yang dalam istilah Rapoport (1969) disebut sebagai strategi adaptif dari seorang atau kelompok masyarakat tertentu untuk memenuhi kebutuhan estetiknya dalam menghadapi kondisi lingkungan tertentu. Kondisi obyektif ini patut dikemukakan karena trio kampung Nitiprayan-Jomegatan mirip seperti halnya dengan ratusan dusun di seantero Yogyakarta yang telah dipenuh-sesaki oleh para pendatang. Menariknya, meskipun para pendatang cukup banyak menetap di trio kampung ini, karakter kampung khas Jawa yang mengedepankan semangat kebersamaan dan kekeluargaan tidak dengan serta-merta ditinggalkan.
Saya meyakini banyak kampung lain di berbagai tlatah (kawasan) di Yogyakarta yang masih setia merawat kampungnya, dalam pengertian lebih luas dan dinamis. Mereka masih melakukan praktik-praktik kebudayaan dengan memelihara tangible cultural property (properti budaya fisik) seperti arsitektur joglo, limasan dan bangunan khas lokal lain; intangible cultural property (properti budaya non-fisik) semisal ketoprak, jathilan; hingga folk cultural property (properti budaya kerakyatan) umpamanya upacara adat, makanan khas, dan sebagainya. Semuanya berasumsi untuk merawat kearifan lokal yang ada.
Dalam konsep formal pun sebenarnya pemerintah provinsi juga sejak lama berupaya menggagas munculnya “kampung budaya”. Belasan tahun lalu Gubernur Paku Alam VIII telah menerbitkan SK Gubernur nomor 325/KPTS/1995 yang melegitimasi gagasan pembinaan dan pengembangan “kampung budaya”. Tentu ide ini sangat menarik dan menjanjikan banyak harapan bagi alternatif pengayaan pemahaman akan pariwisata. Sayang, lagi-lagi, implementasinya yang datang dari atas hampir tidak ada. Justru munculnya sosok-sosok seperti Ong Hari Wahyu yang didukung sepenuhnya oleh warga kampunglah yang bisa diharapkan menghidupkan gagasan atas “kampung budaya” tidak berhenti sebatas slogan.
Maka kehadiran perhelatan seperti yang dilakukan oleh warga Nitiprayan dan Jomegatan bisa dijadikan salah satu “contoh kasus” untuk menerapkan gagasan “kampung budaya”. Imbas sosiologis dari peristiwa itu begitu positif untuk membangun masyarakat yang dewasa dengan mengedepankan kebersamaan. Setidaknya, lewat praktik kebudayaan seperti itu, warga bisa memaknai kehadirannya sebagai makhluk sosial (homo socius) di lingkungannya.
Kuss Indarto, kurator seni rupa, pemerhati sosial budaya. Tinggal di Nitiprayan, Ngestiharjo, Bantul.
(Tulisan ini dimuat dalam buletin Taman Budaya Yogyakarta, Mata Jendela, edisi 2 September 2006)
Pertama
Hingga kini belum ada catatan sejarah yang layak dijadikan sebagai acuan pasti untuk merujuk aspek etimologis (asal-usul kata) atas kampung Nitiprayan dan Jomegatan. Salah seorang pengamat budaya Jawa, Raden Pangeran Adipati (RPA) Suryanto Sastroatmojo – dalam sebuah percakapan pribadi dengan penulis pada tahun 2004 – menduga bahwa dari nama sosok Ngabehi Nitipraya-lah sebutan kampung Nitiprayan bermula.
Sosok ini menjadi pimpinan sebuah pasukan kecil yang kemudian dipercaya sebagai “lurah" di lingkungan baru tersebut. Dia menjabat lurah pada jaman kekuasaan Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang memerintah pada kisaran 1877 hingga 1921. Sultan yang dijuluki sebagai “Sultan Sugih” ini – karena banyak memiliki pabrik hingga 17 buah seiring dengan mulainya modernisasi di Mataram, juga sugih (kaya) anak karena memiliki keturunan hingga 79 anak dari permaisuri dan beberapa selir – banyak melakukan perombakan dan penyempurnaan sistem pengelolaan pemerintahan. Dan diduga, Ngabehi Nitipraya ini menjadi satu dari sekian banyak orang yang mendistribusikan gagasan pengelolaan pemerintahan Sultan HB VII.
Pada rentang jarak dan waktu yang tak berjauhan, ada sosok Ngabehi Joyo Manggata yang berposisi sama, sebagai panglima atas pasukan kecil dan lurah. Dari nama tokoh ini kemudian diduga muncul nama kampung Jomegatan, peleburan atas kata “Joyo Manggata” dan akhiran “an” yang dalam bahasa Jawa menunjukkan sebuah keterangan tempat. Dugaan ini, tentu bisa dipercaya atau sebaliknya boleh dinafikkan. Tapi setidaknya masih bisa dijadikan sebagai bahan kajian sejarah lebih lanjut.
Sedang dalam tilikan geografis, lanskap kampung Nitiprayan dan Jomegatan sendiri tidak jauh lebih istimewa ketimbang dusun-dusun lain di sepanjang tlatah Ngestiharjo, kecamatan Kasihan. Relatif bersahaja. Apalagi dibandingkan dengan kampung-kampung lain di wilayah kabupaten Bantul yang secara alamiah, dalam beberapa perspektif, masih banyak menyuguhkan panorama “mooi indie”, Hindia Belanda nan molek.
Ada memang segaris sungai yang membelah dan menjadi pembatas antara dua kampung tersebut. Tapi malah mengalirkan masalah. Sungai itu Lonthe namanya. Entahlah, saya tak tahu bagaimana asal-usul kisahnya hingga muncul nama yang begitu “sadis” untuk menandai keberadaannya. Mungkin itu sekadar pisuhan atau umpatan yang bergeser menjadi tetenger karena memang nyaris tak ada lanskap nan elok pada jelujur tubuh sungai itu. Air dan aroma yang dialirkannya sangat tidak bersahabat. Berkilo-kilometer sebelum akhirnya merambah wilayah Nitiprayan-Jomegatan, air sungai ini telah dititipi dengan beragam limbah yang mengeruhkan warna air dan bau yang begitu menyengat hidung. Ada limbah dari peternakan babi, pabrik tahu, sampah rumah tangga dan home industry lainnya yang berbaur dan tumpah-ruah menggelontor sungai ini. Barangkali karena air berlimbah dengan bau busuk menusuk itulah membuat orang yang melewati sungai ini lantas secara spontan berucap kata “lonthe” sebagai wujud “tegur-sapa”, dan lambat-laun kemudian menjadi tetenger.
Dua kampung ini, terutama Nitiprayan, juga memiliki berpetak-petak sawah menghampar yang masih produktif. Dari luas dua kampung yang secara keseluruhan sekitar 64,5 hektar, sepertiga di antaranya – sekitar 20-21 hektar – terdiri dari lahan persawahan. Namun dalam beberapa tahun terakhir arealnya terus terkurangi oleh kehadiran rumah juga perumahan yang dibangun oleh perorangan atau developer. Sebuah gejala umum yang terjadi pada banyak wilayah pedesaan. Ini bagai sebuah lingkaran waktu dengan keniscayaan sejarah yang harus terberikan (given) tanpa bisa ditolak. Populasi penduduk yang terus bertambah, tak terelakkan lagi, berimbas pada kebutuhan yang menaik akan permukiman.
Namun kawasan pedusunan yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer ke arah barat-daya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini masih cukup menyimpan kilasan eksotisme ala pedusunan Jawa. Rumah-rumah dengan arsitektur tradisional Jawa, terutama berjenis limasan yang bersahaja dengan berbagai variasinya, masih banyak dijumpai. Tentu telah diimpit oleh banyak rumah baru berarsitektur “modern” yang (celakanya) dianggap sebagai simbol perkembangan jaman dan status sosial bagi pemiliknya. Beberapa rumah di antaranya, meski telah kian menyusut, masih memiliki artifak kesenian tradisional, semisal perangkat gamelan, wayang (meski tak lengkap), juga lesung, dan lainnya.
Kekayaan lain yang tak tampak (intangible) di antara dua kampung yang dihuni oleh sekitar 800-an KK (Kepala Keluarga) dan 3.102 warga dalam lingkup 14 Rukun Tetangga (RT) ini adalah ihwal tingkat akomodasi sosial yang cukup tinggi dari warga “pribumi” terhadap “pendatang”. Ini melengkapi kekayaan intangible lain seperti bahasa tutur Jawa yang kuat mewarnai keseharian, pengetahuan penguasaan terhadap tembang-tembang Jawa, lakon ketoprak, dan semacamnya.
Dua kata yang cukup sensitif, “pribumi” dan “pendatang” terpaksa harus saya sandingkan di atas semata-mata untuk “mengidentifikasi” pembauran antar-warga di dalam dusun ini, bukan pada kerangka untuk membandingkan, memilah dan memperhadapkan satu sama lain secara diametral. Akomodasi dan keguyuban dimungkinkan terjadi karena, antara lain, “pendatang” tidak menciptakan komune tersendiri yang terpisah dan eksklusif. Hampir tak ada kos-kosan dengan penghuni puluhan kamar tanpa didampingi induk semang yang lalu cuek dengan lingkungan atawa asosial. Demikian juga yang “pribumi”, dengan sadar meniscayakan kebersamaan lewat cara menempatkan mental sebagai “induk semang” yang egaliter, bukan “juragan kos-kosan” yang acap sekadar mengedepankan aspek untung-rugi ekonomis. Mentalitas sebagai “induk semang” semacam inilah yang banyak terkikis di belahan wilayah lain di Yogyakarta kini.
***
Kedua
Kalau pada perkembangan berikutnya kampung Nitiprayan dan Jomegatan diasumsikan memiliki “atmosfir seni” yang cukup terasa dibandingkan dengan dusun lain di sekitarnya, tentu bukan tanpa sebab. Di wilayah ini banyak sekali para seniman atau calon seniman – dengan beragam disiplin seni – bertempat tinggal.
Ada seniman yang menjadi warga setempat dengan “modus” indekos. Ada yang mengontrak rumah sak gluntung yang ditempati sendiri atau berbarengan beramai-ramai. Pun ada yang mengawali dengan indekos, sukses jadi seniman kondhang, lalu mulai kaya dan kemudian membeli tanah serta mendirikan rumah di atasnya. Ada pula yang masuk sebagai anak kos untuk selanjutnya dipek mantu (menjadi menantu) oleh warga setempat. Atau ada pula yang sempat “mampir” tinggal untuk berproses beberapa lama di sini, untuk kemudian menetap di tempat lain. Sebut saja misalnya nama-nama perupa Dadang Christanto yang sekarang tinggal di Darwin Australia. Atau almarhum pelawak Pak Bendhot Srimulat. Juga perupa Entang Wiharso, Made Sukadana, Faisal, Budi Ubrux, dan masih sederet panjang nama-nama lain.
Sedang mereka yang hingga saat ini masih menetap di kawasan ini di antaranya perupa Ong Hari Wahyu, Putu Sutawijaya, Hedi Hariyanto, Teguh Wiyatno, Gusti Ngurah Udiantara, Yogie Setyawan, praktisi multimedia Bambang J.P., teaterawan Heru Kesawamurti, Whani Darmawan, koreografer Lies Apriani, komunitas Rumah Panggung, aktivis LSM Toto Rahardjo, dan masih sederet nama lainnya. Juga bermukim di sini puluhan calon seniman yang tengah bergelut dengan proses kreatif di jalur akademik dan praktik berkesenian yang sesungguhnya bersama kehidupan di sekitarnya.
Mereka – para seniman dan calon seniman itu – umumnya adalah anak sekolahan yang berkesempatan untuk menimba ilmu di sekolah seni dan perguruan tinggi seni. Maklum, di tengah ketiga dusun ini ada sebuah SMKN (Sekolah Menengah Kejuruan Negeri) 2 Kasihan Bantul yang merupakan penggabungan dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), Sekolah Menengah Musik (SMM), dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI). Juga, satu setengah kilometer arah utara dari dusun ini – di bilangan Gampingan, Wirobrajan – ada bekas gedung kampus Fakultas Seni Rupa ISI (dulu STSRI “ASRI”) sebelum ditutup tahun 1997 dan bergabung di kampus ISI (Institut Seni Indonesia) terpadu di Sewon Bantul. Kampus ISI Yogyakarta sendiri berjarak sekitar 7 km dari kampung ini. Situs-situs tersebut memiliki andil besar untuk memberi warna dan atmosfir seni di kampung Nitiprayan dan Jomegatan.
Tetapi, tentu, hal yang juga memberi saham pada karakter dasar dan iklim berkesenian di sini adalah garis sejarah cukup panjang yang telah ditorehkan oleh para pendahulunya yang telah lama hidup dan bermukin sebelumnya. Mereka merupakan para sesepuh kampung yang banyak di antaranya bergelut dan berprofesi sebagai seniman, khususnya dari disiplin seni tradisi. Misalnya seniman ketoprak, pedalangan, mandra wanara (wayang orang), jathilan bahkan dhagelan (lawak).
Di kampung ini ada nama-nama penting yang bisa disebut, semisal, sosok Karto Togen, Ngadimin Hadi Prabowo alias Darso, juga Atmo Sanyoto atau yang lebih dikenal sebagai Atmo Sipun. Semuanya telah almarhum. Mereka merupakan penggiat seni tradisi pada kurun waktu 1960-an hingga 1970-an. Mungkin mereka tak terlampau terkenal, namun memiliki mobilitas cukup tinggi karena reputasi kesenimanannya hingga ditanggap ke sana-sini. Para pendhagel (pelawak) ala Mataraman papan atas seperti Basiyo dan Junedi banyak disangga kelegendaannya oleh Karto Togen atau Ngadimin yang bermitra ketika berpentas di panggung-panggung terbuka atau di studio rekaman (kaset) dan RRI Nusantara II Yogyakarta dulu. Dalam banyak lakon yang dimainkan, sosok semacam Karto Togen berperan penting sebagai “pemancing” sementara Basiyo atau Junedi-lah bintang panggungnya. Ini pola relasi yang sudah lazim dan “tersistem” dalam dunia panggung.
Pada perkembangan berikutnya, modernitas yang menerobos nyaris di semua jengkal kehidupan, apa boleh buat, memberi andil besar untuk meminggirkan keberadaan dan nasib kesenian tradisi. Ini bagai keniscayaan sejarah. Seperti halnya dalam dunia bisnis dikenal hukum law of deminishing return yakni suatu produk kian lama akan kian kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produk-produk pesaing yang lebih baik. Maka sebuah produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu andaikata seni tradisi tidak melakukan inovasi dan tidak berani membawa angin perubahan, cepat atau lambat akan ditenggelamkan oleh sang kala.
Seperti sekarang, misalnya, modernisme membopong perkembangan teknologi televisi dan film, yang kemudian beranak-pinak melahirkan budaya menonton film, video dan televisi. Maka apabila kesenian tradisional semacam ketoprak, wayang, dhagelan Mataraman, atau jathilan tidak mengendus denyut perubahan, tak pelak, lambat-laun tertepikan oleh perhatian masyarakatnya sendiri.
Alhasil, mereka yang sebelumnya menghidupi diri sebagai seniman seni tradisi mulai tergerus zaman dan – mau tak mau – beralih mencari penghidupan di lahan lain yang bisa membuatnya bertahan hidup. Denyut kesenian bagi sosok seperti Karto Togen, Ngadimin atau Atmo Sipun dan para keturunannya kini telah bergeser dari lahan profesi menjadi klangenan yang nostalgik ketika ada jeda waktu senggang di celah kesibukan hariannya. Kesenian barangkali telah beralih format dengan diugemi dan ditempatkan oleh mereka sebagai cara hidup juga daya hidup dalam bersiasat membangun mental untuk melakoni kehidupan sehari-hari. Bukan lagi sebagai alat untuk menghidupi diri.
***
Ketiga
Modal kultural yang dimiliki oleh dusun Nitiprayan dan Jomegatan relatif telah cukup sarat. Ada kondisi fisik yang beragam seperti kawasan permukiman, lahan terbuka, dan persawahan. Juga – ini yang penting meski bisa dianggap abstrak – ada situasi mental sebagian besar warganya yang mengikatkan diri dalam keguyuban sosial ala masyarakat tradisional yang egaliter dan belum terangkul kuat oleh individualisme. Dan tentu saja mengendapnya kepemilikan modal atas “sistem pengetahuan” terhadap bentuk kreasi seni yang membuat iklim apresiasi bisa dikembangkan. Poin-poin inilah yang sedikit banyak bisa dipetakan untuk dijadikan bekal ketika memandang Nitiprayan dan Jomegatan tidak sekadar sebagai wilayah sosial dan hukum namun juga sebagai “panggung, galeri, atau pun laboratorium kreatif”.
Begitulah. Semua lanskap realitas sosial tersebut kiranya menempel kuat dalam pikiran sosok seperti Ong Hari Wahyu, perupa jebolan Seni Grafis, Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang lebih dikenal sebagai disainer grafis. Sebagai “pendatang” yang telah menetap di Nitiprayan sekitar awal 1990-an, dia kurang lebih telah cukup memahami betul lekuk-liku problematika, isi perut dan kebutuhan yang ada di kampungnya itu.
Maka, kemudian, ada titik-kait yang melekat kalau kemudian muncul gagasan untuk menjadikan dusun Nitiprayan dan Jomegatan sebagai “panggung, galeri sekaligus laboratorium kreatif” yang diimplementasikan lewat perhelatan bernama festival. Ya, Ong Hari Wahyu sebagai sosok sentral dalam perhelatan ini tentu saja mengais seutuhnya realitas yang mengemuka di lingkungannya untuk diapresiasi kembali dalam wujud yang lebih populis (karena dapat oleh banyak warga) dan egaliter (karena dapat dikomunikasikan dengan menghilangkan sekat-sekat sosial), yakni dengan format festival itu.
Untuk mewujudkan itu jelas perlu rentang waktu dan jalan yang tak mulus. Ini perkara klasik, “gampang-gampang sulit”. Gampang karena kebutuhan mendasar sebuah perhelatan festival sudah dimiliki. Sumber daya alam, oke. SDM (khususnya bidang seni), no problem. Kegiatan mengoordinasi dan mengorganisasi, itulah persoalannya. Ratusan warga dengan banyak ide tapi mandeg di implementasi. Atau sebaliknya, warga dengan semangat besar tapi masih minus gagasan, menjadikan tugas untuk mengorganisasikannya perlu waktu cukup lama.
Pada titik inilah saya kira keberadaan dan peran Ong sebagai fasilitator dan motor penggerak warga menjadi sangat penting. Format “pesta kampung” yang selama ini masih terus berlangsung dengan respons bagus, yakni acara “tujuhbelasan” pada peringatan Kemerdekaan RI (yang juga lazim terjadi hampir di semua kampung di Indonesia), dicomot dan “dipindahkan” spirit dan waktunya menjadi bulan September.
Gagasan ini juga berangkat dari potongan-potongan peristiwa kesenian atau kebudayaan lain yang secara sporadis telah berlangsung sebelumnya di kampung ini. Misalnya perhelatan “Ruwatan Bumi” yang berlangsung untuk memperingati Hari Bumi, awal April 1998. Acara ini menampilkan beberapa performance dari seniman seperti Dadang Christanto, Ong Hary Wahyu sendiri, kelompok Jathilan Kudho Kinasih dan musik Nyai Kanjeng. Waktu itu Dadang Chistanto menampilkan happening art tunggal di sela karya instalasinya dengan mengambil tema Suara dari Dalam Tanah. Karya instalasi tersebut mengambil tema-tema recycling dan kekerasan. Pesan moral yang hendak disampaikan berkisar pada problem kekerasan yang masih sering terjadi di mana-mana.
Setelah beberapa kali mengadakan perhelatan “pemanasan” dan “perintis” semacam di atas, maka tahun 2003, saya kira menjadi tahun penting bagi perjalanan perhelatan di kampung Nitiprayan-Jomegatan. Sore itu, Sabtu 18 September 2003, Bupati Bantul Idham Samawi secara resmi membuka perhelatan “Kenduri Rakyat Minta Hujan”. Acara yang melibatkan ratusan warga setempat itu dihadiri oleh sekian banyak lurah se-Bantul dan ribuan masyarakat dari luar kampung Nitiprayan-Jomegatan. Acara itu berlangsung selama tiga hari dengan menampilkan beragam jenis seni pertunjukan.
Perhelatan ini menjadi penting karena negara, dalam hal ini Pemda Bantul, mampu merespons dan mengakomodasi kepentingan acara yang gagasannya muncul dari bawah (bottom-up). Pengakomodasian berujud dukungan dana dan seremoni pembukaan yang langsung dilakukan oleh Bupati, telah menegaskan pentingnya keberadaan perhelatan ini, minimal bagi warga kampung setempat. Dan seperti diakui oleh Idham Samawi sendiri, gagasan menarik ini pantas diterapkan di kampung-kampung lain. Tentu bukan berupaya memunculkan heroisasi terhadap Nitiprayan-Jomegatan kalau selanjutnya pada waktu-waktu berikutnya banyak kampung di kawasan lain juga menyelenggarakan acara serupa. “Wabah” festival desa menyebar di ruang-ruang yang lebih luas.
“Kenduri Rakyat Minta Hujan” ini menjadi kian menarik karena pada waktu yang hampir bersamaan berlangsung Biennalle Seni Rupa Yogyakarta VII/2003 bertajuk kuratorial “Country-bution” yang pembukaannya berlangsung sehari sebelumnya. Dari dua event dengan format dan target berbeda ini publik (seni) langsung diberi bahan komparasi untuk bisa mengantongi pola pemaknaan tersendiri atas pentingnya kehadiran dan kemanfaatan seni di tengah masyarakat. “Kenduri Rakyat Minta Hujan” diakhiri dengan acara ketoprak yang tak bisa tuntas karena tiba-tiba hujan lebat pun bagai ditumpahkan oleh Tuhan untuk mengguyur bumi, menggenangi areal persawahan yang menjadi panggung ketoprak itu...
Tahun berikutnya, perhelatan bertajuk “Festival Seni Desa” melibatkan secara utuh warga Dusun VII kelurahan Ngestiharjo, yakni kampung Nitiprayan, Jomegatan dan Gumuk. Event yang berlangsung 4-7 September 2004 ini kembali difasilitasi oleh Pemda Bantul, dan tentu saja, pertama-tama, oleh hasrat dan antusiasme warga tiga kampung itu. Ribuan publik Yogyakarta juga penuh minat menyaksikan perhelatan ini karena di antara sekian banyak acara yang dipergelarkan di beberpa venues, tampil juga teater musik semi-kolosal yang menjadi magnet perhelatan, berlakon “Kembalinya Legenda Sawunggaling”. Pentas ini disuguhkan oleh seniman Sawung Jabo dan Don Mamouney yang mengolaborasikan antara kelompok Sidetrack Perfomance Group (Australia) dan Wot Cross-Cultural Synergy (Indonesia).
Selanjutnya, untuk tahun 2005, festival ini semakin berkembang. Setidaknya ada dua hal. Pertama, ada pihak lain di luar Pemda Bantul yang menaruh minat untuk berperan membantu keberlangsungan acara ini dengan menjadi penyandang dana. Kedua, ada dua daerah lain – dari Wonosobo dan Batu (Malang) – yang secara komunal tampil membawa nama daerahnya. Oleh karenanya, tajuk perhelatan ini pun menjadi “Festival Tiga Saudara”. Gagasan untuk menampilkan kelompok kesenian dari dua daerah lain itu murni datang dari bawah yang selanjutnya difasilitasi oleh Pemda masing-masing. Selanjutnya, untuk tahun 2006 ini perhelatan untuk sementara absen.
***
Keempat
Perhelatan kesenian ini – sebagai subsistem dari peristiwa kebudayaan – tentu menjadi hal menarik yang pantas dicermati karena keterlibatan sebagian besar warga kampung, mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak sebagai bagian yang integral dan organik. Sekat-sekat sosial, agama, kelas, kesukuan atau hal-hal yang berbau primordial telah cair diretas oleh kepentingan akan kebersamaan. Secara kooperatif mereka berpadu mulai dari proses pemrakarsaan, pengembangkan gagasan, membuat alokasi tempat-waktu-dana bagi cabang kesenian yang akan tampil, hingga tahap eksekusi di lapangan. Bahkan hingga detil ihwal keamanan, prediksi atas membludaknya penonton, alternatif pemarkiran kendaraan pengunjung, semuanya dirancang dan diimplementasikan begitu baik dengan melibatkan seluruh warga, terutama tim panitia yang aktif sejak awal hingga perhelatan usai.
Dari perspektif lain, bukanlah berlebihan kalau dikatakan bahwa kebutuhan estetik warga telah begitu mengemuka mengiringi pemenuhan akan kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan integratif lainnya. Realitas ini – betapa pun sederhananya tuntutan akan ihwal estetik – dalam pemahaman Geertz (1973), telah memposisikan kesenian sebagai model kognisi atau sistem simbol bagi masyarakat pendukungnya untuk berkomunikasi, melestarikan, menghubungkan pengetahuan, dan bertindak untuk memenuhi kebutuhan integratif yang berkait dengan pengungkapan dan penghayatan estetiknya. Maka, persentuhan selera, pemahaman, dan penghayatan yang menumbuhkan rasa pesona itu akan memperoleh maknanya jika yang terlibat di dalamnya menggunakan simbol-simbol yang dipahami bersama dalam konteks kebudayaan dan komunitasnya.
Suguhan kesenian ketoprak, misalnya, menjadi magnet yang begitu menarik sampai menyedot ratusan penonton meski berlangsung mulai jam 21.30 hingga bubar pukul 01.00 dini hari. Demikian juga beberapa pertunjukan seni lain. Di samping mengkristalnya pemahaman atas simbol yang dihadirkan oleh penampil terhadap penonton, juga karena munculnya spirit komunalitas yang kental di dalamnya. Para pemain ketoprak sehari-harinya adalah tetangga, kakak, anak kos, menantu, teman kongko-kongko, atau sahabat curhat bagi para penontonnya sendiri, sehingga mampu memutuskan garis batas klasik-formal antara kreator yang tengah manggung dan apresiator yang berupaya melakukan re-kreasi sekaligus memproduksi makna. Tak heran, pertunjukan begitu cair, interaktif serta menjadi medium komunikasi yang karib sebagai bagian dari sistem sosial yang telah dibangun sebelumnya. Alur cerita ketoprak terkadang “rusak” karena pemain tak hafal teks dan cengengesan, atau teriakan-teriakan penonton yang ngerjain pemain sehingga konsentrasi buyar lantaran sibuk merspons balik penonton.
Dalam perspektif lain, kenyataan ini sekaligus mengisyaratkan pentingnya praktik kesenian, yang dalam istilah Rapoport (1969) disebut sebagai strategi adaptif dari seorang atau kelompok masyarakat tertentu untuk memenuhi kebutuhan estetiknya dalam menghadapi kondisi lingkungan tertentu. Kondisi obyektif ini patut dikemukakan karena trio kampung Nitiprayan-Jomegatan mirip seperti halnya dengan ratusan dusun di seantero Yogyakarta yang telah dipenuh-sesaki oleh para pendatang. Menariknya, meskipun para pendatang cukup banyak menetap di trio kampung ini, karakter kampung khas Jawa yang mengedepankan semangat kebersamaan dan kekeluargaan tidak dengan serta-merta ditinggalkan.
Saya meyakini banyak kampung lain di berbagai tlatah (kawasan) di Yogyakarta yang masih setia merawat kampungnya, dalam pengertian lebih luas dan dinamis. Mereka masih melakukan praktik-praktik kebudayaan dengan memelihara tangible cultural property (properti budaya fisik) seperti arsitektur joglo, limasan dan bangunan khas lokal lain; intangible cultural property (properti budaya non-fisik) semisal ketoprak, jathilan; hingga folk cultural property (properti budaya kerakyatan) umpamanya upacara adat, makanan khas, dan sebagainya. Semuanya berasumsi untuk merawat kearifan lokal yang ada.
Dalam konsep formal pun sebenarnya pemerintah provinsi juga sejak lama berupaya menggagas munculnya “kampung budaya”. Belasan tahun lalu Gubernur Paku Alam VIII telah menerbitkan SK Gubernur nomor 325/KPTS/1995 yang melegitimasi gagasan pembinaan dan pengembangan “kampung budaya”. Tentu ide ini sangat menarik dan menjanjikan banyak harapan bagi alternatif pengayaan pemahaman akan pariwisata. Sayang, lagi-lagi, implementasinya yang datang dari atas hampir tidak ada. Justru munculnya sosok-sosok seperti Ong Hari Wahyu yang didukung sepenuhnya oleh warga kampunglah yang bisa diharapkan menghidupkan gagasan atas “kampung budaya” tidak berhenti sebatas slogan.
Maka kehadiran perhelatan seperti yang dilakukan oleh warga Nitiprayan dan Jomegatan bisa dijadikan salah satu “contoh kasus” untuk menerapkan gagasan “kampung budaya”. Imbas sosiologis dari peristiwa itu begitu positif untuk membangun masyarakat yang dewasa dengan mengedepankan kebersamaan. Setidaknya, lewat praktik kebudayaan seperti itu, warga bisa memaknai kehadirannya sebagai makhluk sosial (homo socius) di lingkungannya.
Kuss Indarto, kurator seni rupa, pemerhati sosial budaya. Tinggal di Nitiprayan, Ngestiharjo, Bantul.
(Tulisan ini dimuat dalam buletin Taman Budaya Yogyakarta, Mata Jendela, edisi 2 September 2006)
Comments