Penikmatan atas Keterasingan
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini telah dimuat dalam katalogus pameran Alienated Life. Pameran berlangsung di gedung Bentara Budaya Yogyakarta, 4-11 Januari 2005)
Memperbincangkan ihwal alienasi, keterkucilan atau keterasingan, dimungkinkan akan bermuara pada serentetan perbincangan yang berbau filosofis ihwal nilai-nilai hakiki manusia. Dan ini berisiko masuk dalam kubangan persoalan yang begitu rumit, mungkin juga absurd – tak jauh beda dengan absurditas Sisiphus yang dikisahkan oleh Homerus dan Albert Camus sebagai sosok yang bersetia jatuh-bangun membopong batu besar menuju puncak gunung.
Alienasi yang menimpa manusia salah satunya memiliki titik picu dari relasi manusia dengan agama. Setidaknya, ini pernah dipetakan begitu rinci oleh Karl Marx yang mengoreksi pandangan-pandangan Feuerbach. Feuerbach sendiri sebelumnya melakukan kritik agama untuk menyanggah Hegel. Inti kritik tersebut menyebut bahwa bukanlah Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia (Magnis-Suseno, 1999). Dengan lantang dia menyatakan bahwa “penderitaan manusia adalah tempat kelahiran Allah”. Lebih lanjut dikatakan bahwa agama hanyalah proyeksi hakikat manusia.
Konsep tentang Allah, malaikat, surga, atau neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambaran-gambaran yang dikonstruksikan oleh manusia tentang dirinya. Dia tak lebih sekadar angan-angan manusia tentang hakikatnya sendiri. Namun kemudian manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaannya sendiri. Feuerbach hendak mengatakan adanya laku fetisisme, pemberhalaan agama oleh manusia. Yakni bahwa penghadiran agama – tanpa disadari – adalah upaya penyembahan manusia tehadap hasil ciptaan sendiri. Dengan demikian, sebenarnya manusia menyatakan keseganan terhadap hakikatnya sendiri, tetapi tanpa menyadarinya. Agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri.
Oleh karenanya dengan ekstrem Feuerbach merekomendasi untuk meniadakan agama sehingga manusia mampu mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri. Ia harus “menarik agama ke dalam dirinya sendiri”. Konsep kepercayaan bahwa Tuhan itu Mahatahu, Mahabaik, Mahaadil harus dibongkar agar manusia mewujudkan potensi-potensinya bahwa dia sesungguhnya mampu menjadi tahu, baik, adil dan sebagainya. Dan, dengan demikian teologi diusulkannya menjadi antropologi karena menggali pemahaman terhadap manusia dianggap jauh lebih penting ketimbang mengorek “anatomi” dan “nilai” Tuhan.
Marx sendiri, setidaknya menggarisbawahi apa yang telah diungkapkan Feuerbach. Memang, manusialah yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia, katanya. Agama merupakan perealisasian hakikat manusia dalam angan-angan saja, yang menjadi tanda bahwa manusia justru belum berhasil mewujudkan hakikatnya. Agama menjadi tanda bagi keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Ya, mengapa manusia hanya merealisasikan hakikat dirinya dalam kesemuan khayalan agama? Dari titik inilah kemudian Marx “menemukan” sesuatu yang sangat penting: agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasar dari keterasingan manusia.
Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Marx menegaskan bahwa agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-angan karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sesungguhnya. Agama boleh jadi merupakan ungkapan penderitaan dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama menjadi semacam keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu “ruh zaman” yang tanpa ruh. Dan dengan ekstrem Marx menyebut agama sebagai candu rakyat.
Kritik (agama) Marx tersebut kemudian menemukan biang sasaran kritik yang sebenarnya, yakni masyarakat. Artinya kritik terhadap agama saja akan menjadi sia-sia karena tidak mengubah akar struktur sesungguhnya yang melahirkan agama, yakni masyarakat. Dengan demikian perbincangan yang rumit tentang alam filsafat dan kritik teoritis bergeser menuju arena politik. Dan agenda besarnya adalah mengubah struktur-struktur masyarakat, karena dari sanalah diasumsikan awal munculnya dasar keterasingan manusia.
Pertanyaan berikutnya, struktur masyarakat yang manakah itu? Marx menemukan jawabannya dalam analisis Hegel mengenai masyarakat modern yang memiliki kekhasannya yakni perpisahan antara civil society dan negara. Civil society sendiri adalah masyarakat luas atau lingkungan sosial manusia di luar keluarga dan negara, yakni lingkungan yang berfungsi menyediakan kebutuhan-kebutuhannya: lingkungan pekerjaan, pendidikan, rekreasi dan sebagainya. Ciri pokok yang prinsipil dalam civil society: kebutuhan praktis dan egoisme. Dalam civil society, orang bergerak bukan demi kepentingan bersama, melainkan demi kepentingan egoismenya sendiri. Namun tidak mungkin masyarakat bisa bersatu dan tahan semata-mata karena egoisme masing-masing warganya. Dan diasumsikan bahwa akumulasi egoisme semua individu akan menghasilkan anarki. Karena itu, sebagaimana yang dianalisis oleh Hegel, masyarakat memerlukan kekuatan yang mengatasi egoisme tersebut dan mempersatukan masyarakat dengan membentuk komunitas bernama negara.
Dengan demikian, manusia sudah terpilah ke dalam individu yang murni egois, yang mengejar kepentingan egoisnya sebagai warga negara yang bersifat moral dalam arti bahwa ia menahan diri dari tindakan tidak bermoral karena harus taat pada undang-undang yang dibuat oleh negara. Dari sini tampak bahwa Marx melihat keterasingan yang menghasilkan agama: dalam keterasingan manusia dari sifat sosialnya. Sebagai individu, manusia itu egois, dan ia hanya sosial karena harus taat pada negara. Secara ekstrem Marx menyebut bahwa negara bukan hanya dibuat lebih terbuka, tetapi harus dihapus karena yang dibutuhkan adalah emansipasi manusia sebagai manusia bukan emansipasi politis. Maka, bagi Marx, adanya negara membuktikan bahwa manusia terasing dari kesosialannya karena andaikata manusia sosial dengan sendirinya, tidak perlu ada negara yang memaksanya agar mau bersifat sosial.
Dalam derivat (turunan) yang lebih jauh, Marx juga menengarai adanya proses keterasingan dan keterkucilan manusia dalam atribusinya sebagai buruh pada sebuah industri. Dalam sistem yang kapitalistik, seorang buruh akan melakukan pekerjaannya tidak dalam upaya untuk merealisasikan hakikat mereka, melainkan justru mengasingkan diri mereka. Misalnya, seorang buruh. Mereka bisa merasa terasing dari produknya. Apalagi andai dia hanya mengerjakan bagian kecil dari sebuah mata rantai produk raksasa yang ketika sudah jadi, barangkali produknya tak pernah dilihat atau apalagi dikonsumsinya. Laku seperti itu, menurut Marx, akan memiskinkan dunia batinnya. Tindakan pekerjaan seperti itu pun kehilangan arti bagi si pekerja. Lama-kelamaan, dengan memperalat pekerjaannya semata-mata demi tujuan memperoleh nafkah, manusia akan memperalat dirinya sendiri lewat pekerjaan tersebut. Dalam sebuah pabrik, seorang buruh tidak lebih dari sederet nomor barcode atau sistem kode yang dioperasikan sebagi penanda dari sebuah citraan yang massal dan homogen. Tanpa jiwa, tanpa identitas yang mandiri.
Kemudian kekuasaan uang juga menguatkan tanda larutnya keterasingan bagi banyak persoalan dalam berbagai segi. Manusia tidak lagi bertindak demi sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri atau demi kebutuhan sesama, melainkan hanya sejauh tindakannya akan berpotensi mereproduksi uang. Semua dipandang dari aspek keuntungannya, tak peduli dengan modus mutual-parasitisma yang akan mengasingkan manusia dengan komunitasnya. Uang menandakan keterasingan manusia dari alam dan dari sesama manusia. Bahkan, dalam contoh yang ekstrem, di alam kapitalisme ini seseorang akan mau mengoleksi sebuah karya lukisan bukan demi aspek nilai, makna dan citra artistik yang menebar di dalamnya, melainkan karena tingginya harga yang akan mempertaruhkan reputasi dan citra kapital(isme) dari sang pembelinya. Maka, bukan sesuatu yang janggal andaikan sebentang lukisan mahal hanya teronggok di sebuah garasi atau gudang sebuah rumah mewah kolektor, bukan di ruang yang terhormat. Ini karena, sadar atau tak sadar, yang dibeli olehnya adalah sebentang kanvas keterasingan.
Saya kira, dalam spektrum pemikiran untuk membaca ulang keterasingan (manusia atas alam-lingkungan atau manusia atas manusia) seperti di ataslah, karya-karya Ouda Teda Ena ini mengoperasikan garis representasinya. Semua bentangan kanvasnya dijadikan “kuda pacu” untuk merefleksi dan mengguratkan hasil pembacaannya atas kecenderungan sosial yang “menjadi terasing” yang ditemuinya dalam ruang realitas obyektif dan ruang permenungannya.
Secara umum terlihat dengan lekas dari aspek visualitasnya yang mengindikasikan metafor keterasingan, yakni rangkaian kotak-kotak kecil dalam tiap kotak (besar) kanvasnya. Kotak-kotak ini seolah membangun pemahaman akan kuatnya individualisme, egoisme bahkan egosentrisme personal atau komunal yang menguat dalam realitas sosial kita dewasa ini. Karya Terrorism and Martyrdom, kiranya bisa menjadi contoh menarik karena karibnya persoalan egosentrisme komunal yang berkecenderungan menguat di sekitar kita akhir-akhir ini. Dengan lugas Ouda mempertentangkan secara diametral dua hal yang berseberangan secara ekstrem satu sama lain. Idiom visual sabit atau arit diposisikan vis a vis secara “semena-mena” oleh Ouda untuk membunyikan spirit proletarianisme berhadap-hadapan dengan fundamentalisme (dengan membopong atribut radikalisme agama) dalam satu ruang oposisional. “Jargon” yang bernas menguatkan hasrat kreatif dosen Universitas Sanata Dharma ini: “Yang satu membabat padi supaya orang terus makan nasi, yang satu membabat nadi supaya orang berhenti makan nasi”. Karya ini sebenarnya memiliki garis gagasan yang kuat, namun sistem perlambangan yang coba dibangun belum cukup kongruen dengan sistem perupaannya. Sehingga memang teks penyerta menjadi penolong apresian dalam berburu makna.
Ini berbeda misalnya dengan karya lain, Matinya Bagong. Meski begitu kuat menggenggam nilai lokalitas – kurang cukup universal – tetapi sistem tanda yang ditawarkan, bagi saya, sudah mengemukakan hasrat pemikiran kritis kreatornya. Ada beberapa sosok Bagong di sana, yang lalu – menurut arah jarum jam – “bermetamorfosis” menjadi sosok kaleng soft-drink. Proses “metamorfosis” antara dua sosok yang tidak analog ini seperti akan menunjuk pada dua hal.
Pertama, globalnya kapitalisasi Barat telah membuat proses uniformisasi ekstrem yang tidak santun dengan menggulung kekayaan variabel budaya lokal. Maka, yang tengah terjadi kini adalah adagium kuno: westernisasi, bukan globalisasi. Atau dalam ranah tertentu yang berkait dengan ihwal praktik konsumsi global, terjadilah apa yang disebut oleh Walter Wriston (1992) sebagai Mcworld-ization. Kedua, adanya pertentangan dikotomik yang ditawarkan yang mempersuasi munculnya pemikiran filosofis, yakni antara “rasa(wi)” dan “raga(wi)”. Bagong, salah satu tokoh punakawan dalam jagat wayang purwa, menjadi ikon budaya Jawa yang lahir dari rasa dan karsa manusia Jawa (jaman dulu). Sosoknya, saya kira, muncul dari konsepsi pemikiran dan rasa orang Jawa, serta kemudian diperuntukkan bagi pemenuhan (konsep) rasa orang Jawa. Sementara soft-drink lebih mengemuka sebagai produk instan yang lahir dari sistem ekonomi kapitalis dan, bagi sebagian orang Jawa, sekadar dikonsumsi untuk pemenuhan aspek raga(wi) semata. Tak ada kedalaman maknawi yang bisa dikonsumsi oleh batin. Melainkan berpotensi untuk melahirkan dan menambah keterasingan-keterasingan baru.
Pada karya-karya lain, tampaknya Ouda juga menempatkan gagasan dasar serupa dalam membidik beragam persoalan. Misalnya karya Dalam Enam Minggu yang mencoba menimbang-nimbang praktik konsumtivisme yang merimbun di sekitar mata kita. Juga imbas dari manusia sebagai barcode dalam sistem negara dan ekonomi yang kapitalistik muncul pada Hujan Setrika di Negeri Orang. Atau pertanyaan eksistensial tentang relasi manusia dan Sang Dia dalam The Last Supper.
Ouda, yang sempat menimba pengalaman akademik seni rupa di Australia ini seperti tengah berteriak sekaligus bersaksi pada dunia tentang manusia yang teralienasi dalam dirinya dan dari dunianya. Hanya pertanyaan besarnya adalah, situasi apakah yang terjadi dalam keterasingan itu? Apakah kita, atau di antara kita – jangan-jangan – justru begitu menikmati keterasingan dan keterkucilan yang terkonstruksi dalam sistem sosial itu? Seperti halnya kita tidak bisa sepenuhnya menduga bahwa jangan-jangan Sisiphus pun justru menikmati pekerjaannya yang absurd dan sia-sia itu? Sisiphus menikmati keasyikannya dengan tak pernah mencapai puncak gunung, dan kita kian mesra hingga orgasme dengan keterasingan kita?
Ah, tak tahulah…
Kuss Indarto, pemerhati seni rupa. Dapat disapa di kaprioke@yahoo.com
(Tulisan ini telah dimuat dalam katalogus pameran Alienated Life. Pameran berlangsung di gedung Bentara Budaya Yogyakarta, 4-11 Januari 2005)
Memperbincangkan ihwal alienasi, keterkucilan atau keterasingan, dimungkinkan akan bermuara pada serentetan perbincangan yang berbau filosofis ihwal nilai-nilai hakiki manusia. Dan ini berisiko masuk dalam kubangan persoalan yang begitu rumit, mungkin juga absurd – tak jauh beda dengan absurditas Sisiphus yang dikisahkan oleh Homerus dan Albert Camus sebagai sosok yang bersetia jatuh-bangun membopong batu besar menuju puncak gunung.
Alienasi yang menimpa manusia salah satunya memiliki titik picu dari relasi manusia dengan agama. Setidaknya, ini pernah dipetakan begitu rinci oleh Karl Marx yang mengoreksi pandangan-pandangan Feuerbach. Feuerbach sendiri sebelumnya melakukan kritik agama untuk menyanggah Hegel. Inti kritik tersebut menyebut bahwa bukanlah Tuhan yang menciptakan manusia, melainkan Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia (Magnis-Suseno, 1999). Dengan lantang dia menyatakan bahwa “penderitaan manusia adalah tempat kelahiran Allah”. Lebih lanjut dikatakan bahwa agama hanyalah proyeksi hakikat manusia.
Konsep tentang Allah, malaikat, surga, atau neraka tidak mempunyai kenyataan pada dirinya sendiri, melainkan hanya merupakan gambaran-gambaran yang dikonstruksikan oleh manusia tentang dirinya. Dia tak lebih sekadar angan-angan manusia tentang hakikatnya sendiri. Namun kemudian manusia lupa bahwa angan-angan itu ciptaannya sendiri. Feuerbach hendak mengatakan adanya laku fetisisme, pemberhalaan agama oleh manusia. Yakni bahwa penghadiran agama – tanpa disadari – adalah upaya penyembahan manusia tehadap hasil ciptaan sendiri. Dengan demikian, sebenarnya manusia menyatakan keseganan terhadap hakikatnya sendiri, tetapi tanpa menyadarinya. Agama mengungkapkan keterasingan manusia dari dirinya sendiri.
Oleh karenanya dengan ekstrem Feuerbach merekomendasi untuk meniadakan agama sehingga manusia mampu mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri. Ia harus “menarik agama ke dalam dirinya sendiri”. Konsep kepercayaan bahwa Tuhan itu Mahatahu, Mahabaik, Mahaadil harus dibongkar agar manusia mewujudkan potensi-potensinya bahwa dia sesungguhnya mampu menjadi tahu, baik, adil dan sebagainya. Dan, dengan demikian teologi diusulkannya menjadi antropologi karena menggali pemahaman terhadap manusia dianggap jauh lebih penting ketimbang mengorek “anatomi” dan “nilai” Tuhan.
Marx sendiri, setidaknya menggarisbawahi apa yang telah diungkapkan Feuerbach. Memang, manusialah yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia, katanya. Agama merupakan perealisasian hakikat manusia dalam angan-angan saja, yang menjadi tanda bahwa manusia justru belum berhasil mewujudkan hakikatnya. Agama menjadi tanda bagi keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Ya, mengapa manusia hanya merealisasikan hakikat dirinya dalam kesemuan khayalan agama? Dari titik inilah kemudian Marx “menemukan” sesuatu yang sangat penting: agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasar dari keterasingan manusia.
Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. Marx menegaskan bahwa agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-angan karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sesungguhnya. Agama boleh jadi merupakan ungkapan penderitaan dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama menjadi semacam keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu “ruh zaman” yang tanpa ruh. Dan dengan ekstrem Marx menyebut agama sebagai candu rakyat.
Kritik (agama) Marx tersebut kemudian menemukan biang sasaran kritik yang sebenarnya, yakni masyarakat. Artinya kritik terhadap agama saja akan menjadi sia-sia karena tidak mengubah akar struktur sesungguhnya yang melahirkan agama, yakni masyarakat. Dengan demikian perbincangan yang rumit tentang alam filsafat dan kritik teoritis bergeser menuju arena politik. Dan agenda besarnya adalah mengubah struktur-struktur masyarakat, karena dari sanalah diasumsikan awal munculnya dasar keterasingan manusia.
Pertanyaan berikutnya, struktur masyarakat yang manakah itu? Marx menemukan jawabannya dalam analisis Hegel mengenai masyarakat modern yang memiliki kekhasannya yakni perpisahan antara civil society dan negara. Civil society sendiri adalah masyarakat luas atau lingkungan sosial manusia di luar keluarga dan negara, yakni lingkungan yang berfungsi menyediakan kebutuhan-kebutuhannya: lingkungan pekerjaan, pendidikan, rekreasi dan sebagainya. Ciri pokok yang prinsipil dalam civil society: kebutuhan praktis dan egoisme. Dalam civil society, orang bergerak bukan demi kepentingan bersama, melainkan demi kepentingan egoismenya sendiri. Namun tidak mungkin masyarakat bisa bersatu dan tahan semata-mata karena egoisme masing-masing warganya. Dan diasumsikan bahwa akumulasi egoisme semua individu akan menghasilkan anarki. Karena itu, sebagaimana yang dianalisis oleh Hegel, masyarakat memerlukan kekuatan yang mengatasi egoisme tersebut dan mempersatukan masyarakat dengan membentuk komunitas bernama negara.
Dengan demikian, manusia sudah terpilah ke dalam individu yang murni egois, yang mengejar kepentingan egoisnya sebagai warga negara yang bersifat moral dalam arti bahwa ia menahan diri dari tindakan tidak bermoral karena harus taat pada undang-undang yang dibuat oleh negara. Dari sini tampak bahwa Marx melihat keterasingan yang menghasilkan agama: dalam keterasingan manusia dari sifat sosialnya. Sebagai individu, manusia itu egois, dan ia hanya sosial karena harus taat pada negara. Secara ekstrem Marx menyebut bahwa negara bukan hanya dibuat lebih terbuka, tetapi harus dihapus karena yang dibutuhkan adalah emansipasi manusia sebagai manusia bukan emansipasi politis. Maka, bagi Marx, adanya negara membuktikan bahwa manusia terasing dari kesosialannya karena andaikata manusia sosial dengan sendirinya, tidak perlu ada negara yang memaksanya agar mau bersifat sosial.
Dalam derivat (turunan) yang lebih jauh, Marx juga menengarai adanya proses keterasingan dan keterkucilan manusia dalam atribusinya sebagai buruh pada sebuah industri. Dalam sistem yang kapitalistik, seorang buruh akan melakukan pekerjaannya tidak dalam upaya untuk merealisasikan hakikat mereka, melainkan justru mengasingkan diri mereka. Misalnya, seorang buruh. Mereka bisa merasa terasing dari produknya. Apalagi andai dia hanya mengerjakan bagian kecil dari sebuah mata rantai produk raksasa yang ketika sudah jadi, barangkali produknya tak pernah dilihat atau apalagi dikonsumsinya. Laku seperti itu, menurut Marx, akan memiskinkan dunia batinnya. Tindakan pekerjaan seperti itu pun kehilangan arti bagi si pekerja. Lama-kelamaan, dengan memperalat pekerjaannya semata-mata demi tujuan memperoleh nafkah, manusia akan memperalat dirinya sendiri lewat pekerjaan tersebut. Dalam sebuah pabrik, seorang buruh tidak lebih dari sederet nomor barcode atau sistem kode yang dioperasikan sebagi penanda dari sebuah citraan yang massal dan homogen. Tanpa jiwa, tanpa identitas yang mandiri.
Kemudian kekuasaan uang juga menguatkan tanda larutnya keterasingan bagi banyak persoalan dalam berbagai segi. Manusia tidak lagi bertindak demi sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri atau demi kebutuhan sesama, melainkan hanya sejauh tindakannya akan berpotensi mereproduksi uang. Semua dipandang dari aspek keuntungannya, tak peduli dengan modus mutual-parasitisma yang akan mengasingkan manusia dengan komunitasnya. Uang menandakan keterasingan manusia dari alam dan dari sesama manusia. Bahkan, dalam contoh yang ekstrem, di alam kapitalisme ini seseorang akan mau mengoleksi sebuah karya lukisan bukan demi aspek nilai, makna dan citra artistik yang menebar di dalamnya, melainkan karena tingginya harga yang akan mempertaruhkan reputasi dan citra kapital(isme) dari sang pembelinya. Maka, bukan sesuatu yang janggal andaikan sebentang lukisan mahal hanya teronggok di sebuah garasi atau gudang sebuah rumah mewah kolektor, bukan di ruang yang terhormat. Ini karena, sadar atau tak sadar, yang dibeli olehnya adalah sebentang kanvas keterasingan.
Saya kira, dalam spektrum pemikiran untuk membaca ulang keterasingan (manusia atas alam-lingkungan atau manusia atas manusia) seperti di ataslah, karya-karya Ouda Teda Ena ini mengoperasikan garis representasinya. Semua bentangan kanvasnya dijadikan “kuda pacu” untuk merefleksi dan mengguratkan hasil pembacaannya atas kecenderungan sosial yang “menjadi terasing” yang ditemuinya dalam ruang realitas obyektif dan ruang permenungannya.
Secara umum terlihat dengan lekas dari aspek visualitasnya yang mengindikasikan metafor keterasingan, yakni rangkaian kotak-kotak kecil dalam tiap kotak (besar) kanvasnya. Kotak-kotak ini seolah membangun pemahaman akan kuatnya individualisme, egoisme bahkan egosentrisme personal atau komunal yang menguat dalam realitas sosial kita dewasa ini. Karya Terrorism and Martyrdom, kiranya bisa menjadi contoh menarik karena karibnya persoalan egosentrisme komunal yang berkecenderungan menguat di sekitar kita akhir-akhir ini. Dengan lugas Ouda mempertentangkan secara diametral dua hal yang berseberangan secara ekstrem satu sama lain. Idiom visual sabit atau arit diposisikan vis a vis secara “semena-mena” oleh Ouda untuk membunyikan spirit proletarianisme berhadap-hadapan dengan fundamentalisme (dengan membopong atribut radikalisme agama) dalam satu ruang oposisional. “Jargon” yang bernas menguatkan hasrat kreatif dosen Universitas Sanata Dharma ini: “Yang satu membabat padi supaya orang terus makan nasi, yang satu membabat nadi supaya orang berhenti makan nasi”. Karya ini sebenarnya memiliki garis gagasan yang kuat, namun sistem perlambangan yang coba dibangun belum cukup kongruen dengan sistem perupaannya. Sehingga memang teks penyerta menjadi penolong apresian dalam berburu makna.
Ini berbeda misalnya dengan karya lain, Matinya Bagong. Meski begitu kuat menggenggam nilai lokalitas – kurang cukup universal – tetapi sistem tanda yang ditawarkan, bagi saya, sudah mengemukakan hasrat pemikiran kritis kreatornya. Ada beberapa sosok Bagong di sana, yang lalu – menurut arah jarum jam – “bermetamorfosis” menjadi sosok kaleng soft-drink. Proses “metamorfosis” antara dua sosok yang tidak analog ini seperti akan menunjuk pada dua hal.
Pertama, globalnya kapitalisasi Barat telah membuat proses uniformisasi ekstrem yang tidak santun dengan menggulung kekayaan variabel budaya lokal. Maka, yang tengah terjadi kini adalah adagium kuno: westernisasi, bukan globalisasi. Atau dalam ranah tertentu yang berkait dengan ihwal praktik konsumsi global, terjadilah apa yang disebut oleh Walter Wriston (1992) sebagai Mcworld-ization. Kedua, adanya pertentangan dikotomik yang ditawarkan yang mempersuasi munculnya pemikiran filosofis, yakni antara “rasa(wi)” dan “raga(wi)”. Bagong, salah satu tokoh punakawan dalam jagat wayang purwa, menjadi ikon budaya Jawa yang lahir dari rasa dan karsa manusia Jawa (jaman dulu). Sosoknya, saya kira, muncul dari konsepsi pemikiran dan rasa orang Jawa, serta kemudian diperuntukkan bagi pemenuhan (konsep) rasa orang Jawa. Sementara soft-drink lebih mengemuka sebagai produk instan yang lahir dari sistem ekonomi kapitalis dan, bagi sebagian orang Jawa, sekadar dikonsumsi untuk pemenuhan aspek raga(wi) semata. Tak ada kedalaman maknawi yang bisa dikonsumsi oleh batin. Melainkan berpotensi untuk melahirkan dan menambah keterasingan-keterasingan baru.
Pada karya-karya lain, tampaknya Ouda juga menempatkan gagasan dasar serupa dalam membidik beragam persoalan. Misalnya karya Dalam Enam Minggu yang mencoba menimbang-nimbang praktik konsumtivisme yang merimbun di sekitar mata kita. Juga imbas dari manusia sebagai barcode dalam sistem negara dan ekonomi yang kapitalistik muncul pada Hujan Setrika di Negeri Orang. Atau pertanyaan eksistensial tentang relasi manusia dan Sang Dia dalam The Last Supper.
Ouda, yang sempat menimba pengalaman akademik seni rupa di Australia ini seperti tengah berteriak sekaligus bersaksi pada dunia tentang manusia yang teralienasi dalam dirinya dan dari dunianya. Hanya pertanyaan besarnya adalah, situasi apakah yang terjadi dalam keterasingan itu? Apakah kita, atau di antara kita – jangan-jangan – justru begitu menikmati keterasingan dan keterkucilan yang terkonstruksi dalam sistem sosial itu? Seperti halnya kita tidak bisa sepenuhnya menduga bahwa jangan-jangan Sisiphus pun justru menikmati pekerjaannya yang absurd dan sia-sia itu? Sisiphus menikmati keasyikannya dengan tak pernah mencapai puncak gunung, dan kita kian mesra hingga orgasme dengan keterasingan kita?
Ah, tak tahulah…
Kuss Indarto, pemerhati seni rupa. Dapat disapa di kaprioke@yahoo.com
Comments