Kenapa Harus Ada Kurator Seni Rupa?
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu 4 Desember 2005, dengan penyingkatan judul menjadi “Kurator Seni Rupa”)
Dalam lembaran buku kesan dan pesan pameran seni rupa Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) beberapa waktu lalu, seorang perupa yang bergelar S.Sn (sarjana seni) menuliskan komentarnya: “Banyak karya-karya berkualitas dan indah. Juga ada beberapa karya yang menyentak penglihatan saya. Walau tema ditentukan nyatanya karya-karya yang dipamerkan bervariatif. Salut deh buat rekan-rekan yang terlibat dalam kepanitian ini, juga buat para penyeleksi karya-karya yang masuk (tim seleksi). Saya seakan digiring ke dalam sebuah pameran Philip Morris atau Indofood Art Award. Kalau boleh saya usul, tidak usah pakai kuratorial”.
Saya cukup terkesiap membaca komentar tersebut karena sang perupa menghadirkan pandangan kontradiktif yang belum disadarinya. Pada bagian awal komentar terlihat sebuah pandangan normatif seorang apresian (reseptor) yang melihat aspek kualitas estetik materi pameran lewat pengalaman psikologisnya sebagai seniman. Ada kata “indah”, “menyentak” yang bisa menjadi alat ukur dalam penilaian terhadap kualitas karya seni. Bahkan dia memberi garis komparasi dengan perhelatan seni yang dianggapnya lebih prestisius. Namun kalimat terakhir meruntuhkan bangunan pemahamannya sendiri yang bertolak belakang dengan kalimat sebelumnya. Inilah hal yang akan saya bahas lebih lanjut.
Kasus tersebut tentu bukan yang pertama, dan kemungkinan masih juga terjadi hingga saat ini. Banyak perhelatan pameran seni rupa yang memakai bingkai kuratorial dan bersifat kompetitif nyaris selalu direaksi oleh publik seni rupa sendiri dengan pandangan minor yang berbau penolakan. Seolah hadirnya kurator dan bingkai kuratorial yang ditawarkan dengan serta-merta hendak menjadi “algojo” yang sewenang-wenang meminggirkan (kelompok) seniman tertentu dan memunculkan (kelompok) seniman tertentu lainnya berlandaskan kedekatan emosional, kelekatan sosial, jaring-jaring koncoisme dan sebagainya. Dugaan adanya praktik nepotisme hampir selalu menjadi titik dasar persoalan dalam praktik kerja kurator(ial).
***
Asumsi ini tentu cenderung cukup menyesatkan, meski tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan. Minimalnya upaya mediasi serta sosialisasi akan pentingnya kurator berikut bingkai kuratorial dalam tiap perhelatan seni rupalah yang menjadi kunci atas asumsi-asumsi miring tersebut. Selama ini pemahaman atas praktik kerja kuratorial seolah sekadar dipahami sebagai EO (event organizer) seni rupa yang berorientasi sempit seperti hanya mengarah ke upaya komersialisasi seni(man) semata, atau kerja-kerja parsial sebatas menyeleksi karya pameran, bahkan diasumsikan hanya sebatas menulis kata pengantar dalam katalogus pameran.
Padahal, praktik kerja yang selalu diupayakan dibangun oleh kurator adalah mencoba membuat disain pameran secara komprehensif. Dalam disain ini seorang kurator menentukan intellectual framework (kerangka kerja intelektual), yakni gagasan dan basis pemikiran yang menjadi titik berangkat untuk memproyeksikan pameran terhadap target yang akan dituju. Intellectual framework itu berasal dari dua kemungkinan.
Pertama, berangkat dari riset, survei atau pembacaan kurator tentang tema dan problem tertentu (sosial, politik, budaya dan sebagainya) yang kemudian diimajinasikan untuk diturunkan (derivasikan) dalam praktik kerja visual seniman. Dari sinilah kemudian kurator memiliki hak sepenuhnya untuk memilih karya seni atau seniman yang sesuai dengan intellectual framework. Dalam tahap ini sangat dimungkinkan kurator menyeleksi karya yang tidak sekadar indah dan bagus dengan parameter estetik saja, melainkan juga menempatkan karya yang menarik sebagai subyek untuk menyuarakan persoalan tertentu. Teks visual diberi konteks persoalan. Atau dalam istilah Direktur Apexart-Curatorial Program, New York, Steven Rand (2002), dikatakan bahwa: “Seseorang bisa menunjukkan seniman dan karya seninya, sedang kurator (mestinya) bisa menunjukkan karya seni dan konteksnya”. Dalam level ini, pemahaman kurator terhadap teori dan sejarah seni, karya yang artistik, berikut kemampuannya dalam displaying karya diasumsikan telah cukup paripurna.
Kemungkinan kedua, berasal dari artifak karya seni yang sudah ada atau tersedia dengan kecenderungan tertentu untuk kemudian dibaca ulang oleh kurator dengan beragam kemungkinan modus, sistem dan perspektif pembacaannya. Pada titik inilah kreativitas seorang kurator diuji untuk lebih jauh menggaungkan artifak karya seni tersebut. Upaya membongkar dan menyubversi sistem (pe)makna(an) yang telah menjadi mainstream atas karya tersebut sangat dimungkinkan terjadi. Misalnya eksposisi tubuh-tubuh dan potret diri perupa Nurkholis atau Agus Suwage dalam kanvas-kanvasnya, tidak lagi hanya bisa sebagai sebungkah praktik narsisisme, melainkan dapat juga dikerangkai secara konseptual sebagai subyek perlawanan terhadap dominasi praktik kuasa konsumsi. Belum lagi ihwal pemajangan karya yang dilakukan tidak di galeri melainkan di kafe, misalnya, dimungkinkan akan mampu menciptakan ruang diskursif yang lebih kompleks.
Dalam proses implementasi atas modus kuratorial seperti ini, kurator tidak secara arbitrer (sewenang-wenang) melakukan kerja kuratorialnya, tetapi tetap mengedepankan seniman sebagai pokok soal (subject matter) dan sumber utama gagasan. Dengan demikian pola kerja yang simbiose mutualistik kurator-perupa menjadi agenda terdepan. Proses komunikasi yang intens dan setara menjadi lebih penting – seperti diungkapkan oleh kurator Whitney Museum, AS, Lawrence Rinder (2002) – ketimbang bekal teori yang dipahami oleh kurator dari buku yang tidak akan banyak berguna tanpa inisiatif untuk terus-menerus melihat karya seni dan peka melihat ruang-ruang baru yang spesifik.Di sinilah ada titik temu yang relevan dari pandangan kurator Judith Tannenbaum yang memberi penegasan bahwa tiap pameran perlu nyali dari sang kuratornya untuk menghadirkan garis kuratorial yang penuh nilai curiosity, contradiction, collaboration, and challenge (dalam tulisan “C is for Contemporary Art Curator”, Art Journal, 1994). Curiosity (rasa ingin tahu) mengandaikan kegelisahan kurator untuk mendalami lebih lanjut karya dan praktik kerja seniman; contradiction (kontradiksi) mengandaikan pentingnya membenturkan nilai kontras antara yang mainstream dan yang hidden (tersembunyi), yang beredar dalam praksis dan teori; collaboration (kolaborasi) mengandaikan kerja kuratorial merupakan praktik kerja yang disemangati oleh praktik kolaborasi yang egaliter; dan challenge (tantangan) yang mengandaikan pentingnya progres yang dinamis sebagai sebuah tantangan utama.
***
Dari cara dan praktik kerja kuratorial yang mutualistik dan didasarkan riset yang komprehensif, maka kehadiran perupa terkenal dalam pameran bukanlah menjadi alat ukur utama keberhasilan sebuah pameran. Reputasi perupa peserta dalam perhelatan seni rupa bukannya tidak penting, tetapi hal yang jauh lebih signifikan adalah peran kurator dalam memfokuskan melihat karya-karya yang dikreasi seniman dan menempatkan konteks-konteks karya itu ke dalam ruang-ruang pemahaman sosial, politik, dan budaya secara lebih luas dan progresif. Dari sinilah dimungkinkan kerja kuratorial akan secara otomatis berimbas pada pemunculan nama-nama perupa baru dalam gelanggang pemetaan yang lebih tinggi. Maka akan mengemukalah the new rising stars. Ini menjadi pola konstruksi yang dapat disadari akan terjadi dalam pameran dengan intellectual framework yang baik berikut garis implementasinya di lapangan.
Sehingga, kalau pada sebuah pameran yang bersifat kompetitif semisal biennale memunculkan nama-nama perupa yang tak memiliki garis reputasi yang jelas, kecurigaan dan dugaan adanya praktik nepotisme bisa dipenggal oleh pertanyaan yang lebih konseptual terhadap garis gagasan kuratorial seperti apa dan target kultural bagaimana yang memungkinkan mencomot perupa dengan reputasi “yang tidak jelas” itu. Di sinilah titik tanggung jawab kurator dipertaruhkan.
Dengan demikian, andai kita kembali kepada komentar perupa bergelar S.Sn pada awal tulisan ini, usulannya untuk meniadakan kuratorial menjadi tak menemukan titik simpulnya. Karena tugas menyeleksi karya, atau menuliskan kata pengantar pameran merupakan sebagian “kecil” dari mendisain pameran yang mengintegrasikan seluruh tugas tersebut. Di dalamnya, kurator dan seniman masing-masing menjadi subyek untuk berbagi peran. Untuk bersanding, bukan bertanding. Untuk berduet, bukan berduel.
Kuss Indarto, kurator independen dan mahasiswa Nonreguler Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya (IRB), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
(Tulisan ini telah dimuat di Harian Umum Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu 4 Desember 2005, dengan penyingkatan judul menjadi “Kurator Seni Rupa”)
Dalam lembaran buku kesan dan pesan pameran seni rupa Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) beberapa waktu lalu, seorang perupa yang bergelar S.Sn (sarjana seni) menuliskan komentarnya: “Banyak karya-karya berkualitas dan indah. Juga ada beberapa karya yang menyentak penglihatan saya. Walau tema ditentukan nyatanya karya-karya yang dipamerkan bervariatif. Salut deh buat rekan-rekan yang terlibat dalam kepanitian ini, juga buat para penyeleksi karya-karya yang masuk (tim seleksi). Saya seakan digiring ke dalam sebuah pameran Philip Morris atau Indofood Art Award. Kalau boleh saya usul, tidak usah pakai kuratorial”.
Saya cukup terkesiap membaca komentar tersebut karena sang perupa menghadirkan pandangan kontradiktif yang belum disadarinya. Pada bagian awal komentar terlihat sebuah pandangan normatif seorang apresian (reseptor) yang melihat aspek kualitas estetik materi pameran lewat pengalaman psikologisnya sebagai seniman. Ada kata “indah”, “menyentak” yang bisa menjadi alat ukur dalam penilaian terhadap kualitas karya seni. Bahkan dia memberi garis komparasi dengan perhelatan seni yang dianggapnya lebih prestisius. Namun kalimat terakhir meruntuhkan bangunan pemahamannya sendiri yang bertolak belakang dengan kalimat sebelumnya. Inilah hal yang akan saya bahas lebih lanjut.
Kasus tersebut tentu bukan yang pertama, dan kemungkinan masih juga terjadi hingga saat ini. Banyak perhelatan pameran seni rupa yang memakai bingkai kuratorial dan bersifat kompetitif nyaris selalu direaksi oleh publik seni rupa sendiri dengan pandangan minor yang berbau penolakan. Seolah hadirnya kurator dan bingkai kuratorial yang ditawarkan dengan serta-merta hendak menjadi “algojo” yang sewenang-wenang meminggirkan (kelompok) seniman tertentu dan memunculkan (kelompok) seniman tertentu lainnya berlandaskan kedekatan emosional, kelekatan sosial, jaring-jaring koncoisme dan sebagainya. Dugaan adanya praktik nepotisme hampir selalu menjadi titik dasar persoalan dalam praktik kerja kurator(ial).
***
Asumsi ini tentu cenderung cukup menyesatkan, meski tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan. Minimalnya upaya mediasi serta sosialisasi akan pentingnya kurator berikut bingkai kuratorial dalam tiap perhelatan seni rupalah yang menjadi kunci atas asumsi-asumsi miring tersebut. Selama ini pemahaman atas praktik kerja kuratorial seolah sekadar dipahami sebagai EO (event organizer) seni rupa yang berorientasi sempit seperti hanya mengarah ke upaya komersialisasi seni(man) semata, atau kerja-kerja parsial sebatas menyeleksi karya pameran, bahkan diasumsikan hanya sebatas menulis kata pengantar dalam katalogus pameran.
Padahal, praktik kerja yang selalu diupayakan dibangun oleh kurator adalah mencoba membuat disain pameran secara komprehensif. Dalam disain ini seorang kurator menentukan intellectual framework (kerangka kerja intelektual), yakni gagasan dan basis pemikiran yang menjadi titik berangkat untuk memproyeksikan pameran terhadap target yang akan dituju. Intellectual framework itu berasal dari dua kemungkinan.
Pertama, berangkat dari riset, survei atau pembacaan kurator tentang tema dan problem tertentu (sosial, politik, budaya dan sebagainya) yang kemudian diimajinasikan untuk diturunkan (derivasikan) dalam praktik kerja visual seniman. Dari sinilah kemudian kurator memiliki hak sepenuhnya untuk memilih karya seni atau seniman yang sesuai dengan intellectual framework. Dalam tahap ini sangat dimungkinkan kurator menyeleksi karya yang tidak sekadar indah dan bagus dengan parameter estetik saja, melainkan juga menempatkan karya yang menarik sebagai subyek untuk menyuarakan persoalan tertentu. Teks visual diberi konteks persoalan. Atau dalam istilah Direktur Apexart-Curatorial Program, New York, Steven Rand (2002), dikatakan bahwa: “Seseorang bisa menunjukkan seniman dan karya seninya, sedang kurator (mestinya) bisa menunjukkan karya seni dan konteksnya”. Dalam level ini, pemahaman kurator terhadap teori dan sejarah seni, karya yang artistik, berikut kemampuannya dalam displaying karya diasumsikan telah cukup paripurna.
Kemungkinan kedua, berasal dari artifak karya seni yang sudah ada atau tersedia dengan kecenderungan tertentu untuk kemudian dibaca ulang oleh kurator dengan beragam kemungkinan modus, sistem dan perspektif pembacaannya. Pada titik inilah kreativitas seorang kurator diuji untuk lebih jauh menggaungkan artifak karya seni tersebut. Upaya membongkar dan menyubversi sistem (pe)makna(an) yang telah menjadi mainstream atas karya tersebut sangat dimungkinkan terjadi. Misalnya eksposisi tubuh-tubuh dan potret diri perupa Nurkholis atau Agus Suwage dalam kanvas-kanvasnya, tidak lagi hanya bisa sebagai sebungkah praktik narsisisme, melainkan dapat juga dikerangkai secara konseptual sebagai subyek perlawanan terhadap dominasi praktik kuasa konsumsi. Belum lagi ihwal pemajangan karya yang dilakukan tidak di galeri melainkan di kafe, misalnya, dimungkinkan akan mampu menciptakan ruang diskursif yang lebih kompleks.
Dalam proses implementasi atas modus kuratorial seperti ini, kurator tidak secara arbitrer (sewenang-wenang) melakukan kerja kuratorialnya, tetapi tetap mengedepankan seniman sebagai pokok soal (subject matter) dan sumber utama gagasan. Dengan demikian pola kerja yang simbiose mutualistik kurator-perupa menjadi agenda terdepan. Proses komunikasi yang intens dan setara menjadi lebih penting – seperti diungkapkan oleh kurator Whitney Museum, AS, Lawrence Rinder (2002) – ketimbang bekal teori yang dipahami oleh kurator dari buku yang tidak akan banyak berguna tanpa inisiatif untuk terus-menerus melihat karya seni dan peka melihat ruang-ruang baru yang spesifik.Di sinilah ada titik temu yang relevan dari pandangan kurator Judith Tannenbaum yang memberi penegasan bahwa tiap pameran perlu nyali dari sang kuratornya untuk menghadirkan garis kuratorial yang penuh nilai curiosity, contradiction, collaboration, and challenge (dalam tulisan “C is for Contemporary Art Curator”, Art Journal, 1994). Curiosity (rasa ingin tahu) mengandaikan kegelisahan kurator untuk mendalami lebih lanjut karya dan praktik kerja seniman; contradiction (kontradiksi) mengandaikan pentingnya membenturkan nilai kontras antara yang mainstream dan yang hidden (tersembunyi), yang beredar dalam praksis dan teori; collaboration (kolaborasi) mengandaikan kerja kuratorial merupakan praktik kerja yang disemangati oleh praktik kolaborasi yang egaliter; dan challenge (tantangan) yang mengandaikan pentingnya progres yang dinamis sebagai sebuah tantangan utama.
***
Dari cara dan praktik kerja kuratorial yang mutualistik dan didasarkan riset yang komprehensif, maka kehadiran perupa terkenal dalam pameran bukanlah menjadi alat ukur utama keberhasilan sebuah pameran. Reputasi perupa peserta dalam perhelatan seni rupa bukannya tidak penting, tetapi hal yang jauh lebih signifikan adalah peran kurator dalam memfokuskan melihat karya-karya yang dikreasi seniman dan menempatkan konteks-konteks karya itu ke dalam ruang-ruang pemahaman sosial, politik, dan budaya secara lebih luas dan progresif. Dari sinilah dimungkinkan kerja kuratorial akan secara otomatis berimbas pada pemunculan nama-nama perupa baru dalam gelanggang pemetaan yang lebih tinggi. Maka akan mengemukalah the new rising stars. Ini menjadi pola konstruksi yang dapat disadari akan terjadi dalam pameran dengan intellectual framework yang baik berikut garis implementasinya di lapangan.
Sehingga, kalau pada sebuah pameran yang bersifat kompetitif semisal biennale memunculkan nama-nama perupa yang tak memiliki garis reputasi yang jelas, kecurigaan dan dugaan adanya praktik nepotisme bisa dipenggal oleh pertanyaan yang lebih konseptual terhadap garis gagasan kuratorial seperti apa dan target kultural bagaimana yang memungkinkan mencomot perupa dengan reputasi “yang tidak jelas” itu. Di sinilah titik tanggung jawab kurator dipertaruhkan.
Dengan demikian, andai kita kembali kepada komentar perupa bergelar S.Sn pada awal tulisan ini, usulannya untuk meniadakan kuratorial menjadi tak menemukan titik simpulnya. Karena tugas menyeleksi karya, atau menuliskan kata pengantar pameran merupakan sebagian “kecil” dari mendisain pameran yang mengintegrasikan seluruh tugas tersebut. Di dalamnya, kurator dan seniman masing-masing menjadi subyek untuk berbagi peran. Untuk bersanding, bukan bertanding. Untuk berduet, bukan berduel.
Kuss Indarto, kurator independen dan mahasiswa Nonreguler Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya (IRB), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Comments