“Homo Lindhuicus”
Oleh Kuss Indarto
Sabtu, 27 Mei 2006, jam 05:54:02 WIB menjadi lorong waktu paling mengerikan untuk diingat oleh banyak masyarakat Yogyakarta serta Klaten, Jawa Tengah. Matahari belum tinggi, kala itu, ketika tiba-tiba gempa bumi tektonik dengan kekuatan 5,9 SR (versi BMG) atau 6,2 SR (catatan USRG/BMG-nya Amerika Serikat) meluluh-lantakkan kawasan 8.04 LS-110.43 BT tersebut. Sekitar enam ribu nyawa berpulang ke haribaan, ratusan ribu jiwa lainnya luka dan kehilangan kenyamanan hidup. Banyak material kreasi dan rekayasa manusia itu ambleg, luluh-lantak oleh bumi horeg akibat tumbukan Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia, yang hanya berdurasi 57 detik.
Tampaknya perlu banyak waktu untuk mengembalikan situasi fisik dan material seperti sebelum 27 Mei 2006. Kerja personal dan komunal yang melibatkan interaksi serta keguyuban sosial warga masyarakat berikut keterlibatan negara yang telah dilakukan selama puluhan bahkan ratusan tahun, harus direnda kembali. Menata dan mengelola lagi tatanan yang telah terkoyak. Menarik sekali tentu saja karena petaka selalu merimbunkan mental altruisme, semangat untuk membantu karena peduli terhadap penderitaan sesama manusia.
“Ilmu Ngglethek” ala Jawa
Dalam situasi sulit, tak ayal, dibutuhkan kehadiran sebanyak mungkin pemeluk mental altruisme untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan karitatif. Ini sudah berlangsung. Milyaran rupiah telah mengalir kepada para korban dalam berbagai bentuk. Dan selepas kebutuhan karitatif yang bersifat “permukaan” dan darurat itu, banyak diperlukan pasokan kebutuhan mental untuk menguatkan harapan demi menata hidup ke depan.
Saya kira, relatif tak begitu sulit untuk menguatkan mental orang Yogya (baca: Jawa) dalam mengatasi problem ini. (Mudah-mudahan ini bukan pernyataan ceroboh karena jelas berbau relativitas). Ini bisa dilihat bagaimana para korban itu, dalam waktu kurang dari sepekan pascabencana, telah memberi sinyal resistensi terhadap “orang luar”. Ada spanduk atau papan yang bertuliskan “Kami Korban Bencana, Bukan Tontonan!”, atau “Maaf, Ini Bukan Obyek Wisata”, dan lainnya. Ada bau penolakan sekaligus sense of humor yang teraduk dalam porsi terjaga pada teks-teks itu.
Dan kalau diresapi lebih jauh, sebenarnya ada nuansa ketabahan dan kepasrahan yang kuat dalam tek-teks tersebut ketimbang nada keputusasaan. Dalam konteks inilah kiranya tepat terminologi yang dilontarkan oleh Romo Sindhunata, yakni “ilmu ngglethek”, “ilmu tertawa dan menertawakan hidup” (Sindhunata, 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa ilmu ngglethek tingkat tinggi adalah saat dimana kita bisa tertawa atas tertawa kita, yang ternyata belum tertawa apa-apa. Mereka yang pandai tertawa ini, dialah yang paling cepat sampai pada vanitas vanitatum mundi, kesia-siaan dari segala kesia-siaan hidup ini. Jadi, di balik ilmu ngglethek, tersimpan filosofi kehidupan yang menyadarkan manusia “untuk mengalami kepuasan, kita harus rela kehilangan segala kepuasan yang dicita-citakan”. Ah, betapa “ilmu” dan mentalitas untuk bersiap kehilangan (apa)pun (semoga) telah terakomodasi secara mekanik dalam hati saudara-saudara kita yang terkena bencana.
Ulang-alik Homo Aesteticus-Homo Socius
Lalu kalau melihat rentetan 50-an karya perupa Stefan Buana yang tengah digelar di Taman Budaya Yogyakarta, 10-20 Agustus ini, dalam kerangka apa karya itu bisa dibaca? Altruisme semacam apa yang bisa ditawarkannya? Catatan singkat ini tak mencoba bergegabah secara langsung memberi jawaban, melainkan memberi sedikit persuasi sebagai langkah awal mengapresiasi.
Kebetulan Stefan, anak Minangkabau yang telah belasan tahun belajar, berproses, dan bergelut di dunia kreatif di Yogyakarta, dan beristri perempuan asli Yogyakarta ini bukanlah korban secara langsung. Tubuhnya, juga istrinya tak terluka. Bencana tak berimbas pada kerugian fisik-material.
Maka, dalam posisi sebagai sang penyaksi dengan segenap empati-lah karya-karya Stefan inilah bergerak. Sebagian karya-karyanya yang terpajang dalam perhelatan ini bagai hendak diketengahkannya sebagai tanda-tanda jaman sekaligus penanda semangat jaman (zeitgeist) bagi lingkungan sosialnya. Banyak karya yang lahir dari tangannya setelah gempa atau lindhu (bahasa Jawa) terjadi. Anak muda yang tergagap-gagap dibimbing keluar oleh istrinya saat terjadi gempa ini, hanya perlu beberapa puluh menit untuk menghilangkan ketakutan. Karena setelah itu, dia kembali masuk ke studionya untuk memasang spanram dan bersiap melukis lagi. Tak perlu tidur di luar karena takut, kecuali karena solidaritas sosial dengan beramai-ramai mendirikan posko di lingkungannya.
Dengan langsung berkarya itu, dua hal langsung tercakup dalam hasil proses kreatifnya, yakni sebagai tanda-tanda jaman bahwa ada petaka dari alam yang tengah “murka” yang pernah dialaminya, dan sekaligus memberi penanda semangat jaman bahwa ada spirit kepasrahan dan “ilmu ngglethek” yang dengan cukup erat dipeluk oleh masyarakat di lingkungannya.
Sebut misalnya karya batiknya bertajuk “Batik Parang Lindhu” yang dibuatnya hingga dua seri, masing-masing pada kain yang terentang panjang. Karya ini tidak saja merupakan sebuah deformasi fisik atas visual batik motif Parangrusak yang menjadi simbol identitas sosial bagi ningrat Jawa jaman dulu. Melainkan juga merupakan bentuk dekonstruksi makna untuk melakukan upaya “penyangkalan” atas pengkelasan atau pola hierarki yang dibangun dengan simbol Parangrusak itu. Motif itu tidak lagi menjadi garis pembatas antara yang ningrat dan jelata, yang kaya dan yang sudra, melainkan telah diluluhkan sebagai simbol menguatnya spirit kolektivitas dan komunalitas dalam masyarakat Yogyakarta. Parangrusak tak lagi menampilkan dimensi eksklusivitas pemakainya, namun telah menjelma menjadi motif kain yang menengarai kentalnya pola relasi sosial yang inklusif. Lindhu atau gempa, bagi Stefan, memberi inspirasi yang kuat dalam menumbuhkan spirit kolektivitas dan inklusivitas tersebut. Dan inilah yang tampaknya menguatkan warga Yogyakarta untuk bangun kembali, membangkitkan gairah hidup.
Dalam spirit “ilmu ngglethek” itulah tepat kiranya kalau dia menjuluki pameran ini dengan tajuk “Homo Lindhuicus”. Terkesan main-main tapi serius. Stefan mengasumsikan orang Yogyakarta mampu menjadi “manusia lindhu (gempa)”: sadar bahwa mereka hidup di daerah penuh ancaman gempa, dan mampu bangkit menata hidup setelah terkena gempa.
Kesadaran kreatif semacam ini, kiranya menempatkan Stefan berlaku ulang-alik sebagai makhluk sosial (homo socius) yang mesti memiliki kepedulian sosial di satu sisi, dan sebagai manusia yang harus berkreasi (homo aesteticus) pada sisi lain.
Karya lain kiranya masuk dalam ranah asumsi yang serupa, yakni mengelola optimisme. Misalnya karya lukisan “Selamat Tinggal Coreng Hitam”. Dengan jelas Stefan berasumsi bahwa nasib kelam yang menggelayut setelah petaka 27 Mei lalu bisa langsung disikapi dengan melupakannya, meninggalkannya secepat mungkin untuk menatap masa depan. Juga karya “Surjan” yang menggambarkan secara simbolis baju surjan yang khas masyarakat Jawa itu dengan warna legam.
Barangkali tidak begitu konkret altruisme yang coba dijalani perupa Stefan. Juga tak gigantik capaiannya. Namun altruisme yang tengah dilakukannya ini tak diberinya “merek” atau pamrih. Dia sekadar ingin memberi apresiasi atas jaman dan situasi yang tengah dilaluinya. Itu saja.
Kuss Indarto, kurator seni rupa. Mahasiswa Non-Reguler pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
(Tulisan ini telah dimuat di harian umum Media Indonesia Jakarta, Minggu 20 Agustus 2006. Tetapi dipotong pada 3 alinea terakhir).
Comments