Kompetisi Sepi Isu
Oleh Kuss Indarto
Dewan Juri Kompetisi Seni Lukis Jakarta Art Award (JAA) 2006, yang bertema Kisi-kisi Jakarta, 4 Agustus 2006 lalu telah memutuskan 6 perupa sebagai pemenang dan 9 lainnya meraih penghargaan khusus. Enam pemenang masing-masing adalah Teguh Wiyatno (bermukim di Yogyakarta), Paul Hendro (Jakarta), Cubung Wasono Putra (Yogyakarta), Julnaidi (Yogyakarta), Hayatuddin (Yogyakarta), dan Cucu Ruchyat (Bandung). Mereka meraih uang masing-masing sebesar Rp 25 juta.
Sedang sembilan seniman penerima penghargan khusus terdiri atas Lucia Hartini (Yogyakarta), Sapto Sugiyo Utomo (Solo), Boyke Aditya Krisna (Yogyakarta), Anggar Prasetyo (Yogyakarta), Dwijo Widiyono (Jakarta), Agus Putu Sayadna (Yogyakarta), Gusmen Heriadi (Yogyakarta), Melodia (Yogyakarta), serta Joni Ramlan (Mojokerto). Limabelas seniman ini telah meminggirkan harapan 70 pesaingnya di “babak semifinal”. Secara keseluruhan peminat kompetisi ini mencapai 1.197 seniman dengan jumlah karya sekitar 3.200 lukisan. Menurut Dewan Juri, mekanisme seleksi dilakukan beberapa tahap. Mulai dari memeras jumlah karya yang awalnya 3.200 menjadi 300 lukisan, kemudian dari 300 diperas menjadi 120 karya, hingga 120 disusutkan tinggal 15, dan akhirnya dicapai angka final 6 pelukis sebagai pemenang kompetisi.
Hipotesis Awal
Deretan data sederhana ini mengisyaratkan munculnya beberapa hipotesis, yakni betapa kompetisi seni rupa bisa menjadi bagian integral dari gairah kreatif seniman di banyak kota. Bagi seniman, kompetisi masih ditunggu-tunggu kehadirannya. Meski tak ada data rinci, tetapi sedikit disinggung oleh panitia bahwa kompetisi ini diikuti oleh seniman hampir dari seluruh kota penting di Indonesia, mulai dari Padang, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, Surabaya, hingga Malang, Medan, Majalaya, Purwokerto, Semarang, Klungkung, Amuntai, Balikpapan, bahkan Sorong di Papua sana. Perhelatan kompetisi bagai menjadi momentum penting bagi seniman untuk beradu dan berspekulasi meletakkan posisi eksistensi dan daya tawarnya di tengah-tengah publik (dan pasar) seni yang belum kunjung menemukan titik imbangnya. Event JAA 2006 jadi muara penting bagi banyak perupa setelah kompetisi Philip Morris Indonesia Art Award pamit tahun 2001 dan Indofood Art Award tamat tahun 2003. Sementara yang banyak muncul dalam 3 tahun terakhir adalah biennale yang di antaranya sekadar mengukuhkan elitisme beberapa seniman, atau ajang bagi kurator yang baru latihan mendisplai karya dengan baik. Ada yang baik seperti CP Biennale, ada juga yang gagal seperti Surabaya Biennale.
Hipotesis lain yang menguat tentu saja menabalkan Yogyakarta sebagai kota penting perkembangan seni rupa (lukis) di Indonesia, dari tilikan kuantitas ataupun kualitas. Dengan 10 seniman Yogyakarta yang masuk 15 Besar, sekali lagi, memberi gambaran jelas bahwa atmosfer progresivitas kreatif di kota Gudheg masih kuat melampaui kota-kota lain. Sebenarnya, ini gejala mengkhawatirkan di tengah derasnya informasi yang diduga mampu berimbas pada laju kreativitas seniman. Atau jangan-jangan informasi yang bisa mengayakan pemahaman dan sistem berpikir seseorang memang tidak disadari oleh seniman sebagai penambah oksigen kreatif baginya?
Di luar paparan hipotesis umum, beberapa hal layak menyeruak sebagai bahan pergunjingan: politik kebudayaan seperti apa yang bisa digagas dan dikontribusikan dari perhelatan dengan tema yang cukup menggantung dan masih umum itu? Atau, apakah kompetisi seperti ini masih bisa diharapkan memunculkan karya dengan kualitas puncak?
Aestetically Correct
Pertanyaan semacam ini menjadi wajar kemunculannya ketika menyaksikan 70 karya yang dianggap terbaik (layak pajang) di antara 3.200-an karya lain. Terlebih lagi dengan menampilkan 5 pemenang yang mengatasi 70 Besar. Pertanyaan itu, dari awal, saya sadari berisiko akan bertumbukan dengan subyektivitas yang tak akan usai diperdebatkan untuk menilai sebuah karya. Tetapi ketika membaca pengantar dalam katalog pameran yang ditulis oleh Agus Dermawan T (ADT), pesimisnya jadi mengental. Meski ini bukan ajang pameran dengan kurator(ial) yang ketat seperti halnya biennale atau pameran besar lainnya, namun tema Kisi-kisi Jakarta akhirnya bagai menjadi tema sampiran yang tak terlalu memiliki gaung yang diimplementasikan dengan baik untuk menggagas tendensi atau politik kebudayaan tertentu. Dalam pengantarnya, ADT hanya berkutat membincangkan ihwal teknis pelaksanaan kompetisi berikut paparan singkat atas beberapa karya pemenang. Tak ada indikasi kuat hendak dibawa kemana arah wacana ihwal Jakarta dalam kanvas itu digiring. Tak ada dalih argumentatif (apalagi akademis) yang memberi penguatan atas pilihan-pilihan terhadap karya yang dimenangkan oleh Dewan Juri. Pertama-tama tentu bukan mendebat baik atau buruknya penampilan dan teknik visual karya pemenang, melainkan kita seperti dibutakan oleh visi dan bahkan ideologi seperti apa yang menjadi titik tumpu penilaian Dewan Juri. Aliran isu tak jelas benar.
Karya Cubung Wasono Putra, Mozaik Jakarta, atau Paul Hendro, www.jakarta’swindow.co.id, juga Grass Attack-nya Hayatuddin menampilkan visualitas yang verbal tentang kota Jakarta secara umum. Membincangkan Jakarta, seolah masih secara sempit “harus” ditengarai oleh wujud gedung pencakar langit atau reriuhan permukiman yang padat. Tak salah memang, tetapi apresian seperti dimampatkan daya imajinasinya tatkala menyaksikan karya yang kurang lebih sama.
Sebaliknya, apresian cukup direpotkan oleh karya Teguh Wiyatno yang terlalu jauh “melampaui” tema utama. Karya surealistiknya yang bertajuk Apa yang Akan Terjadi, menampilkan seorang simbok terpaku dengan tangan di hidung, sementrara di belakangnya deretan asap dari rumah yang terbakar membubung dengan beberapa sosok tangan dan manusia tampak tertidur di atas kursi atau tepekur di atas sampan kecil. Kehadiran karya ini menjadi “aneh” karena karya ini dibuat Teguh tahun 2003, tentu dengan tendensi yang jauh dari Kisi-kisi Jakarta. Dari sini, bagaimana dan darimana kita bisa memahami aestetically correct atas karya ini? Teguh jelas tak salah, tetapi Dewan Juri justru masuk dalam absurditas penilaiannya sendiri dan sayangnya luput untuk menggagas perkara nilai-nilai yang potensial mampu dilakukannya. Kesan absurditas juga kian mengental kalau kita saksikan karya-karya lukisan abstrak yang masuk 70 Besar, seperti karya Basuki Sumartono (bertajuk Ada di Celah Hitam), Ari Sugiarto (Kampung Metropolitan), Agus Purnomo (Metropol), Gusti Alit Cakra (Untitled), Tanto (Metropolitan), M.S. Arifin (Kenapa Jakarta?), atau karya Eddy Hermanto (Batu dan Cactus untuk Ibukota). Karya-karya tersebut cukup kedodoran untuk menyangga tema yang disodorkan panitia. Pencapaian teknis pun sebenarnya tak ada kebaruan yang menonjol.
Di balik itu, Dewan Juri justru tak memberi tempat yang cukup terhormat, misalnya, untuk karya-karya yang cerdas semacam karya F. Sigit Santoso, Situs Urban. Sigit sebenarnya mencoba memberi perspektif yang dalam dan sublim ketika melihat problem kota Jakarta. Dia melihat Jakarta tidak sekadar Monas atau gedung bertingkat, melainkan sebagai medan pertarungan cultural yang dalam. Dia melukiskan seorang lelaki yang yang nungging antara bersujud dan kakinya meniru posisi anjing kencing. Di atasnya ada teks rapi: Bapa kami yang di Jakarta. Sedang kaki, pantat atau batu di bawahnya bertuliskan kata “Amin”. Sebuah satir brilian untuk melihat Jakarta dengan cara menghormati sekaligus mengumpatnya.
Akhirnya memang, apa boleh buat, Dewan Juri adalah kumpulan algojo penentu yang tak bisa ditampik dan digugat keputusannya. Hanya saja seniman lain berhak juga menjadi “algojo penentu” dengan tidak menjadikan hasil perhelatan ini sebagai menara preferensi tunggal untuk mengarahkan peta kreatif (seniman lain) ke depan. Masih banyak event lain di depan. Be yourself, saudara-saudara!
Kuss Indarto, kurator seni rupa. Tinggal di Yogyakarta.
(Tulisan ini telah dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, Minggu, 20 Agustus 2006)
Comments