Pelajaran dari (Perupa) Cina
Oleh Kuss Indarto
Seni rupa Indonesia kini, kata seorang teman seniman, telah miskin wacana. Yang ada, lanjutnya dengan nada bercanda, hanya “wacina” seni rupa Indonesia.
Sudah barang pasti, plesetan dan guyonan itu berpangkal pada kian banyaknya perupa Cina yang karyanya diimpor di berbagai ruang pajang dan beragam ajang di Indonesia. Mulai di sebuah galeri yang telah timbul-tenggelam eksistensinya, di Galeri Nasional dan Museum Nasional yang miskin agenda bermutu, hingga ke perhelatan yang dianggap begitu prestisius semacam CP Biennale di Jakarta. Kehadiran mereka mendapatkan apresiasi nilai tinggi hingga berlanjut pada transaksi finansial dengan capaian angka yang melangit. (Bahkan kolektor kawakan sekelas Oei Hong Djien pun terheran-heran waktu mengetahui harga karya salah satu perupa Cina begitu tinggi saat berpameran di Indonesia ketimbang ketika dia beli karya perupa yang sama saat pameran Jerman).
Kerapnya frekuensi kehadiran karya mereka akhir-akhir ini, menjadikan publik seni rupa Indonesia telah cukup karib dengan nama-nama jagoan seni rupa (kontemporer) Cina seperti Yue Minjun, Fang Lijun, Feng Mengbo, Ju Ming, Zhang Gong, Gu Wenda, Feng Zhengjie, Li Zijian, dan masih segudang nama lainnya. Nama mereka telah dengan fasih menyelinap di sela lidah kita tatkala menyebut perupa Agus Suwage, Budi Kustarto, Rudi Mantofani, Entang Wiharso, Bambang Pramudyanto, Nasirun, Sigit Santoso, dan lainnya. Identitas visual mereka, yang beberapa di antaranya memanen reputasi tinggi setelah Tragedi Tiananmen tahun 1989, sedikit banyak telah cukup menghunjam dalam ingatan masyarakat seni di sini. Bahkan, jangan heran, beberapa seniman di sini kemudian menjadi pembuntut (epigon) atas hasil kreatif mereka.
Proyek Budaya
Fakta ini bukan merupakan realitas yang terpisah karena dalam waktu berbarengan terjadi juga di belahan dunia lain. Virus “Cina-mania” ini bukanlah fenomena lokal atau regional yang hanya dialami oleh Indonesia atau negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara, melainkan telah menjadi fenomena global karena para seniman asal Cina itu juga melakukan “penetrasi kultural” ke Eropa dan Amerika. Sebut misalnya sosok Hou Hanru yang di-dhapuk menjadi chief-curator pada perhelatan Venice Biennialle 2003 yang bergengsi itu. Atau di London, Inggris, ada sebuah galeri seni rupa kontemporer, Red Mansion, yang secara khusus dihadirkan di sana sebagai etalase penting bagi seniman Cina dalam upaya menembus dominasi seni rupa Eropa-Amerika yang telah berlangsung berabad-abad.
Di tengah-tengah fakta tersebut, ternyata, ada realitas lain yang sedang dikonstruksi secara sistematis dan serius oleh pemerintah dan elemen masyarakat seni-budaya Cina, yakni proyek filantropi budaya dan repatriasi budaya (ARTnewsletter Highlights, edisi 3 Januari 2006). Proyek pertama, filantropi budaya, dihasratkan oleh pemerintah dan publik budaya Cina untuk “menghamburkan” (= mengalokasikan) dana (negara, perusahaan dan pribadi) demi kepentingan kebudayaan sebagai rencana strategis untuk menjadikan Cina sebagai kekuatan kebudayaan penting di dunia. Proyek ini, dari pertama dan utama, tidak ditendensikan untuk mengeruk keuntungan komersial. Salah satu proyek yang sedang direalisasikan adalah rencana pembangunan sekitar 1.000 (seribu) museum seni di seluruh daratan Cina hingga tahun 2015 atau dalam 9 tahun mendatang! Ini untuk melengkapi keberadaan 2.000 (dua ribu) museum yang telah ada hingga tahun 2002. Menariknya, proyek-proyek ini justru dipelopori oleh lembaga bisnis milik militer yakni Chine Poly Group Corporation yang dipimpin langsung oleh Mayor Jendral He Ping. Lembaga ini mulai bergerak di ranah seni budaya tahun 1998 lalu.
Proyek ambisius itu kiranya bukanlah isapan jempol belaka kalau menyimak laju perkembangan pasar seni rupa di sana yang sedikit banyak memiliki imbas positif pada pentingnya kehadiran banyak museum. Misalnya angka hasil pelelangan barang dan karya seni di semua balai lelang yang beroperasi di Cina yang menyentuh angka 579,9 juta dolar AS pada tahun 2003 dan melonjak hingga menjadi 1 milyar dolar AS (sekitar 9 triliun rupiah) sepanjang tahun 2004. Ini tidak termasuk angka transaksi finansial yang terjadi di galeri-galeri atau studio-studio seniman. Belum lagi ada perhelatan Shanghai Art Fair yang selalu dibanjiri pengunjung dari seluruh dunia. Juga event Beijing Biennalle yang telah dianggap serius dan prestisius. Ini bisa menjadi indikator penting betapa China bisa diperhitungkan sebagai medan pasar seni raksasa yang bisa menggoyahkan dominasi Eropa dan Amerika Serikat. Jadi bukan sebuah spekulasi tanpa perhitungan cermat kalau tahun lalu balai lelang Christie Asia yang sebelumnya beroperasi di Singapura serta-merta dipindahkan di Beijing.
Setali tiga uang, proyek kedua yang juga berlangsung bersamaan adalah repatriasi budaya, yakni gerakan budaya untuk memulangkan kembali barang dan karya seni Cina yang telah berada di luar negeri Tirai Bambu itu. Mereka menyiapkan dana awal sedikitnya sebesar 100 juta dolar AS (900 miliar rupiah) untuk membeli karya leluhur mereka sendiri yang terberai ke luar negeri karena berbagai alasan. Praktik konkret yang tengah mereka mulai adalah membeli karya-karya pahatan batu dari jaman dinasti Qi Timur (550-557 M) dan barang-barang perunggu dari jaman dinasti Zhou Barat (1100-771 SM) yang ada di luar negeri untuk ditempatkan di gedung besar Poly Plaza yang dirancang sebagai museum di distrik Dongcheng, Beijing. Gerakan ini kemudian diikuti oleh lembaga swasta dan perseorangan yang beramai-ramai mengoleksi karya seni dan mendirikan museum.
Konteks Indonesia
Kilasan paparan di atas telah memberi salah satu penampang penting dari fenomena budaya yang terjadi di negara pemilik Tembok Raksasa itu. Negara memiliki komitmen yang dibarengi dengan dukungan kebijakan jelas dan konkret sehingga berimbas secara mutualistik terhadap pelaku seni budaya di sana untuk melakukan geliat kreatif dengan lebih progresif. Di dalamnya, perupa menjadi salah satu elemen penting yang bergerak menjadi kreator dan aktor di dunianya.
Beberapa dari mereka, seperti disebut pada awal tulisan, merupakan perupa papan atas yang telah mampu mengubah sistem dan cara berpikir dalam laku kreatifnya sebagai seniman. Misalnya, mereka tak canggung lagi memberlakukan diri sebagai konseptor atas sebuah karya yang kemudian eksekusinya dikerjakan oleh para artistan (atau para “tukang”). Mereka juga mengakomodasi sepenuhnya perkembangan teknologi untuk membantu eksekusi karya kreatifnya. Siasat kreatif yang mampu membedakan kreator sebagai konseptor dan tak harus sebagai eksekutor inilah yang antara lain menjadikan seniman Cina lebih profesional ketimbang seniman Indonesia. Kemudian kemampuan mengasah talenta dalam kerangka sebagai seorang ilmuwan, dan bukan dalam kerangka sebagai seorang tukang, menempatkan diri seniman sebagai kreator yang mampu mengeksplorasi gagasan, bukan sekadar mengekploitasi obyek-obyek benda sebagai lahan kreatifnya.
Memang tidak mudah mempraktikkannya. Tetapi, ketika kita melengahkannya, serbuan perupa Cina akan semakin deras menyerbu banyak galeri atau ruang pajang di Indonesia, dan kemudian menepikan seniman lokal. Di sisi lain, galeri-galeri di Indonesia yang telah kuat menjadi “algojo” penentu eksistensi sebagian seniman, menguatkan diri dengan membentuk asosiasi. Sementara para seniman, jangan-jangan, telah mulai tipis spirit komunalitas dan kebersamaannya. Sehingga dimungkinkan dengan gampang digoyang atau dirobohkan karena tanpa kepemilikan daya resistensi yang memadai.
Tampaknya kita harus mau belajar dari spirit dan substansi kreatif para kreator Cina itu, dan bukan sekadar meniru artifak hasil kreatifnya semata. Kecuali kalau kita memang betul-betul menjadi bangsa epigon yang hobi membuntut.
Kuss Indarto, kurator seni rupa. Tinggal di Yogyakarta.
(Tulisan ini telah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu 20 Agustus 2006)
Comments