Omi Berpulang
Omi berpulang. Hah, Naomi Intan Naomi yang anaknya pak Darmanto Jatman itu tutup umur? Aku kaget ketika Agung “Leak” Kurniawan kasih info tentang itu. Kala itu, sekitar jam 21.10 WIB hari Minggu 5 November, aku dan istriku naik motor untuk pulang setelah berakhir pekan di rumah mertua. Beberapa menit kemudian Neni, istri Leak kirim sms duka itu. Pun Senin paginya, mbak Anggi Minarni sms serupa.
Bayangan tentang Omi segera berkelebat di batok kepalaku. Beberapa hari lalu aku baru berencana menyapa dia, meski lewat e-mail atau sms, setelah kubaca tulisan dia di harian Suara Merdeka (Semarang) edisi Minggu 29 Okteber 2006. Tulisannya yang bertajuk “Medioker” itu sebetulnya tak cukup menarik. Ngalor-ngidul kemana-mana. Tapi karena dia dengan langsung menyebut-nyebut namaku, dengan segala kenyinyirannya, aku seperti diingatkan bahwa barangkali itulah cara paling santun bagi dia untuk menyapaku. Hahaha. Ya, kami sudah amat lama tak saling sua. Entahlah, mungkin sudah 5-6 tahun meski tempat tinggalku mungkin hanya 2 km dari tempatnya menetap. Dekatlah, mung sak plinthengan. Tapi belum ada dalih kuat untuk saling ketemu.
Kami sendiri saling kenal sekitar tahun 1996-1997. Aku lupa persisnya. Tapi meski belum lama kenal dan tak intens bergaul, kalau ketemu kami begitu hangat dan sama-sama ngawurnya. Mungkin karena aku sering baca tulisan-tulisan dia termasuk di koran Bernas saat aku masih jadi “tukang gambar” di koran itu. Omong saling serang, saling ngeledek. Umpamanya aku nyinggung namanya yang mirip dengan nama salah satu anak WS Rendra. “Emang bapakmu janjian ya bikin nama anak kok bisa mirip? Gak kreatif,” tanyaku. “Ah, enggak. Rendra aja yang niru-niru,” sergah Omi. Anak Rendra yang kumaksud tentunya ya Naomi Srikandi yang aktif di Teater Garasi. Agak2 nyablak juga dia kalo ngomong.
Tapi pada dasarnya Omi(nya Darmanto Jatman) adalah sosok yang cukup cantik, sangat cerdas, hangat sebagai sahabat, jujur, dan baik. Hanya lama-kelamaan cenderung tertutup dan “introvert”. Mungkin ada jagat lain yang sangat dia nikmati dan lalu menggiringnya agak asosial. Dunia mayalah yang kuduga menggeser modus budaya komunikasinya dengan teman-teman “real”-nya. Dia ngaku dalam tulisan ”Medioker” punya piaran dua blog yang dipeliharanya bertahun-tahun. Dan seperti sangat dinikmatinya.
Ah, sayang ya, cewek secerdas dia cepet pergi. Sayang juga dia tak lagi produktif berkarya pada tahun-tahun terakhir. Ups, gak tau ya, barangkali justru di situs atau blog-nya dia menyimpan banyak harta dan karya sastranya yang tak banyak diketahui oleh publik seni di sini. Apalagi karyanya itu berbahasa Ingris semua. Aku yakin pasti menarik kalau dikuak. Setidaknya kalau mengacu pada karya skripsinya yang setebal 330-an halaman, Analisis Kebebasan Pers Dalam Rubrik Pojok Surat Kabar Kompas dan Suara Karya, yang diselesaikannya tahun 1995, yang lalu dibukukan oleh penerbit Garba Budaya-nya Sitok Srengenge dengan tajuk Anjing Penjaga. Isinya bagus, bahasanya pun sangat liat dan inspiratif, menunjukkan kalau bacaaan Omi sangat luas. Aku beruntung masih menyimpan skripsi asli karyanya yang diberikan ke aku ketika akan kupinjam untuk ngebut bikin skripsi tahun 1998. Aku tak percaya waktu itu. “Ah, yang bener, Om?”
“Ambil aja. Aku tak butuh lagi,” katanya. Sampai sekarang skripsi dengan cover legam itu masih di almari bukuku. Sayang sekali aku tak mungkin lagi bisa ngobrol dengan sang empunya.
Selamat bobo’ setenang2 yang kau inginkan, Omi! Aku yakin kau tak butuh air mata teman2 untuk melepaskanmu. Tapi Tuhan harus kuseret via doaku agar Dia tulus mendekat di sisimu. Saling dekaplah kau dan Dia, Omi! Mungkin surga segera melingkungimu. Amien.
Bayangan tentang Omi segera berkelebat di batok kepalaku. Beberapa hari lalu aku baru berencana menyapa dia, meski lewat e-mail atau sms, setelah kubaca tulisan dia di harian Suara Merdeka (Semarang) edisi Minggu 29 Okteber 2006. Tulisannya yang bertajuk “Medioker” itu sebetulnya tak cukup menarik. Ngalor-ngidul kemana-mana. Tapi karena dia dengan langsung menyebut-nyebut namaku, dengan segala kenyinyirannya, aku seperti diingatkan bahwa barangkali itulah cara paling santun bagi dia untuk menyapaku. Hahaha. Ya, kami sudah amat lama tak saling sua. Entahlah, mungkin sudah 5-6 tahun meski tempat tinggalku mungkin hanya 2 km dari tempatnya menetap. Dekatlah, mung sak plinthengan. Tapi belum ada dalih kuat untuk saling ketemu.
Kami sendiri saling kenal sekitar tahun 1996-1997. Aku lupa persisnya. Tapi meski belum lama kenal dan tak intens bergaul, kalau ketemu kami begitu hangat dan sama-sama ngawurnya. Mungkin karena aku sering baca tulisan-tulisan dia termasuk di koran Bernas saat aku masih jadi “tukang gambar” di koran itu. Omong saling serang, saling ngeledek. Umpamanya aku nyinggung namanya yang mirip dengan nama salah satu anak WS Rendra. “Emang bapakmu janjian ya bikin nama anak kok bisa mirip? Gak kreatif,” tanyaku. “Ah, enggak. Rendra aja yang niru-niru,” sergah Omi. Anak Rendra yang kumaksud tentunya ya Naomi Srikandi yang aktif di Teater Garasi. Agak2 nyablak juga dia kalo ngomong.
Tapi pada dasarnya Omi(nya Darmanto Jatman) adalah sosok yang cukup cantik, sangat cerdas, hangat sebagai sahabat, jujur, dan baik. Hanya lama-kelamaan cenderung tertutup dan “introvert”. Mungkin ada jagat lain yang sangat dia nikmati dan lalu menggiringnya agak asosial. Dunia mayalah yang kuduga menggeser modus budaya komunikasinya dengan teman-teman “real”-nya. Dia ngaku dalam tulisan ”Medioker” punya piaran dua blog yang dipeliharanya bertahun-tahun. Dan seperti sangat dinikmatinya.
Ah, sayang ya, cewek secerdas dia cepet pergi. Sayang juga dia tak lagi produktif berkarya pada tahun-tahun terakhir. Ups, gak tau ya, barangkali justru di situs atau blog-nya dia menyimpan banyak harta dan karya sastranya yang tak banyak diketahui oleh publik seni di sini. Apalagi karyanya itu berbahasa Ingris semua. Aku yakin pasti menarik kalau dikuak. Setidaknya kalau mengacu pada karya skripsinya yang setebal 330-an halaman, Analisis Kebebasan Pers Dalam Rubrik Pojok Surat Kabar Kompas dan Suara Karya, yang diselesaikannya tahun 1995, yang lalu dibukukan oleh penerbit Garba Budaya-nya Sitok Srengenge dengan tajuk Anjing Penjaga. Isinya bagus, bahasanya pun sangat liat dan inspiratif, menunjukkan kalau bacaaan Omi sangat luas. Aku beruntung masih menyimpan skripsi asli karyanya yang diberikan ke aku ketika akan kupinjam untuk ngebut bikin skripsi tahun 1998. Aku tak percaya waktu itu. “Ah, yang bener, Om?”
“Ambil aja. Aku tak butuh lagi,” katanya. Sampai sekarang skripsi dengan cover legam itu masih di almari bukuku. Sayang sekali aku tak mungkin lagi bisa ngobrol dengan sang empunya.
Selamat bobo’ setenang2 yang kau inginkan, Omi! Aku yakin kau tak butuh air mata teman2 untuk melepaskanmu. Tapi Tuhan harus kuseret via doaku agar Dia tulus mendekat di sisimu. Saling dekaplah kau dan Dia, Omi! Mungkin surga segera melingkungimu. Amien.
Comments
Terimakasih sudah mampir di blog saya (http://purnawan-kristanto.blogspot.com) dan berkomentar tentang Omi Intan Naomi. Kita sama-sama kehilangan budayawan muda potensial. Tapi seperti yang Anda tulis, saya yakin mbak Omi tidak butuh air mata dari teman-teman dan pengagumnya. "Di sana" Omi bisa lebih bebas berkreasi dan berekspresi dengan sang penciptanya.
Ini Kuss-Indarto, yang dulu menjadi karikaturis Bernas itu ya? Saya sudah lama mengenali karya-karya Anda di Bernas. Salam kenal dari saya. Wawan