Advis Kawin dari Pak George Aditjondro

Hah, semalam aku antar istriku ke dokter untuk periksa kandungan. Baik-baik saja. Kepala si calon jabang bayi sudah di posisi yang bener, gak kayak bulan bulan lalu yang sempat aku waswas kalok ntar sungsang. Hmm, masuk bulan ketujuh kehamilan istriku membuatku makin banyak berharap pada keajaiban2 positif yang kan menimpa keluargaku, yang semoga memberi pengayaan warna pada perkawinan kami.

Ah, aku jadi ingin menampilkan tulisan dosen dan sahabatku, Pak DR George Junus Aditjondro yang memberi wejangan pada buku souvenir perkawinanku 2 Juni 2006 lalu. Buku setebal 140 halaman yang diisi teks dan komik karya temen2ku itu, yang kuberi judul "Muara Tanpa Muara", masih saja jadi monumen kebanggaan atas perkawinan kami. Yah, kalo souvenir cuman untel-untelan duit Rp 50.000,- seperti mantenannya cucunya Soeharto itu sih kampungan dan tidak edukatif. Kalo "cuman" tempat lilin mewah sih sudah stereotip. Nah, kalo buku kan bisa jadi medium pembelajaran publik, setidaknya ya buat aku sendiri hehehe. Bayangin, yang kuundang kan sampai 600 orang, jadi kan yang kemungkinan baca bukuku ya sedikitnya 1.200 orang. Lumayan kan?

Pengin tahu salah satu tulisan dalam bukuku? Nih, berikut tulisan Pak George Aditjondro. (Tapi kalok foto di samping sih gak ada hubungannya. Itu potret salah satu sudut sawah di lingkunganku di kampung Nitiprayan, Bantul. Seger kan?)

Biar tidak Sekadar Keplek-keplek Seperti Ayam:
Buat Rina dan Kuss yang Mau Kawin, eh Nikah


Oleh George Junus Aditjondro

MENGAPA harus ada lembaga perkawinan? Pernah ada seorang kawan bilang, supaya manusia tidak seperti ayam. Begitu sang jago ‘terserang’ birahi, dikejarnya salah seekor ayam betina yang ada dalam ‘kerajaannya’, keplek-keplek, selesai. Sang betina meneruskan kerjaannya mencari-cari biji-bijian, serangga, atau cacing, yang dapat dimakan. Sedangkan sang jago dengan bangganya berkokok, menyatakan kepada dunia perayaman di sekitarnya, bahwa dialah yang telah membuahi ayam betina itu. Besok lusa, atau sebentar lagi, ayam betina lain di-keplek-keplekin-nya.

Soalnya tidak penting di dunia perayaman, siapa ‘ayah’ dari anak-anak ayam yang akan ditetaskan dari telur-telur yang telah dierami oleh sang induk. Tugas sang jago hanya sebagai pejantan, penyumbang sperma (apakah ayam jantan juga punya sperma, ya? Aku agak ragu-ragu. Tampaknya saya bolos waktu itu diajarkan oleh guru ilmu hayat saya di sekolah menengah, puluuuuuhan tahun yang lalu).

Nah, bedanya dengan ayam, bayi manusia sebaiknya punya ayah dan ibu. Supaya ketahuan siapa ayahnya dan siapa ibunya, bukan punya ayah rame-rame dan ibu rame-rame, maksud saya, ayah dan ibu kolektif, anak harus dilahirkan dalam keluarga dengan seorang ibu dan seorang ayah. Ini tentu saja, pandangan yang berangkat dari paradigma kesetaraan gender yang menganut prinsip monogami. Ini bukan hanya prinsip di agama Kristiani, tapi juga di agama Islam. Cuma, banyak laki-laki egois yang sering kali tidak membaca ayat tiga surat an-Nisa secara utuh, yang berbunyi sebagai berikut:

“Dan jika kamu takut tidak dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, dan empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Berbicara soal melahirkan dan membesarkan anak dalam lingkungan keluarga, berarti salah satu fungsi pernikahan adalah untuk reproduksi biologis. Prokreasi, dalam istilah teologisnya. Namun dalam pernikahan, yang antara lain bertumpu pada hubungan seks antara dua orang yang saling mencintai (bisa berlainan jenis, bisa juga sejenis), seks tidak hanya punya fungsi prokreasi, melainkan juga rekreasi. Dalam arti, hubungan seks itu sendiri diikat oleh hasrat dan cinta, begitu kata seorang teman saya yang selain feminis, juga seorang konselor. Jadi, hubungan seks tidak lagi merupakan hak dan kewajiban, sebagaimana prinsip yang dianut oleh ortu kita dulu, di mana buat laki-laki seks merupakan hak dan buat perempuan, kewajiban.
Tentu saja, betapapun nikmatnya seks bagi dua orang yang saling mencintai, seperti Rina dan Kuss ini, kalian berdua tidak bisa beradegan ranjang terus, seperti Yoko Ono dan John Lennon. Makanya, berdasarkan pengalaman saya yang manis maupun pahit, jatuh dan bangun lagi dalam kehidupan berkeluarga, saya simpulkan bahwa pernikahan hanya bisa langgeng kalau ada komplementaritas di tiga bidang. Tentu saja, pandanganku ini terpengaruh oleh bias kelas, yakni bias kelas menengah terpelajar.

Pertama-tama, isteri dan suami sebaiknya komplementer di bidang intelektualitas. Artinya, keduanya harus punya minat dan pengetahuan yang dapat saling melengkapi, sehingga mereka bisa berdiskusi secara menyenangkan tentang berbagai bidang. Jangan keliru. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa isteri harus selalu membenarkan apa kata suami, melainkan suami dan isteri sebaiknya punya bidang yang dapat dijadikan percakapan bersama. Janganlah suami hanya senang membicarakan Piala Dunia, sedangkan isteri hanya senang membicarakan rempah-rempah yang diperlukan untuk memasak makanan khas Natal atau Lebaran. Jauh lebih indah kalau suami belajar memasak, dan isteri ikut nonton Piala Dunia, sehingga dapat ‘bertaruh’ dengan suaminya, siapa yang bakal keluar sebagai juara. Atau isteri ingatkan suami, bahwa Piala Dunia adalah salah satu bentuk ‘pembiusan kolektif’, supaya kaum miskin kota di favelas di Rio de Janeiro dapat untuk sementara melupakan penderitaan mereka, dengan harapan dapat melahirkan Pele, Ronaldo, atau Ronaldinho generasi berikut.

Itu tadi soal komplementaritas intelektual. Kedua, isteri dan suami sebaiknya komplementer di bidang emosional. Jadi jangan sampai rumah tangga merupakan ajang perlombaan tarik suara, bukan tarik suara merdu, tapi tarik suara siapa yang lebih sadis dalam memaki pasangannya. Saya perlu ingatkan Rina, dan bersamanya juga kaum perempuan, bahwa orang dapat menyakitkan hati pasangannya, tidak hanya dengan menaikkan volume suara, dibarengi dengan melepas para penghuni Kebun Binatang, tapi juga dengan menegur suami atau isteri pada saat yang tidak tepat. Yakni, pada saat yang diharapkan oleh pasangan adalah pengertian. Atau katakanlah, keberpihakan.

Seringkali terjadi, terutama dalam pasangan di mana isteri dan suami sama-sama bekerja di luar rumah, di bawah perintah orang lain, atau bersama kerabat kerja yang tidak menyenangkan, sehingga membawa hawa marah waktu pulang ke rumah. Adalah jauh lebih baik, suami atau isteri, menunjukkan kepedulian, empati, terlebih dahulu dengan pasangannya. Baru pada saat angin topan telah mereda, suami atau isteri mengajak pasangannya membicarakan episode itu kembali, sambil menjajaki, mengapa sampai konflik dengan atasan atau teman kerja terjadi, dan mungkin menemukan, bahwa konflik itu dapat dihindarkan apabila suami atau isteri bertindak lebih bijaksana di lingkungan kerjanya.

Saya pernah pulang dari Jakarta ke Semarang, karena sedang mengunjungi ibuku bersama isteriku, dan dengan sangat sedih menceriterakan pencurian laptopku di ruang makan sebuah hotel kelas menengah di Jakarta. Aku bukannya mendapatkan pernyataan simpati, melainkan teguran, bahwa aku memang selalu ceroboh dalam meletakkan barang-barangku. Begitu saja vonis keluar, tanpa menanyakan, bagaimana itu sampai bisa terjadi. Terang saja aku sangat jengkel. Sebab pada saat kejadian itu, aku sengaja demi keamananku sudah mengajak seorang teman ikut menginap di situ, dan pada pagi yang naas turun bersama-sama ke coffee shop, untuk sekadar ngopi, sebelum kami pergi ke kencan dengan beberapa orang koresponden asing. Karuan saja kami berantem, tentu saja, setelah ibuku dan adik-adikku masuk kamar masing-masing atau sudah berangkat kerja.

Sebaliknya ada hal-hal kecil, yang sering diremehkan oleh laki-laki, tapi sangat dihargai oleh perempuan, yang aku temukan dari kehidupan rumah tangga saya. Misalnya, tanggal lahir isteriku, yang berulangkali aku lupa. Aku juga sering meremehkan pentingnya menelepon isteri, setiba di sebuah kota lain, apalagi di negara lain. Memang, kini ponsel telah memperat komunikasi di antara orang-orang yang saling mencinta. Tapi betapa seringnya laki-laki yang kurang peka bersikap, seperti saya, no news is good news. Emang-nya apa yang mau diceriterakan, kalau tidak ada berita penting? Begitu seringkali sikap laki-laki atau perempuan yang belum menghargai kesinambungan komunikasi. Makanya semboyan no news is good news, sebaiknya diganti dengan semboyan “jauh di mata, dekat di pulsa”. Ini bukan iklan salah satu produsen ponsel atau server, lho!

Last, but certainly not least, walaupun secara intelektual sangat komplementer, begitu juga secara emosional, kalau di bidang seksual tidak komplementer, ranjang bisa cepat menjadi sangat dingin. Ini bahaya, sebab ranjang yang dingin akan cepat mendinginkan kehangatan rumah tangga. Makanya, keterbukaan dalam hubungan seks, keterbukaan untuk memberitahu teman tidur, apa yang disenangi dan apa yang tidak, sangat diperlukan. Ini terutama sangat penting bagi pasangan dengan perbedaan umur yang agak besar, apalagi bilamana suami jauh lebih tua dari pada isteri.

Mengapa? Sebab keperawanan lebih merupakan sesuatu yang sangat dipentingkan oleh masyarakat kita terhadap perempuan, dan tidak terhadap laki-laki. Jadi, suami yang jauh lebih tua dari isterinya, seringkali punya “jam terbang” yang jauh lebih tinggi ketimbang isterinya. Itu tidak perlu menjadi bibit friksi di antara suami dan isteri, asal saja sang suami tidak egois, seperti ayam jago di awal ceritera kita. Suami yang punya jam terbang yang jauh lebih tinggi ketimbang isterinya dapat lebih menahan diri dan menghargai pentingnya foreplay maupun afterplay bagi isterinya.

Banyak lelaki yang sudah menghargai pentingnya foreplay, tapi masih terlalu sedikit yang menghargai pentingnya afterplay bagi perpaduan kasih dengan bidadarinya. Padahal, afterplay itu indah, seperti cahaya di ufuk barat, setelah matahari tenggelam ke balik katulistiwa. Perempuan juga lebih menghargai suami atau kekasih yang tahu menghargai afterplay, dan tidak langsung mendengkur dan membalikkan punggungnya, selesai orgasme, pada saat isteri atau kekasihnya, masih merasakan ombak-ombak kenikmatan bermain di tepi pantai cintanya, sampai setengah jam setelah matahari tenggelam di ufuk barat. Sang bidadari akan tertidur dengan senyum di bibirnya, sementara dipeluk kekasihnya dari belakang. Mereka pasti akan melanjutkan pendakian cinta mereka dalam mimpi.

Sedikit catatan: laki-laki juga akan lebih menghargai perempuan, yang tidak segera pergi ke kamar mandi untuk cuci-cuci, selesai mendapat semprotan kenikmatan dari kekasihnya. Sebab kalau itu dilakukan, apalagi berulangkali, itu akan menimbulkan kesan bahwa sang perempuan merasa jijik terhadap danum kaharingan, air kehidupan sang lelaki. Padahal buat dua orang yang saling mencintai, tidak ada cairan tubuh perekat cinta, baik saliva maupun love juice, yang menjijikkan.

Begitulah sedikit bincang-bincang buat bekal kalian berdua, Rina dan Kuss, dalam memasuki ikatan pernikahan. Dengan ucapan selamat setulusnya dari sahabat dan abangmu, George Junus Aditjondro.

DR. George Junus Aditjondro, peneliti ilmu-ilmu sosial, dan dosen tamu pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis buku: Korban-korban Pembangunan: Tilikan terhadap Beberapa Kasus Perusakan Lingkungan di Tanah Air (Pustaka Pelajar, 2003), Kebohongan-kebohongan Negara: Perihal Kondisi Obyektif Lingkungan Hidup di Nusantara (Pustaka Pelajar, 2003), Pola Gerakan Lingkungan: Refleksi untuk Menyelamatkan Lingkungan dari Ekspansi Modal (Pustaka Pelajar, 2003), dan Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS, 2006).

Comments

Anonymous said…
Saya tidak tahu ini Kuss Indarto yang pernah saya kenal atau bukan. Kalau pernh kenal, ya syukurlah ktemu lagi, walau lewat dunia maya. klau bukan, ya bisa menambah pertemanan. Saya suka dengan pesannya Adicondro, saya juga menadaat hikmahnya.....
Anonymous said…
ini pasti mas kuss yg saya kenal dulu. terus menghilang. wah ternyata udah nikah. selamat ya. wini juga udah nikah loh. halah..tulisanmu menghibur juga..:)
kuss indarto said…
Mas tajib, makasih dah mo mampir di "rumah" ini. Kukira aku juga kenal Anda, cuman kepikunanku sering saja memenggal ingatan itu. Biasa, aku bisa sangat hafal wajah dan hati (hehe), tapi rapuh di ingatan atas nama. Aku juga sudah mampir di blog anda. Lucu dan menarik...
kuss indarto said…
Hi, daisy. Pasti ini anak Bontang yang dulu gak jadi kupacari kan? Haha. Dimana dikau sekarang? Tamabh cakep kan? Txs dah mampir di blog-ku. Salam!
Anonymous said…
hey lagi mas kuss. emailnya apa ni? aku sekarang sekolah di austria. keep on posting ya. salam buat istri.
kuss indarto said…
kaprioke@yahoo.com
Wuih, keren jg ya kamu. Dapet co bule donk :-)
Anonymous said…
bule? bujangan letek maksudnya?:-) saya suka yang pribumi aja mas. hehe. thanks emailnya.
Riana Puspasari said…
heiii kuss.... lama nggak dengar kabarmu... tahu2 nemu blog ini. selamat ya atas pernikahanmu. btw... buku souvenirnya masih ada nggak? dicetak ulang nggak ;)
kuss indarto said…
hi juga, riana! Brp tahun ya kita gak ketemu? makasih bisa sampe terperosok di blog-ku. souvenir mantenanku masih ada beberapa. akan aku kasih kalo emang akan kamu baca hehehe. kukirim kemana ya? eh, emailku di kaprioke@yahoo.com. tx

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?